Kamis, 31 Oktober 2013

Bagaimana Membaca Al-Qurãn? (Hasil dialog dengan seorang da'i muda yang bersemangat)

Tanya
    Tertib urutan surat dan ayat Alquran yang kita baca sekarang ini adalah hasil susunan Muhammad berdasarkan taufik dari Allah. Dan kita membacanya dari Al-Fãtihah – An-Nãs seperti membaca sebuah pembahasan yang melompat dari satu topik ke topik lainnya. Maka kemudian ada yang membacanya dengan pendekatan tematik, ada pula yang membacanya sesuai dengan urutan nuzulnya. Pertanyaan saya: Ada maksud apa kitab Al-Qurãn yang ada saat sekarang ini tersusun tidak seperti urutan nuzulnya?


    Al-Baqarah ayat 121 mengabarkan bahwa mereka yang diberikan kitab akan membacanya dengan benar. Nah, bagaimanakah membaca kitab dengan benar?  Apakah membacanya sesuai dengan urutan turunnya ayat? Membacanya dengan urutan yang diperintahkan Rasul? Membacanya secara tematik? Atau seperti apa?

Jawab
Secara keseluruhan, Al-Qurãn adalah sebuah ilmu, atau sebentuk ilmu. Bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai ilmiah, itu sudah, masih, dan akan bisa terus dibuktikan. Banyak orang sudah menemukan pembuktian-pembuktian itu lewat berbagai disiplin (bidang) kelilmuan. Anda bisa membaca banyak buku tentang itu, bahkan sekarang anda bisa menemukan banyak sekali tulisan tentan itu di internet. Sebut saja tulisan-tulisan Harun Yahya, Zakir Naik, Maurice Bucaille, dan lain-lain.

Nilai keilmuan Al-Qurãn tidak hanya mencakup bidang sains, tapi juga filsafat. Al-Qurãn mengajarkan cara pandang dunia (word-view), konsep kebudayaan atau peradaban, sampai konsep kepribadian (akhlak). Bahkan yang belakangan ini lebih penting dari yang pertama, karena ini merupakan tujuan dari pengajaran Al-Qurãn; sedangkan yang pertama (segi yang bersinggungan dengan sains) hanya ibarat ‘sampiran’ dalam pantun, yang berfungsi menguatkan pesan inti yang hendak disampaikan (yang berbau filsafat dan peradaban).

Tapi dari segi teknik atau cara, atau tepatnya seni penguraian pesan, Al-Qurãn mempunyai cara atau gaya yang berbeda dari buku-buku ilmiah karangan manusia. Itu sebabnya, orang yang terbiasa membaca buku-buku ilmiah karangan manusia, pada umumnya merasa heran mendapati susunan mushhaf dan gaya bahasa Al-Qurãn.

Dari segi gaya bahasa atau uslub-nya, bahasa Al-Qurãn itu sangat kental warna sastranya, sangat kentara unsur puisinya, sangat jelas konsistensinya dalam menonjolkan ciri sajak (persamaan atau persesuaian bunyi) pada setiap akhir kalimat dan ayat. (Segi inilah yang paling sulit dimunculkan dalam terjemahan; sehingga usaha HB Yassin untuk membuat terjemahan Al-Qurãn yang puitis boleh dikatakan gagal total).

Sebagai ilmu, Al-Qurãn dirancang untuk dijadikan pedoman hidup manusia. Karena itu, selain ada nilai saintis dan filosofis, jelas mengandung ajaran hidup yang praktis.

Kepraktisan Al-Qurãn itu dibuktikan, antara lain, dengan cara pengajarannya yang dilakukan secara cicilan. Ini ada keistimewaannya. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan  pragmatis da’wah Nabi Muhammad dan para pendukung awalnya. Di sini kita bisa melihat bagaimana Al-Qurãn sebagai sebuah ilmu, sebuah konsep peradaban, masuk ke dalam dimensi sejarah, dihadapkan dengan gejolak psikologis Rasulullah bersama para pengikut awalnya, ditampilkan di tengah situasi sosial dan politik waktu itu. Sebagai apa? Sebagai solusi! Sebagai alternatif! Sebagai jalan keluar dari kemelut.

Pengajaran Al-Qurãn dilakukan selama sekitar 23 tahun.
Banyak orang tidak atau kurang peduli bahwa dalam jangka waktu 23 tahun, seiring dengan pengajaran Al-Qurãn itu, mengalir sebuah proses da’wah yang dampaknya – secara sosial dan politik – tidak hanya bersifat lokal, tapi juga internasional. Dari proses pengajaran dan da’wah Al-Qurãn – yang tidak ringan itu – lahir sebuah agama dunia yang baru. Islam.

Kemudian, setelah selesai diajarkan – dan diterapkan secara pragmatis (memenuhi kebutuhan zaman dengan segala situasi dan kondisinya), Al-Qurãn akhirnya disusun menjadi sebuah buku. Bagaimana cara penyusunannya, tidak perlu dijelaskan di sini, karena penjelasan tentang itu juga sudah dilakukan banyak orang. Di sini cuma hendak dikatakan bahwa penyusunan Al-Qurãn menjadi sebuah buku seperti yang kita dapati sekarang adalah penegasan bahwa Al-Qurãn secara keseluruhan adalah sebuah ilmu.

Sebuah ilmu disusun (dituturkan dan atau ditulis) berdasar tertib (susunan; rangkaian) tertentu. Yaitu dimulai dengan Pembukaan, disusul Uraian, ditutup Simpulan. Begitulah kenyataannya. Al-Qurãn dibukukan dengan surat Al-Fãtihah (pembuka!) diletakkan di urutan pertama. Setelah itu diletakkan surat-surat panjang (sebagai uraian), dan kemudian diakhiri dengan surat-surat pendek (sebagai simpulan). Diakui atau tidak, disukai atau tidak, itulah kenyataan susunan buku (mushhaf) Al-Qurãn. Sebuah susunan yang memenuhi persyaratan ilmiah.

Tapi, itu kan sistematik globalnya! Detailnya, ternyata susunan topik-topik Al-Qurãn itu kok melompat-lompat? Kok acak-acakan?

Itulah penilaian dari pihak yang menilai atau mengukur susunan Al-Qurãn dengan pengalaman membaca buku-buku yang beredar di pasar dan diajarkan di sekolah-sekolah. Rupanya belum ada satu pun sekolah tinggi atau pun pesantren yang pernah menjelaskan bahwa di balik susunan Al-Qurãn yang “melompat-lompat dan kacau” itu terkandung sebuah rahasia tertentu, yang menunjukkan bahwa Al-Qurãn memang berbeda dari buku-buku karangan manusia. Dan perbedaan itu justru menunjukkan keistimewaannya. Untuk lebih jelas tentang apa yang dimaksud, silakan anda baca tulisan di blog PIPB (ahmadhaes.wordpress.com), yang berjudul Mengungkap Gagasan Surat Al-Muzzammil Melalui Teori Sastra.

Kalau begitu, bagaimanakah cara membaca Al-Qurãn?
Al-Baqarah ayat 121 mengabarkan bahwa mereka yang diberikan kitab akan membacanya dengan benar. Nah, bagaimanakah membaca kitab dengan benar?  Apakah membacanya sesuai dengan urutan turunnya ayat? Membacanya dengan urutan yang diperintahkan Rasul? Membacanya secara tematik? Atau seperti apa?

Al-Qurãn dianugerhkan Allah sebagai teman hidup para mu’min, yang akan selalu membacanya berulang-ulang, seumur hidupnya. Semakin sering membacanya, seorang mu’min akan semakin akrab dengannya, semakin mengetahui dan memahami seluk-beluknya.

Bila yang dimaksud adalah membaca Al-Qurãn sebagai ilmu, perlakukan dia sebagai ilmu. Yaitu bahwa di dalamnya ada pendahuluan, uraian, simpulan. Itu yang pertama.

Yang kedua, Al-Qurãn per surat juga mempunyai susunan yang sama. Ada ayat-(ayat) yang merupakan pendahuluan (berisi gagasn inti), uraian, dan simpulan.

Ketiga, bila mengacu pada surat Al-Muzzammil, membaca Al-Qurãn bisa dilakukan mulai dari yang mudah (menurut ukuran pembacanya).

Keempat, ada dalil yang mengatakan bahwa sebagian (ayat, surat) dengan bagian yang lain saling menafsirkan (innal-qurãna yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Dalil ini memang benar; dalam arti banyak istilah-istilah di dalam Al-Qurãn dijelaskan oleh Al-Qurãn sendiri. Misalnya istilah al-muttaqîn, dijelaskan dalam rangkaian ayat-ayat (surat Al-Baqarah) yang menyebut istilah itu. Ada pula istilah-istilah yang penjelasannya ditemukan secara terpisah di tempat-tempat yang jauh.

Kelima, membacanya secara tematis sangat bagus untuk mencari penjelasan Al-Qurãn tentang tema-tema tertentu.

Demikian penjelasan sementara, yang mungkin masih ada kesalahan, keleliruan, dan kekurangan. ▲

Surat An-Nisa 135
Tanya
Pada masa Rasul, Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur sebagai solusi atas problema kehidupan yang dihadapi Rasul saat itu. Kemudian kita dihadapkan pada susunan atau sistematika yang lain. Sepertinya kita diarahkan untuk menghadapi kemelut kehidupan dengan strategi yang tidak persis sama. Kalau tidak salah, ada yang berkata bahwa setiap generasi akan menghadapi zaman yang tidak sama dengan generasi sebelumnya sehingga generasi masa depan harus dididik sesuai dengan zaman yang akan dilaluinya. Apakah Rasulullah, sebagai seorang yang visioner, bermaksud demikian dengan menyuruh menyusun ayat/surat dengan susunan berbeda dengan urutan turunnya?

Jawab
 Pertanyaan anda berkenaan dengan dua hal pokok, yaitu:
  1. Cara penurunan (pengajaran) Al-Qurãn, dan
  2. Kodifikasi Al-Qurãn
Secara umum (keseluruhan), bila ditinjau dari kacamata da’wah, kedua hal itu sebenarnya merupakan pilar dari strategi dan taktik da’wah.

Pada setiap butir dari kedua hal pokok tersebut juga masing-masing terdapat dua pelajaran, khususnya yang boleh dikatakan sebagai strategi da’wah, yaitu pelajaran yang tersurat (tertulis; kasat mata; teramati dengan cukup mudah oleh banyak orang), dan pelajaran yang tersirat (tidak tertulis; tidak kasat mata; hanya tertangkap oleh pengamatan sedikit orang).

Butir pertama, cara pengajaran Al-Qurãn yang dilakukan Allah terhadap Nabi Muhammad, mengandung pelajaran bahwa da’wah itu harus dilakukan secara pragmatis, yaitu memperhatikan situasi (keadaan yang berkaitan dengan waktu/zaman) dan kondisi (keadaan yang berkaitan dengan tempat). Dengan kata lain, da’wah itu harus memperhatikan keadaan ruang dan waktu. Tentu yang dimaksud adalah ruang dan waktu yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia dengan segala permasalahannya, bukan ruang dan waktu yang hampa.

Da’wah dalam arti sempit
Bila da’wah dipahami secara sempit sebagai “berbicara” (da’wah lisan atau tulisan), misalnya, maka berlakulah apa yang dikatakan Rasulullah dalam sebuah hadis: Kallimû-nnãsa ‘ala qadri ‘uqulihim. Sabda Rasulullah ini mengandung pengertian agar para da’i melisankan ajaran Allah (Al-Qurãn) kepada manusia – sasaran da’wah – dengan mempertimbangkan daya nalar atau alam pikiran mereka.

Alam pikiran manusia tidak pernah lepas dari pengaruh pragmatis, yaitu kenyataan yang mereka temui, rasakan, dan bahkan mereka butuhkan, sehingga mengikat mereka sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Sebut saja misalnya televisi, internet, ponsel, dan lain sebagainya, yang sudah menjadi kebutuhan manusia dalam situasi dan kondisi sekarang. Di situlah para da’i dituntut untuk ‘berbicara’ dengan ‘bahasa’ (= pendekatan) yang mereka pahami.

Kebalikan dari pragmatis di sini adalah teoritis, normatif, dan bahkan dogmatis. Sebuah model pendekatan yang justru dilakukan oleh kebanyakan da’i. Mereka mengajarkan teori-teori, norma-norma, dogma-dogma, yang tidak nyambung dengan alam pikiran (logika) manusia sekarang. Ini hanya salah satu contoh yang berkaitan dengan da’wah secara lisan; yakni da’wah yang hanya bermain di tataran verbal (omongan), yang tidak menjawab kebutuhan pragmatis, yaitu penyelesaian masalah dalam situasi dan kondisi yang dihadapi sasaran da’wah secara umum (suatu bangsa, misalnya).

Kekeliruan lain dari para da’i adalah gerakan da’wah mereka yang akhirat oriented; yaitu menyampaikan bahan-bahan da’wah yang lebih cenderung memberikan kesan bahwa agama (dalam hal ini Islam) adalah untuk kebutuhan hidup di alam nanti (akhirat). Karena itu, mereka sangat sering atau hampir selalu membahas soal kesenangan sorga dan siksa neraka di alam setelah kita mati.

Selain itu, mereka juga selalu mengajarkan bahwa agama adalah urusan hati, bukan urusan akal atau otak. Dengan demikian, secara tidak langsung, mereka seperti melarang sasaran da’wah untuk menerima ajaran agama secara cerdas.  Ini sangat bertolak belakang dengan Al-Qurãn (sebagai sebuah ilmu).

Da’wah dalam arti luas
Da’wah dalam arti luas bukanlah hanya penyampaian ajaran secara lisan (dan tulisan), yang dilakukan orang per orang (individual) secara parsial (terpisah-pisah), tapi suatu gerakan (harakah) yang dilakukan oleh sebuah “organisasi da’wah” yang inklusif (menyeluruh); yaitu mencakup pelayanan, pemberian fasilitas, dan penyediaan berbagai bahan yang dibutuhkan untuk mengajak orang mengubah orientasi hidupnya.

Kembali ke soal pengajaran Al-Qurãn yang dilakukan Allah terhadap Nabi Muhammad. Pengajaran itu dilakukan secara pragmatis (sesuai situasi dan kondisi), untuk memenuhi kebutuhan Rasulullah dan umatnya pada waktu itu. Hal yang ‘kasat mata’ (bagi kita sekarang) adalah turunnya Al-Qurãn secara cicilan (sedikit demi sedidikit; ayat demi ayat) dan acak (misalnya ayat-ayat dalam wahyu pertama nanti dihimpun dalam surat Al-‘Alaq, ayat-ayat dalam wahyu kedua dihimpun dalam surat yang lain, dan begitu seterusnya).
Ada ayat yang diturunkan berkaitan dengan sikap Abu Lahab ketika Rasulullah berusaha menyampaikan da’wah di hadapan masyarakat umum pertama kali. Ada yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi. Ada ayat-ayat yang menyuruh Rasulullah membandingkan Al-Qurãn dengan karya-karya tulis mereka, dan lain-lain; yang secara keseluruhan bisa kita baca dalam buku-buku sejarah hidup Rasulullah.

Ada ayat-ayat yang secara gamblang, blak-blakan, berkaitan dengan suatu kasus. Ada ayat-ayat yang berisi gambaran peristiwa alam, fragmen (pecahan, potongan) kisah para nabi terdahulu, dan lain-lain. Bahkan ada ayat-ayat, kisah sejumlah nabi yang diturunkan berulang-ulang, secara sama persis atau dengan berbagai variasi. Ada penyebutan nama nabi yang paling banyak namun terpencar-pencar di berbagai surat (Musa), ada kisah nabi yang dituturkan secara lengkap dalam satu surat (Yusuf).

Semua disampaikan (diajarkan) sesuai situasi dan kondisi perjalanan da’wah, serta situasi dan kondisi psikologis Rasulullah dan para pengikutnya sendiri. Pendeknya, pada tahap awal itu, Al-Qurãn diajarkan benar-benar sebagai pedoman hidup dan da’wah yang real dan praktis (= pragmatis).

Dengan kata lain, periode awal pengajaran Al-Qurãn itu adalah periode formatif (formative). Yaitu periode pembentukan sosok Nabi Muhammad dan umat awalnya, berikut tatanan masyarakatnya, sebagai uswah hasanah (contoh terbaik) bagi umat-umat beliau selanjutnya, dalam memunculkan Al-Qurãn sebagai konsep hidup yang unggul, yang terbukti mampu melahirkan manusia-manusia (umat),  dan tatanan masyarakat yang unggul. Inilah inti dari gerakan da’wah Al-Qurãn.

Kodifikasi Al-Qurãn
Kodifikasi (codification) adalah proses penghimpunan undang-undang atau peraturan ke dalam urutan yang sistematis. Bila pengertian ini diterapkan kepada mushhaf Al-Qurãn yang kita dapati sekarang, pastilah banyak orang menganggapnya tidak cocok. Bagi mereka isi mushhaf Al-Qurãn itu bukanlah terdiri dari bahan-bahan yang terkodifikasi. Sebaliknya malah kacau alias berantakan.

Hal itu sudah dijelaskan serba sedikit dalam tulisan terdahulu. Intinya kodifikasi Al-Qurãn memang berbeda dengan kodifikasi buku-buku lain, termasuk buku-buku hukum.
Kembali pada persoalan ini:

Tanya
Pada masa Rasul, Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur sebagai solusi atas problema kehidupan yang dihadapi Rasul saat itu. 

Jawab
Ya.

Tanya
Kemudian kita dihadapkan pada susunan atau sistematika yang lain. 

Jawab
Ya. Kita dihadapkan pada susunan atau sistematika Al-Qurãn yang berbeda dari cara penurunannya.

Tanya
Sepertinya kita diarahkan untuk menghadapi kemelut kehidupan dengan strategi yang tidak persis sama. 

Jawab
Ya. Sebutlah yang dialami Rasulullah dan umat awal beliau sebagai sebuah contoh kasus, dan kita menghadapi kasus yang lain. Orang sering mengatakan bahwa antara Rasulullah dengan kita, dalam da’wah Al-Qurãn, ada perbedaan teknis. Mereka benar. Tapi ketika bicara tentang kebalikan dari teknis itu, yaitu soal prinsipnya, biasnya mereka ngawur.

Ada hal-hal prinsip (asasi) yang biasanya diabaikan para da’i (yang tidak terorganisir itu). Pertama, mereka tidak mau tahu bahwa da’wah Al-Qurãn harus dilakukan dengan sebuah ‘mesin da’wah’, yang komponennya adalah variasi umat yang menyatu dalam jama’ah. Tegasnya, yang mengaku umat Islam itu harus menyatu menjadi sebuah jama’ah. Bila tidak, jangan harap da’wah akan mencapai hasil seperti yang dicapai Rasulullah.

Kedua, karena umat tidak merupakan jama’ah, otomatis umat tidak bisa menjadi mesin da’wah. Artinya, segala potensi umat, dengan berbagai variasi dan spesialisasinya, tidak bisa dikerahkan secara serempak untuk mendukung da’wah.

Ketiga, sebagai akibat lanjutan dari potensi dan variasi umat yang tidak terhimpun, kegiatan da’wah tidak bisa berjalan dengan baik karena ketiadaan dana. (Jangan lupa bahwa umat yang banyak itu, khususnya di Indonesia, adalah juga sumber dana yang sangat melimpah). Al-hasil, para da’i pun banyak yang menempel orang kaya, pejabat, selebritis, untuk mendapatkan uang; yang mereka gunakan untuk menjalankan da’wah versi mereka sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya, muncul para da’i kondang secara musiman, sama seperti tokoh-tokoh selebritis. Dan bila da’i sudah jadi selebritis, jadilah pula mereka komoditi hiburan yang dimanfaatkan media massa, terutama televisi, untuk  menjaring iklan. Atau mereka sendiri, misalnya Jefry Al-Bukhory, Yusuf Mansur, dan lain-lain, mendirikan usaha dengan menjual brand mereka sebagai da’i kondang.

Dan seterusnya, masih terlalu banyak untuk ditulis semua.

Tanya
Kalau tidak salah, ada yang berkata bahwa setiap generasi akan menghadapi zaman yang tidak sama dengan generasi sebelumnya sehingga generasi masa depan harus dididik sesuai dengan zaman yang akan dilaluinya. 

Jawab
Orang yang mengatakan demikian itu adalah Rasulullah. Itu hadis rasulullah.
Maksud beliau, anak-anak (generasi) kita harus dimatangkan dalam penguasaan ilmu Allah, sehingga kesadaran mereka, cara mereka berpikir, cara menilai, cara memandang segala bentuk kehidupan, dilakukan dengan cara yang sama. Yaitu cara yang beliau ajarkan. Cara yang beliau terima dari Allah.

Tanya
Apakah Rasulullah, sebagai seorang yang visioner, bermaksud demikian dengan menyuruh menyusun ayat/surat dengan susunan berbeda dengan urutan turunnya?

 
Jawab
Bukan Rasulullah yang visioner. Rasulullah tidak punya visi yang benar tentang kehidupan. Karena itulah beliau pernah mengasingkan diri ke dalam goa selama bertahun-tahun. Kemudian beliau menerima wahyu. Selanjutnya wahyu itulah yang menjadi visi beliau. Karena wahyulah beliau menjadi manusia yang visioner. Begitu juga seharusnya orang-orang yang mengaku mu’min.
Tentang penyusunan (kodifikasi) Al-Qurãn ke dalam bentuk mushhaf, sejak awal anda sudah mengatakan bahwa itu dilakukan sesuai taufik Allah, bukan ide Rasulullah.

Perlu saya tegaskan lagi bahwa (1) Al-Qurãn diajarkan secara pragmatis, kemudian (2) ditulis secara ilmiah (sesuati sistematika ilmu).

Tujuan penulisan yang sesuai sistematika ilmu itu adalah supaya Al-Qurãn bisa dipelajari secara ilmiah pula. Yaitu sebagai sebuah konsep hidup, sebuah teori, yang sosok ilmiahnya jelas. Ada pendahuluan, ada uraian, ada kesimpulan.

Dengan demikian, ia bisa menjadi pedoman hidup bagi manusia (yang semakin lama semakin cenderung berpikir ilmiah) di segala tempat (kondisi) dan zaman (situasi).∆


Tidak ada komentar: