Selasa, 29 Oktober 2013

Masa Depan Dan Gaya Hidup Kita

Apakah sebenarnya yang dimaksud masa depan itu?
Manusia lahir, tumbuh, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya mati.  Ketika menyebut istilah "masa depan", kebanyakan kita membayangkan sebuah masa tua yang tenang, karena
punya rumah besar, cukup makanan dan pakaian, semua anak-anak telah menjadi "orang", dan telah melahirkan banyak cucu yang sehat sejahtera,  dan kita duduk beruncang-uncang kaki di atas kursi goyang, menyaksikan keriangan para cucu yang akan menyambung sejarah kita.

Itukah yang dimaksud "masa depan"? Itukah "sorga dunia" yang kita idam-idamkan, yang membuat kita semua sekarang tidak berhenti memutar otak, membanting tulang dan memeras keringat?


Demi "masa depan" yang (kira-kira) seperti itulah kita berjuang, "berjibaku mengejar uang",
untuk membeli makanan, pakaian, dan rumah. Demi masa depan seperti itulah kita modali anak-anak bersekolah di sekolah-sekolah yang memang menjanjikan "masa depan", karena mengajarkan ilmu-ilmu yang menjamin kebahagiaan "masa depan".

Tapi kepada anda atau mereka yang sudah tua, punya rumah besar, punya tabungan di banyak bank,
punya anak-anak yang sudah jadi orang, punya banyak cucu yang sehat dan bersekolah di sekolah-sekolah bergengsi,  baik di dalam maupun di luar negeri, tolong katakan:

"Apakah anda bisa duduk beruncang-uncang kaki, sambil menikmati kopi dan mengisap cangklong,
sementara di depan anda televisi menyiarkan berita-berita kerusuhan, perang, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan aneka macam kejahatan?"
"Apakah anda bisa tenteram menyaksikan cucu-cucu yang lincah dan riang karena cukup
sandang dan pangan, sementara begitu banyak anak-anak lain yang telanjang, kepanasan, kehujanan, dan kelaparan?"

Barangkali anda bisa mengatakan bahwa itu semua bukan urusan anda. Tapi apa yang akan anda
katakan ketika para perusuh membakar rumah anda? Apa yang akan anda katakan bila ada anak, cucu atau cicit anda dijarah, dibunuh, atau diperkosa? Anda bisa lontarkan tuduhan kebiadaban kepada para pelaku
langsung segala tindak kejahatan itu, dan para polisi bisa segera memenjarakan atau menghukum mati mereka. Tapi apakah itu cukup untuk membasmi segala penyakit masyarakat kita?

Ya, anda bisa mengatakan bahwa itu bukan urusan anda.
Segala masalah kemanusiaan itu memang bukan urusan anda, bukan urusan saya, bukan
urusan si A dan si B. Tapi itu semua adalah urusan kita, sebagai makhluk
yang bernama manusia.

Kita sepakat (atau hanya latah?) mengaku bahwa manusia adalah makhluk sosial, tapi ternyata
cara berpikir kita, tindak-tanduk keseharian kita, lebih mewakili cara-cara  individualis.
Atau barangkali 'sosialisme' yang kita anut adalah sosialisme yang sempit, yakni dalam arti mengelompok dalam lingkungan pergaulan tertentu saja, dan itu pun dilakukan hanya demi kebutuhan fragmatis. Ya, sebut saja mereka yang pada saat-saat tertentu berkumpul di lapangan golf atau tenis, atau bahkan di restoran. Apakah mereka akan 'rela' mengadakan pertemuan bila di balik itu tidak
mengharapkan sesuatu (keuntungan materi!) yang lain? Dengan kata lain, mereka bertemu bukan untuk bersosialisasi dalam arti bergaul untuk menciptakan persahabatan yang tulus, tapi cuma sekadar untuk saling
mengincar kapan sang 'rekan' bisa 'dimakan'!

Itulah hidup model para penjudi. Berkumpul hanya untuk saling mengintip isi kantong.
Itulah gaya hidup yang memandang bumi Allah ini sebagai arena permainan. Gaya hidup yang
memubazirkan segala sarana karena hanya digunakan untuk pelampias nafsu.  Gaya hidup yang terus-menerus meminta korban yang sia-sia, karena semua pengorbanan hanya menghasilkan fatamorgana. Kesenangan dan kepuasan semu. ***

Tidak ada komentar: