Senin, 28 Oktober 2013

Tiga Hal Terpenting

 
 Ada sebuah Doa Rasulullah yang mengisyaratkan pesan beliau tentang tiga
hal utama dalam kehidupan, yaitu ad-dîn(u), dengan catatan bahwa yang dimaksud adalah Dînul-Islãm, ad-dunyã(u), dan al-ãkhirat(u).

Pesan tersebut tersirat dari doa yang berbunyi demikian:

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِيْنِيَ الَّذِى
هُوَ عِصْمَةُ أَمْرى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَايَ الَّتى فِيْهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ
لِى آخِرَتِيَ الَّتِى فِيْهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى
كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَى مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Ya Allah! Perbaikilah dînku, yang merupakan pelindung urusanku; dan
perbaikilah duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku
yang merupakan tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai peningkatan untuk
segala kebaikan, dan jadikanlah kematianku sebagai penghentianku dari segala
keburukan. (Hadis Muslim dari narasumber Abu Hurairah).


Fungsi Ad-Dîn(u) sebagai 'ishmatu amry (عِصْمَةُ أَمْرى)
Dalam hadis tersebut, Rasulullah menyebut dînî (agamaku; penata hidupku)
sebagai 'ishmatu amry, yang harfiahnya berarti penjaga, pelindung,
pemelihara, penyelamat urusanku. Urusan yang dimaksud tentu bisa kita hubungkan
dengan apa saja yang bisa dikaitkan dengan ad-dîn, yang tak lain dari Dînul-Islãm,
karena Nabi Muhammad tidak mengajarkan dîn yang lain.

Dengan kata lain, amry (أَمْرى)
dalam hadis ini bisa diartikan sebagai "segala segi kehidupanku", sehingga 'ishmatu amry otomatis berarti penjaga/pelindung/pemelihara/penyelamat segala segi
kehidupanku, atau ringkasnya "penyelamat hidupku". Itulah arti Dînul-Islãm
dalam pandangan Rasulullah, yang tentunya harus menjadi pandangan umatnya pula.

Dunia sebagai ma'ãsyiy (مَعَاشِى)

Dunia sebagai ma'ãsyiy
(tempat hidup) sudah sangat jelas bagi kita.
Tapi bila dikaitkan dengan Dînul-Islãm, tentu memerlukan definisi tersendiri.
Hidup muslim tentu merupakan hidup yang 'diwarnai' Dînul-Islãm, dalam segala
seginya. Tanpa kecuali.

Dengan demikian, segala urusan yang yang digarap dan bersinggungan
dengan seorang Muslim, adalah urusan yang 'Islami' belaka. Tanpa kecuali.
Bahkan, ketika – misalnya – ia harus berhadapan dengan urusan yang tidak
Islami, maka sikap yang ia terapkan tetaplah sikap yang Islami. Tidak mau
tidak. Tidak mau bersikap tidak Islami. Demikian ia lakukan. Sampai tiba saat
kematian.

Akhirat sebagai ma'ãdy (مَعَادِى)

Akhirat adalah ma'ãdy
(tempat kembaliku). Ini konsep baku dalam
Islam. Bila kita periksa Al-Qurãn, dalam konteks-konteks tertentu, kita akan
menemukan akhirat dengan pengertian yang bervariasi. Tapi di sini jelas sekali
bahwa yang dimaksud dengan akhirat adalah kebalikan dari dunia. Bila dunia
adalah tempat yang kita huni sekarang, akhirat adalah tempat yang akan kita
diami nanti. Namun dengan catatan bahwa yang kita tempati di sana itu bisa
bernama jannah (sorga), bisa juga bernama nãr (neraka?).
Dan penentunya, dalam konsep Islam, adalah sikap kita
sekarang terhadap Dînul-Islãm. Bila bersikap positif (menerima), maka tempat
kita di akhirat adalah jannah, dan bila bersikap negatif (menolak), otomatis
kapling kita nanti adalah nãr.

Konsep tentang dunia dan akhirat, atau jannah versus nãr, diharapkan
bisa menjadi salah satu sarana pengingat bagi para Muslim, agar hidup dalam
mekanisme sistem Dînul-Islãm. Dan itu bukan hanya untuk menjamin pembebasan
dari adzab neraka di akhirat, tapi juga menjadi jaminan agar di dunia ini pun
mereka (para Muslim!) selalu berusaha menciptakan "sorga dunia". Yaitu suatu
kehidupan yang segala seginya serba penuh dengan hasanah (kebaikan).
Hidup harus semakin baik

Kita sering mendengar orang mengutip hadis yang mengatakan: "Barangsiapa
yang keadaan hari sekarangnya lebih baik daripada hari kemarin, ia termasuk
orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang hari ininya sama dengan hari
kemarinnya, ia termasuk orang yang merugi! Dan barangsiapa yang hari ini lebih
jelek daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang celaka."
Sering kali kita menghubungkan hadis ini dengan
keadaan ekonomi seseorang dan atau diri kita sendiri. Padahal bila kita mengacu
pada hadis yang sedang kita bahas ini, peningkatan yang harus dan bisa terjadi
setiap hari adalah kebaikan budi dan atau perilaku.
Hal ini sesuai pula dengan
hadis yang lain, yang menegaskan bahwa tujuan Rasulullah diutus adalah untuk
mengunggulkan akhlak yang baik.
Ya, di atas jelas sekali Rasulullah berdoa agar
hidup beliau menjadi sarana peningkatan kebaikan.

Dan- sebaliknya – beliau meminta
agar kematian menjadi penutup bagi segala keburukan. Melalui doa ini, beliau
mengisyaratkan kepada para Muslim bahwa dalam kehidupan di dunia ini manusia
selalu mempunyai kemungkinan untuk berbuat buruk, baik sengaja maupun tidak.
Karena itu, kematian diharapkan tiba sebagai anugerah, karena dengannya segala
kemungkinan untuk berbuat buruk itu diakhiri.∆

Tidak ada komentar: