Komunitas Pembelajar Al-Qurãn
Minggu, 08 Januari 2017
Senin, 05 Desember 2016
Hipotesis Tentang Bagaimana Nabi Muhammad Mengorganisir Umatnya
*Mohon maaf tulisan ini cukup panjang. Anda harus memilih waktu yang tepat
dan bersabar untuk membacanya.
Dînul-Islãm
sebagai organisasi
Bahwa Dînul-Islãm (Agama Islam) pada hakikatnya
adalah sebuah (konsep untuk diwujudkan menjadi) organisasi, hal itu sah secara
bahasa. Dan secara kenyataan (praktis), hal itu juga dibuktikan dalam sejarah.
Gampangnya, Dînul-Islãm telah berhasil menjelma menjadi sebuah
organisasi[1]
besar berupa negara Madinah (Al-Mandînatul-Munawwarah).
Tapi, bagaimanakah gerangan proses untuk menuju ke sana?
Bila kita bicara tentang organisasi, apalagi bila
sudah menjelma menjadi negara, sebaiknya jangan dilupakan bahwa setiap
organisasi ditopang oleh dua struktur yang tak terpisahkan, yaitu suprastruktur
dan infrastruktur.
Komponen Dînul-Islãm
Ada sebuah Hadis – yang dikenal sebagai Hadis
Jibril, yang memberikan gambaran tersirat tentang Islam sebagai
organisasi, namun telah disalahpahami, bahkan kemudian disalahgunakan, sehingga
hakikat dari pesan Hadis itu menjadi kabur.
Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Abdullah bin Umar berdasar penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:
Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Abdullah bin Umar berdasar penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:
Umar bin Khatthab bercerita: Pada suatu hari, ketika kami
sedang duduk di dekat Rasulullah saw, tiba-tiba muncul seorang lelaki
berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya
tanda-tanda perjalanan jauh (yang menegaskan ia orang asing), namun
seorang pun di antara kami tidak ada yang mengenalnya; sehingga (tanpa kami
sadari) ia sudah duduk di hadapan Nabi saw. Lalu ia pertemukan lututnya dengan
lutut Nabi, kemudian ia letakkan kedua tangannya di atas paha Nabi. Selanjutnya
ia pun berkata, “Hai Muhammad, terang-kan padaku tentang Al-Islãm.”
Rasulullah saw menjawab: (1) “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat; anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan; dan anda berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkomentar: Anda benar!
Kata Umar (kepada anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.
Jawab Nabi: (2) Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah).
Lelaki itu berkomentar: Anda benar. Katanya lagi: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.
Kata Nabi: (3) Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda.
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah.
Jawab Nabi: (4) Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu).
Kata lelaki itu kemudian: Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya.
Jawab nabi: (5) (Tanda-tandanya antara lain adalah) seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung.
Kata Umar (kepada anaknya): Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”
Kataku (Umar), “Allah dan rasulnya lebih tahu.”
Kata Nabi, “Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”
Rasulullah saw menjawab: (1) “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat; anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan; dan anda berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkomentar: Anda benar!
Kata Umar (kepada anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.
Jawab Nabi: (2) Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah).
Lelaki itu berkomentar: Anda benar. Katanya lagi: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.
Kata Nabi: (3) Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda.
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah.
Jawab Nabi: (4) Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu).
Kata lelaki itu kemudian: Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya.
Jawab nabi: (5) (Tanda-tandanya antara lain adalah) seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung.
Kata Umar (kepada anaknya): Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”
Kataku (Umar), “Allah dan rasulnya lebih tahu.”
Kata Nabi, “Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”
Demikianlah isi Hadis Jibril itu. Perkataan Nabi yang
terakhir sengaja digarisbawahi karena merupakan kesimpulan; sedangkan jawaban-jawaban
Nabi sengaja diberi nomor (1-5), karena itulah agaknya yang dikatakan Nabi
sebagai amra
dïnakum (أمر دينكم). Tentu yang
dimaksud Nabi sebagai dïnakum (agama kalian) adalah dïnul-islãm. Dengan
demikian, Hadis Jibril ini memberi gambaran tentang pokok-pokok permasalahan
Dïnul-Islãm, atau komponen Dïnul-Islãm sebagai berikut.
Dïnul-Islãm (agama Islam) itu terdiri dari:
1. Al-Islãm(u)
2. Al-Imãn(u)
3. Al-Ihsãn(u)
4. As-Sã’ah, dan
5. Amãratus-Sã’ah
Dalam versi lain, dengan penutur Abu
Hurairah, Jibril bertanya mulai dari Al-ïmãn,
dan Nabi menjawab dengan kalimat agak berbeda, yaitu: Al-ïmãn; anda meyakini
ajaran Allah, yang disampaikan malaikatnya, yakni kitabnya beserta perwujudan
nyatanya, yakni rasulnya, dan selanjutnya anda meyakini al-ba’tsul-âkhir.
Sedangkan Al-Islãm diuraikan Nabi sebagai anda (hanya) mengabdi Allah, dalam arti tidak mengadakan tandingan apa pun baginya, melaksanakan shalat maktubah (lima waktu), membayar zakat yang diwajibkan, dan melakukan shaum Ramadhan. (Tidak disebut tentang haji).
Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah seolah-olah melihatnya, namun bila tidak dapat melihatnya maka (sadarilah) bahwa Dia melihat anda.
Ketika ditanya tentang As-Sã’ah Nabi mengatakan, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi akan kusebutkan tanda-tandanya; (yaitu) bila seorang budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah salah satu tandanya; dan bila orang miskin sudah menjadi pemimpin, maka itulah salah satu tandanya; dan bila penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung, maka itulah salah satu tandanya… Di antara yang lima (Abu Hurairah cuma menyebut tiga) itu, hanya Allah yang tahu.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Ilmu tentang As-Sã’ah hanya milik Allah. Dialah yang menurunkan hujan, yang mengetahui isi kandungan (perempuan). Sedangkan manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok, tidak tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang menegetahui segala sesuatu dengan seterang-terangnya.” Lalu kata Abu Hurairah, “Kemudian lelaki itu pergi. Maka kata Rasulullah saw, ‘Suruh lelaki itu kembali kepadaku.’ Maka mereka berusaha memanggilnya kembali, tapi tak seorang pun melihatnya. Maka kata Rasulullah saw, ‘Dia adalah Jibril, yang datang untuk mengajar manusia tentang agama mereka.’
Islam
sebagai organisasiSedangkan Al-Islãm diuraikan Nabi sebagai anda (hanya) mengabdi Allah, dalam arti tidak mengadakan tandingan apa pun baginya, melaksanakan shalat maktubah (lima waktu), membayar zakat yang diwajibkan, dan melakukan shaum Ramadhan. (Tidak disebut tentang haji).
Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah seolah-olah melihatnya, namun bila tidak dapat melihatnya maka (sadarilah) bahwa Dia melihat anda.
Ketika ditanya tentang As-Sã’ah Nabi mengatakan, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi akan kusebutkan tanda-tandanya; (yaitu) bila seorang budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah salah satu tandanya; dan bila orang miskin sudah menjadi pemimpin, maka itulah salah satu tandanya; dan bila penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung, maka itulah salah satu tandanya… Di antara yang lima (Abu Hurairah cuma menyebut tiga) itu, hanya Allah yang tahu.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Ilmu tentang As-Sã’ah hanya milik Allah. Dialah yang menurunkan hujan, yang mengetahui isi kandungan (perempuan). Sedangkan manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok, tidak tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang menegetahui segala sesuatu dengan seterang-terangnya.” Lalu kata Abu Hurairah, “Kemudian lelaki itu pergi. Maka kata Rasulullah saw, ‘Suruh lelaki itu kembali kepadaku.’ Maka mereka berusaha memanggilnya kembali, tapi tak seorang pun melihatnya. Maka kata Rasulullah saw, ‘Dia adalah Jibril, yang datang untuk mengajar manusia tentang agama mereka.’
Walaupun kita menerjemahkan Dïnul-Islãm sebagai Agama Islam (untuk memudahkan), kita tidak memahami Dïnul-Islãm sebagai kumpulan ritus – sebagaimana dipaparkan dalam buku -buku fiqih – tapi sebagai sebuah sistem untuk menata (mengatur) kehidupan manusia.
Perhatikan kembali urian di atas! Dalam Dïnul-Islãm ada Al-Islãm, yang di dalamnya terkandung lima unsur, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji. Yang menarik, pada kesempatan lain, Nabi menyebutkan lagi Al-Islãm dengan kelima unsurnya itu dalam susunan kalimat yang dimulai dengan kata buniya (dibangun; dibentuk), sehingga bisa disimpulkan bahwa Al-Islãm itu adalah (ibarat) sebuah bun-yãn atau binã’an.
Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bun-yãn atau binã’an berarti bangunan. Tapi bila kita bawa ke dalam bahasa Inggris artinya adalah structure (struktur). Lebih lanjut, bila istilah struktur kita bawa ke dalam konteks kebudayaan, maka struktur itu terbagi dua, yaitu: (1) supra struktur, dan (2) infra struktur.
Struktur manakah yang dimaksud oleh Nabi ketika beliau menyebut Al-Islãm – dalam konteks Hadis Jibril itu – sebagai bangunan? Jelas, redaksinya menegaskan, bahwa bangunan yang dimaksud bukanlah infra struktur.
Sepanjang sejarah perjuangannya, sekitar 23 tahun, Nabi baru membangun sebuah infra struktur pada tahun ke-13, dalam bentuk masjid yang sangat sederhana di Yatsrib, tepatnya di dusun bernama Quba, pada hari kesepuluh Hijrah. Sekitar tujuh bulan kemudian, didirikan pula sebuah masjid dan tempat tinggal keluarga Nabi di sebuah dusun lain, yang selanjutnya menjadi pusat kota Madinah. Selebihnya, yang dibangun oleh Nabi sepanjang hidupnya adalah sebuah supra struktur, yang di sini dibatasi dalam pengertian jama’ah, dengan catatan bahwa jama’ah ini adalah komunitas (Ing.: community) khusus para mu’min. Sedangkan masyarakat Madinah yang agak heterogen disebut Nabi dalam Piagam Madinah sebagai ummah (umat).
Perhatikanlah redaksi Nabi, dalam Hadis Jibril, ketika menjelaskan Al-Islãm, Al-Imãn, dan seterusnya, yang secara keseluruhan mengunakan kata kerja berisi kata ganti anta (anda). Ini adalah isyarat bahwa dalam pembicaraannya Nabi memberi penekanan pada faktor manusia, yaitu manusia yang ber-Al-Islãm, ber-Al-Imãn, dst.
Jelasnya, Al-Islãm itu baru bisa muncul bila ada manusia yang bersyahadat, manusia yang shalat, dst. Dengan kata lain, Al-Islãm dalam konteks hadis itu, adalah sebuah “kumpulan (jama’ah) manusia”.
Tentu saja mereka berkumpul bukan asal berkumpul, tapi berkumpul secara tertata, tersusun, alias terstruktur, bahkan juga terikat dalam suatu “sistem komando”. Jangankan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan dalam jumlah kecil pun harus dipastikan strukturnya, seperti kata Nabi dalam sebuah hadis bahwa dalam ‘rombongan’ yang terdiri dari dua orang pun harus dipastikan siapa yang menjadi pemimpin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelima unsur dalam Al-Islãm itu disebutkan bukan dalam konteks ritual, tapi dalam konteks organisasi. Alhasil, pengetian kelima unsur di dalamnya adalah:
1. Syahadat: bay’at (sumpah setia,
yang dilakukan secara formal) terhadap pemimpin, yakni Allah, melalui rasulnya.
2. Shalat (= ad-du’a,
harapan; cita-cita; obsesi) pemantapan tekad atau cita-cita dalam
diri setiap anggota (mu’min) untuk menegakkan ajaran Allah (Al-Qurãn), dengan
melakukan proses pembatinan (internalisasi) yang terus-menerus, melalui
pelaksanaan shalat ritual, terutama yang dilakukan secara bersama-sama
(berjama’ah). Shalat jama’ah ini bahkan merupakan lambang dari shaff (barisan)
yang disebut bun-yãnun marshûsh itu.
3. Zakat: penyerahan sebagian harta untuk kepentingan organisasi
(jama’ah), minimal 2½ persen kekayaan pribadi, dan maksimal tak terbatas.
4. Shaum Ramadhan:
sarana pembinaan ketahanan fisik dan mental setiap anggota jama’ah, untuk
membuktikan bahwa mereka benar-benar hanya bertuhan Allah, sehingga mereka siap
menghadapi segala godaan dan kesulitan dalam perjuangan.
5. Haji: Sarana pembinaan hubungan internasional antar umat
Islam yang tinggal di berbagai belahan bumi.
Iman
sebagai dasarPembahasan berikutnya dalam Hadis Jibril adalah Al-Imãn, yang juga harus diingat bahwa istilah ini disebut dalam konteks organisasi. Melalui hadis inilah kita bisa melihat perbedaan makna antara islãm dan imãn secara tegas (definitif), seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15:
قَالَتْ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ
تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلْ الإِيمَانُ فِي
قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ
أَعْمَالِكُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (14) إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمْ
الصَّادِقُونَ (15)
Orang-orang Arab (Makkah, pada masa Futuh Makkah) menyatakan
(kepada Rasulullah), “Kami beriman!”. (Kata Allah kepada rasulnya) “Tegaskan:
mereka belum beriman! Sebaliknya, suruh mereka untuk mengatakan: ‘kami menyerah
(takluk)’; karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian. Namun bila kalian
(dalam keadaan demikian itu) mematuhi Allah dengan mengikuti perintah dan
keteladanan rasulnya, maka segala amal kalian tidak akan disepelekan; karena
Allah (melalui ajaranNya) maha penutup (kejahatan masa lalu kalian) dan maha
pewujud kehidupan kasih sayang.”
Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.
Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.
Harap dicatat bahwa Surat Al-Hujurãt (‘kamar-kamar’) adalah
surat Madaniah; sebuah surat yang mengisyaratkan bahwa wilayah (negara) Madinah
– ibarat rumah – dibagi menjadi sejumlah ‘kamar’, yakni lingkungan internal
khusus, yang secara ‘alami’ terbentuk mengikuti keanekaragaman tradisi
masyarakat, dan keberadaannya disahkan Rasulullah melalui Piagam Madinah.
Secara garis besar, Madinah terbagi menjadi tiga ‘kamar’,
yang masing-masing ditempati oleh (1) kaum Muhajirin dan Anshar, (2) kaum
Musyrik, dan (3) kaum Yahudi. Begitulah keadaan de facto masyarakat
Madinah, yang selanjutnya – de jure – keadaan mereka bahkan diperinci
dan disahkan secara hukum melalui Piagam Madinah, yang membagi ‘kamar-kamar’
itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi berdasar suku-suku yang menjadi
warga negara.
Dalam konteks Piagam Madinah, kaum Muhajirin (yang di
dalamnya ada Rasulullah) dan Anshar adalah para mu’min. Selainnya, yakni kaum
Musyrik dan Yahudi, adalah para muslim, dalam arti “orang-orang yang menyatakan
kepatuhan terhadap hukum (sistem) yang berlaku di Madinah, khususnya yang
disahkan melalui Piagam Madinah”.
Kedua ayat di atas, agaknya, mengajukan suatu kasus ketika
Rasulullah memimpin penaklukan Makkah (Futuh Makkah) pada tahun ke-8 Hijrah.
Pada saat itulah warga Makkah, yang sebelumnya merupakan musuh yang sangat
keras bagi Rasulullah, mengakui kekalahan. Pengakuan itulah, agaknya, yang
mereka ungkapkan dengan kata ãmannã. Artinya: mulai saat ini kami beriman.
Namun, pengakuan itu ditentang dan dikoreksi oleh Allah, karena mereka
menggunakan suatu ungkapan istilahi (terminologis) yang salah.
Kemudian, melalui ayat 15, Allah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan iman yang benar adalah masuknya ajaran Allah – yang disampaikan dan dicontohkan rasulnya – ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan) manusia, sehingga mendorongnya untuk berjuang secara habis-habisan (total) untuk menegakkan ajaran Allah. Masuknya ajaran Allah (Al-Qurãn) tentu harus melalui proses belajar, yakni lewat pelaksanaan perintah studi Al-Qurãn dan shalat malam, seperti dirumuskan dalam surat Al-Muzzammil; tidak mungkin serta-merta masuk melalui sebuah pengakuan.
Kemudian, melalui ayat 15, Allah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan iman yang benar adalah masuknya ajaran Allah – yang disampaikan dan dicontohkan rasulnya – ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan) manusia, sehingga mendorongnya untuk berjuang secara habis-habisan (total) untuk menegakkan ajaran Allah. Masuknya ajaran Allah (Al-Qurãn) tentu harus melalui proses belajar, yakni lewat pelaksanaan perintah studi Al-Qurãn dan shalat malam, seperti dirumuskan dalam surat Al-Muzzammil; tidak mungkin serta-merta masuk melalui sebuah pengakuan.
Dalam Hadis Jibril bahkan ditegaskan bahwa ajaran Allah (Al-Qurãn)
itu, harus menjelma menjadi sebuah “teori nilai”, yang di situ disebut dengan
istilah al-qadru.
Memang sangat memprihatinkan ketika kita mendengar dan
membaca pemahaman para pakar tentang bagian dari Hadis Jibril itu, yang selama
berabad-abad telah disulap menjadi Rukun Iman, dan melahirkan ilmu tauhid.
Keterangan Nabi tentang al-ïmãn yang sebenarnya tak terpisahkan dari al-islãm,
yang dipaparkan dalam konteks Dînul-Islãm sebagai sebuah organisasi, disulap
oleh mereka menjadi enam obyek kepercayaan.
Padahal, Nabi sendiri, ketika bicara tentang iman, tidak
pernah membahas tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang apa yang masuk ke
dalam kalbu, yang selanjutnya mempengaruhi ucapan dan perbuatan, bahkan – lebih
jauh lagi – membentuk kepribadian atau akhlak (عقد بالقلب
وإقرار باللسان وعمل بالأركان).. Lagi pula, sungguh tidak realistis bila
bagian Hadis Jibril yang membahas iman itu dipahami sebagai pembagian
kepercayaan ke dalam obyek-obyek tertentu, yang bahkan jumlahnya dibatasi hanya
sebanyak enam obyek. Soalnya, kepercayaan tidak bisa dibatasi. Bahkan
kepercayaan terhadap Allah sebagai pencipta saja sudah membawa dampak lanjutan
berupa kepercayaan terhadap segala sesuatu yang diciptakannya, yang jumlahnya
tak terhitung. Jadi, konsep tentang Rukun Iman itu sebenarnya merupakan sebuah
pemasungan terhadap kemampuan akal (logika) manusia untuk mempercayai apa saja
yang ‘mampir’ ke dalam nalarnya. Dalam sebuah hadis Muslim bahkan ditegaskan
bahwa iman itu terdiri dari 61 atau 71 cabang. Selain itu, tentu saja kita juga
menangkap sebuah gejala kebodohan ketika sebuah teks dipahami secara lepas
konteks.
Hadis Jibril berbicara tentang Dînul-Islãm dalam konteks
sebuah ‘bangunan’, alias organisasi. Di sini, faktor manusia adalah yang
terpenting; dan yang lebih penting lagi adalah faktor mentalnya, khususnya
faktor sikap terhadap organisasi. Dalam pembahasan tentang al-islãm, terkesan
bahwa untuk membangun Dînul-Islãm menjadi sebuah organisasi, pertama, harus ada
pendaftaran anggota (rekrutmen; recruitment). Itulah yang terkesan dari
syahadah/bay’ah. Setelah itu, sang anggota harus mendalami cita-cita dan haluan
organisasi (shalat), harus ikut mendanai sesuai kemampuan (zakat), harus
mebentuk ketahanan fisik dan metal (shaum ramadhan), dan harus berwawasan dan
membina hubungan internasional (haji).
Selanjutnya, pembahasan tentang al-ïmãn terpusat pada
cikal-bakal terbentuknya organisasi itu, yaitu ajaran Allah, yang berpadu
dengan kemauan manusia untuk menjadikannya sebagai pedoman.
Perhatikan kembali teksnya:
Perhatikan kembali teksnya:
قال, “فأخبرنى عن
الإيمان.” قال, “أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر
خيره وشرّه.”
Dia (Jibril) berkata, “Terangkan padaku tentang al-ïmãn”. Nabi menjawab, “(al-ïmãn)
adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yang diturunkan melalui malaikatnya, yang
diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni
anda hidup berdasar ketentuan (al-qadru) baik dan buruk menurutNya (Allah).
Sekali lagi, ini bukan pembahasan tentang obyek-obyek
kepercayaan, tapi tentang dasar dari Dînul-Islãm sebagai organisasi. Dasarnya
adalah sebuah konsep (yang di sini adalah wahyu), yakni ajaran Allah, yang dari
masa ke masa diturunkan Allah melalui malaikatNya, dan diterima serta diajarkan
melalui rasul-rasulnya, secara bertahap. Tahap akhir (puncak) dari proses
belajar itu adalah menjadikannya sebagai sebuah “teori nilai” (al-qadru), untuk
membedakan baik dan buruk segala sesuatu berdasar konsep itu. Dalam konteks
pribadi, teori nilai itu pada awalnya menjadi sebuah “pengetahuan
teoritis”, yang selanjutnya menjelma menjadi “pandangan hidup” (worldview).
Dalam konteks individu sebagai bagian dari organisasi, ia akan menjelma menjadi
pribadi-pribadi yang beramal shalih, yaitu berbuat tepat, sesuai kemampuan
masing-masing, untuk berperan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan
organisasi, yaitu menjadikan ajaran Allah sebagai sebuah taqdïr (batasan atau
ukuran tentang baik-buruk; hukum) yang berlaku dalam suatu lingkungan
masyarakat (negara dsb).
Harap diingat baqhwa taqdïr
adalah kata lain dari qadr, yang pengertian harfiahnya antara lain
ukuran, batasan, timbangan, kententuan, dll. Tapi, dalam bentuk ma’rifah
(definitif), yaitu at-taqdïru/al-qadru, keduanya adalah sebutan lain bagi
Al-Qurãn. Uraian Nabi tentang al-ïmn, dalam konteks Hadis Jibril,
yang dihubungkan dengan surat Al-Hujurãt ayat
14-15 dan beberapa hadis lain, menegaskan bahwa iman itu baru terbentuk bila
ajaran Allah (Al-Qurãn) sudah masuk ke dalam
diri seseorang, sehingga akhirnya menjadi alat ukur baginya, untuk menentukan
baik-buruk atau benar-salahnya segala sesuatu. Dengan kata lain, iman itu baru
terbentuk dalam diri seseorang bila ajaran Allah sudah menjelma menjadi suatu
“kesadaran hukum” (legal aware).
Dengan demikian, nampak jelas ngawur-nya para pakar
yang membawa istilah taqdïr ke dalam konteks teologis ilmu tauhid,
sehingga mereka sendiri mengaku bahwa pembicaraan tentang taqdïr itu
tidak pernah selesai. Bagaimana bisa selesai bila pembicaraan tentang taqdïr
justru difokuskan pada kehendak pribadi Allah, yang tentu menjadi teka-teki
mahabesar? Masalah taqdïr baru akan selesai bila mereka mau menyadari
bahwa yang dimaksud dengan kehendak Allah itu tidak lain adalah segala yang
dinyatakanNya sendiri melalui wahyu, yang sekarang telah menjelma menjadi
sebuah kitab bernama Al-Qurãn!
Ihsan
sebagai sebagai teori amal shalih
Pertanyaan berikutnya dari Jibril adalah tentang al-ihsمn;
dijawab oleh Nabi dengan kalimat:
أن تعبد الله كأنّك تراه وإن لم تكن تراه فإنّه يراك
Harfiah: (Yaitu) bahwa anda mengabdi Allah seolah-oleh
melihatNya. Dan walaupun anda tidak melihatnya, sebenarnya Dia melihat anda.
Biasanya orang mengaitkan perkataan Nabi ini dengan shalat
ritual yang mereka artikan pula sebagai menyembah, sehingga terjemahannya
adalah: (Ihsan adalah) bahwasanya engkau menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan bila tidak bisa melihatnya (dan memang tidak akan bisa) maka
(ingatlah) bahwa Dia melihatmu.
Kekeliruan mendasar dari terjemahan itu adalah kata
ta’buda diartikan secara sangat sempit sebagai engkau menyembah, sesuai dengan
pemahaman bahwa shalat sama dengan sembahyang. Padahal, terjemahan yang benar
adalah anda mengabdi. Terjemahan ini bukan hanya benar secara harfiah, tapi
juga sesuai dengan gagasan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi abdi (hamba)
Allah.
Dalam pengertian harfiah, al-ihsãn
adalah kebaikan. Tapi, dalam pengertian istilahi, tentu ada perbedaan. Melalui
sebuah hadis lain (riwayat Muslim dll), Nabi menggambarkan pengertian al-ihsan dalam bahasa yang gamblang:
إنّ الله كَتب الإحسانَ
على كلّ شيئ. فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلَةَ وإذا ذبحْتم فأحسِنوا الذَّبْحَ
ولْيُحِدَّ أحدُكم شَفْرتَه فلْيُرِحْ ذبِيحَتَه.
Sebenarnya Allah menetapkan al-ihsãn atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, lakukanlah
pembunuhan itu secara ihsan; yaitu bila kalian menyembelih (hewan), lakukanlah
penyembelihan itu secara ihsan; yakni hendaklah pelaku penyembelihan itu
menajamkan parangnya, sehingga dengan demikian hewan sembelihannya jadi cepat
mati.
Dalam konteks Hadis Jibril, keterangan Nabi tentang al-ihsãn adalah kelanjutan (sambungan) dari keterangan tentang al-islam dan al-ïmãn. Bila dalam keterangan
yang pertama Nabi menggambarkan tentang manusia sebagai faktor terbentuknya
al-islãm sebagai organisasi, dan yang kedua menegaskan tentang
konsep yang menjadi dasar bagi pembentukannya, maka keterangan tentang al-ihsan
ini, yang disampaikan dalam bahasa kiasan, agaknya menegaskan bahwa sang
manusia yang tergabung dalam organisasi itu harus mengabdi dengan cara
sedemikian rupa, yang diungkapkan dalam bahasa kiasan: (1) membayangkan
seolah-olah melihat Allah, (2) menyadari bahwa ia dilihat Allah.
Namun, ada satu hal lain yang juga perlu diperhatikan. Nabi, dalam sebuah hadis lain, menyuruh umatnya memikirkan ciptaan Allah, tapi melarang berpikir tentang zat (oknum; pribadi) Allah. Tapi, dalam penjelasan tentang al-ihsan itu, kenapa Nabi malah seperti menyuruh untuk membayangkan (memikirkan) zat Allah? Kenapa ada sabda-sabda Nabi yang (seperti) saling bertentangan (kontradiktikf)?
Namun, ada satu hal lain yang juga perlu diperhatikan. Nabi, dalam sebuah hadis lain, menyuruh umatnya memikirkan ciptaan Allah, tapi melarang berpikir tentang zat (oknum; pribadi) Allah. Tapi, dalam penjelasan tentang al-ihsan itu, kenapa Nabi malah seperti menyuruh untuk membayangkan (memikirkan) zat Allah? Kenapa ada sabda-sabda Nabi yang (seperti) saling bertentangan (kontradiktikf)?
Ada jawaban sederhana: sabda yang satu berupa perintah dan
larangan; yang lainnya berbentuk perumpamaan. Seolah-olah melihat Allah tentu
tidak sama dengan melihat Allah. Tapi, dengan (berlagak) seolah-olah melihat
Allah itu, bukankah berarti memikirkan (membayangkan) juga?
Isa Bugis menjadikan hadis tersebut (تفكروا
فى الخلق ولا تتفكروا فى ذاته) sebagai landasan untuk melahirkan
teorinya, yakni bahwa setiap penyebutan kata Allah (termasuk sebutan lain
baginya, seperti rabb, dll.) janganlah secara langsung dihubungkan kepada
zatnya tapi hendaknya dihubungkan kepada ilmu atau ajaranNya (Al-Qurãn). Tegasnya, bagi Isa Bugis sabda-sabda Nabi di atas tidak
saling bertentangan. Namun, sebagai dampak lanjutannya, karena teorinya itu
menjadi bagian dari metode ilmu yang dikembangkannya, maka lahirlah suatu
bentuk penerjemahan yang sama sekali berbeda. Kata innallaha (إنّ
الله), misalnya, tidak diterjemahkan menjadi
sesungguhnya Allah, tapi: sesungguhnya Allah dengan ajarannya, yakni
Al-Qurãn …
Sebenarnya, teori Isa Bugis itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Bila, di satu sisi, Nabi menggambarkan iman dengan kata-kata an tu’mina billah (أن تؤمن بالله), misalnya, maka di sisi lain Allah juga mengabarkan: ãmanar-rasulu bimã unzila ilaihi min rabbihi wal-mu’minûn (آمن السول بما إليه من ربه والمؤمنون). “Sang Rasul (Muhammad) beriman dengan apa (ajaran) yang diturunkan rabbnya kepadanya (yakni Al-Qurãn). Begitu juga halnya para mu’min (pengikutnya)”.
Sebenarnya, teori Isa Bugis itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Bila, di satu sisi, Nabi menggambarkan iman dengan kata-kata an tu’mina billah (أن تؤمن بالله), misalnya, maka di sisi lain Allah juga mengabarkan: ãmanar-rasulu bimã unzila ilaihi min rabbihi wal-mu’minûn (آمن السول بما إليه من ربه والمؤمنون). “Sang Rasul (Muhammad) beriman dengan apa (ajaran) yang diturunkan rabbnya kepadanya (yakni Al-Qurãn). Begitu juga halnya para mu’min (pengikutnya)”.
Alhasil, keterangan Nabi tentang al-ihsan itu, tidak
dipahami Isa Bugis sebagai peristiwa seorang hamba yang menyembah Allah, tapi
menjalankan (memfungsikan) ajaran Allah. Untuk itu, ada dua pilihan sikap: yang
pertama, memancarkan ajaran Allah dari dalam dirinya, seolah-olah ilmu (ajaran)
Allah itu merupakan miliknya; dan yang kedua, membentuk kesadaran bahwa dirinya
tidak bisa lepas dari ilmu Allah itu.
Terus terang, teori Isa Bugis itu sangat berbau filsafat. Tapi, dalam bahasa yang gamblang ia juga mengatakan bahwa al-ihsan adalah amal shalih, alias berbuat tepat seperti yang dikehendaki Allah. Ini tentu sangat cocok dengan gambaran Nabi di atas, yang diambil dari konteks penyembelihan hewan itu.
Terus terang, teori Isa Bugis itu sangat berbau filsafat. Tapi, dalam bahasa yang gamblang ia juga mengatakan bahwa al-ihsan adalah amal shalih, alias berbuat tepat seperti yang dikehendaki Allah. Ini tentu sangat cocok dengan gambaran Nabi di atas, yang diambil dari konteks penyembelihan hewan itu.
Namun, harus diakui bahwa Nabi sendiri dalam hal ini
berbicara dengan bahasa filosofis pula, sehingga menjadi agak sulit untuk
dipahami orang awam. Kenyataannya, Hadis Jibril itu memang mengandung pemikiran
(konsep) tingkat tinggi. Bila diingat nara sumbernya, Umar bin Khatthab,
agaknya menjadi isyarat pula bahwa pertemuan antara Nabi dan Jibril itu hanya
terjadi di hadapan para sahabat Nabi sekelas Umar (Abu Bakar, Utsman, Ali, Abu
Hurairah, dsb). Tepatnya, peristiwa itu terjadi di hadapan tokoh-tokoh yang
(memang) pada akhirnya menempati posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan
Islam (kecuali Abu Hurairah, yang ‘hanya’ menjadi sahabat yang banyak
menyampaikan hadis).
Isa Bugis agaknya sadar betul betapa pentingnya hadis itu
dalam kaitan dengan Islam sebagai konsep hidup. Setelah menyebut al-iman
sebagai dasar, al-islam
sebagai penataan, ia menyimpulkan bahwa al-ihsãn
adalah tujuan, dan as-sã’ah sebagai
manajemen. Di sini Isa Bugis keliru; mungkin karena ia kurang cermat mengamati
keseluruhan Hadis Jibril.
Secara keseluruhan, boleh dikatakan Hadis Jibril memang bicara tentang fungsi-fungsi manajemen. Jadi, jelas keliru bila salah satu fungsi manajemen dianggap sebagai manajemen itu sendiri.
Secara keseluruhan, boleh dikatakan Hadis Jibril memang bicara tentang fungsi-fungsi manajemen. Jadi, jelas keliru bila salah satu fungsi manajemen dianggap sebagai manajemen itu sendiri.
Tentu saja konsep manajemen di sini tidak sama persis dengan
konsep manajemen perusahaan, yang berasal dari Barat. Cuma, boleh juga kita
curiga kalau-kalau mereka mengajukan teori manajemen itu justru setelah
mempelajari Hadis Jibril. Bila benar, bukan mereka yang salah. Umat Islamlah
yang bodoh tentang agama mereka sendiri.
Keterangan tentang al-islam mempunyai kemiripan dengan prinsip organizing (pengorganisasian), sedangkan keterangan tentang al-iman mirip dengan prinsip planning (perencanaan); dan al-ihsan agaknya ‘menyenggol’ secara borongan prinsip actuating (pelaksanaan), controling (pengawasan) dan staffing (penempatan SDM), yang keseluruhannya memang harus dilakukan dengan penerapan prinsip al-ihsãn itu.
Berbeda dengan konsep manajemen (kapitalis) Barat yang cenderung menempatkan manusia (bawahan) sebagai sapi perahan, konsep manajemen yang diajukan Hadis Jibril justru menonjolkan manusia secara keseluruhan sebagai faktor penentu. Penyebutan tentang manusia sebagai pelaku pengabdian, yang sudah dilakukan sejak awal, menegaskan bahwa faktor staff (SDM) adalah yang terpenting. Penyebutan tentang cara atau sikap si staff dalam mengabdi, yang terbagi menjadi dua, satu sisi menjadi isyarat tentang adanya perbedaan kemampuan mereka; sisi lainnya menegaskan agar setiap orang memilih posisi masing-masing dengan kesadaran penuh tentang kemampuan dan tanggung-jawab mereka.
Keterangan Nabi tentang al-ihsãn pada hakikatnya bisa kita urai demikian:
Keterangan tentang al-islam mempunyai kemiripan dengan prinsip organizing (pengorganisasian), sedangkan keterangan tentang al-iman mirip dengan prinsip planning (perencanaan); dan al-ihsan agaknya ‘menyenggol’ secara borongan prinsip actuating (pelaksanaan), controling (pengawasan) dan staffing (penempatan SDM), yang keseluruhannya memang harus dilakukan dengan penerapan prinsip al-ihsãn itu.
Berbeda dengan konsep manajemen (kapitalis) Barat yang cenderung menempatkan manusia (bawahan) sebagai sapi perahan, konsep manajemen yang diajukan Hadis Jibril justru menonjolkan manusia secara keseluruhan sebagai faktor penentu. Penyebutan tentang manusia sebagai pelaku pengabdian, yang sudah dilakukan sejak awal, menegaskan bahwa faktor staff (SDM) adalah yang terpenting. Penyebutan tentang cara atau sikap si staff dalam mengabdi, yang terbagi menjadi dua, satu sisi menjadi isyarat tentang adanya perbedaan kemampuan mereka; sisi lainnya menegaskan agar setiap orang memilih posisi masing-masing dengan kesadaran penuh tentang kemampuan dan tanggung-jawab mereka.
Keterangan Nabi tentang al-ihsãn pada hakikatnya bisa kita urai demikian:
Kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarãhu adalah suatu ungkapan untuk mengambarkan segolongan manusia
dengan kualitas (spesifikasi) tertentu. Bila diperhatikan, kata kerja tarã sendiri mengandung suatu isyarat penting.
Melalui kajian sharaf, kita ketahui bahwa kata kerja ini mempunyai empat bentuk
masdar, yaitu ra’yan, ru’yatan, rã-atan, ri’yãnan (رأيا و رؤية و
راءة ورئيانا ). Pengertian harfiahnya adalah melihat
dengan mata atau dengan akal (intelektual) [نظر بلعين أو
بالعقل] Kedua-duanya, baik melihat dengan mata
atau dengan akal (intelektual), tidak bisa dilakukan bila yang menjadi obyeknya
adalah zat Allah. Itu alasan pertama. Alasan berikutnya, menjadikan Allah
sebagai obyek adalah suatu kesalahan metodis (ilmiah).
Bila kita ambil salah satu masdar di atas, misalnya ru’yatan
(bisa dibaca ru’yah), lalu kita hubungkan dengan hadis Muslim yang bercerita
tentang penerimaan wahyu pertama, di situ kita temukan rangkaian kata: كان
أوّل مابُدئَ به الرسول الله ص م من الوحي الرؤيا الصاديقةَ (wahyu pertama
yang diungkapkan kepada Rasulullah adalah ar-ru’yash-shadiqah). Dalam
pengertian harfiah, ar-ru’yash-shadiqah adalah penglihatan yang benar. Tapi,
apa yang dilihat? Teks hadis mengatakan bahwa “obyek” yang dilihat itu ‘tampak’
seperti cahaya matahari di waktu subuh (مثل فلق الصبح).
Seperti matahari subuh! Tapi apakah gerangan obyek yang
muncul itu? Wahyu! Jadi, wahyu – atau tepatnya isyarat bakal turunnya
wahyu – mucul dalam rupa seperti matahari subuh alias fajar. Maka jangan heran
bila di dalam Al-Qurãn ada surat Al-Fajr, dan coba juga perhatikan frasa
mathla’i-fajri dalam surat Al-Qadr.
Bila cahaya fajar bisa dilihat dengan mata, lalu dengan apa
‘melihat’ wahyu? Tentu dengan daya intelektual; sehingga melihat di sini
berarti “mempersepsi”, yaitu menyadari kehadiran “sesuatu”. Bila sesuatunya
adalah benda, maka ia tampak melalui mata. Bila bukan benda (ide dsb), ia ‘tampak’
melalui otak.
Itulah pengertian kata tar dalam
keterangan Nabi tentang al-ihsân. Melihat di sini bukan melihat dengan mata,
dengan zat Allah sebagai obyeknya; tapi ‘melihat’ dengan kemampuan intelektual
(daya persepsi). Lantas obyeknya apa? Katakanlah, pada tahap belajar, yang
menjadi ‘obyek’ (kajian) adalah ajaran Allah (Al-Qurân).
Tapi uraian tentang al-ihsân itu diberikan dalam konteks
bekerja, bukan belajar. Dalam konteks kerja, yang menjadi obyek adalah segala
permasalahan yang dihadapi. Sedangkan ajaran Allah, yang sudah menjelma menjadi
sebuah persepsi dalam diri seorang mu’min justru menjadi “alat pandang”,
menjadi teori nilai, dan seterusnya melahirkan visi-visi yang mampu menjadi
solusi bagi segala permasalahan.
Jadi, kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarãhu adalah gambaran tentang kelompok manusia yang menempati
kelas tertentu; katakanlah kelas khawas (kebalikan awwam). Dalam
konteks organisasi, mereka adalah orang-orang yang paling mengenal visi dan
missi organisasi. Dalam konteks manajemen, mereka adalah para manajer. Dengan
kata lain, secara umum, mereka adalah para pemikir dan atau orang-orang yang
memiliki daya intelektual lebih tinggi di atas rata-rata (awam).
Sebaliknya, fa in lam takun tarãhu fa innahu yarãka
adalah gambaran tentang kelompok orang awam; yang dalam konteks organisasi
maupun manajemen menempati posisi sebagai orang-orang yang harus diatur, alias
para pelaksana atau pekerja. Dengan catatan bahwa yang mengatur adalah Allah
melalui ajarannya, yang dikuasai, dielaborasi, dan di-break down (dirinci) oleh
orang-orang khawas itu.
Pengaturan dilakukan agar semua manusia (SDM) bekerja pada
bidang masing-masing. Tidak boleh ada orang yang ditugaskan pada tempat yang
salah; seperti kata Nabi: bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Semua harus bekerja dengan
sebaik-baiknya, seperti dikatakan Nabi, dalam hadis di atas, bahwa Allah
menetapkan al-ihsãn dalam segala urusan.
As-sã’ahAs-sã’ah diajukan Jibril sebagai pertanyaan terakhir. Kalimat pertanyaannya menurut versi Umar adalah: Akhbirni ‘anis-sâ’ah (terangkan padaku tentang as-sâ’ah). Sementara dalam versi Abu Hurairah pertanyaan itu berbunyi: Mattas-sã’ah (kapankah – tibanya – as-sã’ah). Dengan kata lain, konotasi kalimat versi Umar adalah mempertanyakan definisi (apa itu as-sã’ah); sedangkan versi Abu Hurairah mempertanyakan momentum (kapan munculnya as-sã’ah).
Dalam berbagai kesempatan, ketika membahas atau menyinggung
tentang as-sã’ah, Isa Bugis cenderung mengutip kalimat versi Abu Hurairah itu
(mattas-sâ’ah). Tapi, uraian yang dikemukakan ternyata berupa definisi.
Dengan merujuk surat Thaha ayat 15, dan mengambil kalimat إِنَّ
السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ sebagai landasan, Isa Bugis
mendefinisikan as-sâ’ah sebagai pendatangkan (maksud-nya sesuatu yang
mendatangkan atau mengadakan). Pemaknaan ini, selain ganjil dari sudut bahasa
Indonesia, juga kontradiktif dalam tinjauan sharaf. Isa Bugis meng-anggap kata
âtiyatun/ءَاتِيَة sebagai subyek (ismul-fâ’il) dari kata
kerja transitif (muta’addi). Padahal, kata kerja atâ – ya’ti/اتى-
يأتى adalah kata kerja intransitif (lâzim)
alias kata kerja tak berobyek, dan ini jelas tampak pada susunan ayatnya. Jadi,
subyeknya, yaitu âtin/ءات bila lelaki (masculine gender) dan
âtiyatun/ءاتية bila wanita (feminine gender)
berarti sesuatu yang datang (atau seseorang, bila yang datang adalah
orang).
Kemudian, entah bagaimana rumusnya, Isa Bugis menyebut
as-sâ’ah dalam konteks Hadis Jibril itu sebagai manajemen.
Namun, menghubungkan hadis itu dengan surat Thaha ayat 15
adalah tindakan tepat, karena keduanya saling mendukung:
إِنَّ
السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
(Hai Musa) as-sâ’ah itu pasti (akan) datang. Aku hampir
merahasiakannya, agar setiap manusia diberi ganjaran sesuai apa yang
diperbuatnya (tanpa lebih dulu diberi tahu tentang akibat sebuah perbuatan).
Keterangan dalam ayat ini diberikan Allah setelah menyuruh
Musa mengabdi kepadanya, dengan lebih dulu membentuk kesadaran dengan
ajarannya, melalui proses shalat. Bila itu sudah dilakukan, maka as-sâ’ah (=
saat, masa) untuk memetik hasilnya adalah sesuatu yang pasti datang. Tapi
kapan? Bila pertanyaannya adalah momentum, Allah tidak menjawab. Tapi, bila
yang dipertanyakan adalah apa yang bisa diwujudkan dengan menjalankan ajaran
Allah, maka Allah memberikan penjelasan panjang-lebar kepada Musa, antara lain
seperti yang terungkap dalam surat Thaha, yang tentu diungkapkan Allah dalam
rangka mengajar Nabi Muhammad (dan umatnya).
Musa dan Muhammad adalah rasulullah, yang bertugas
menyampaikan ajaran Allah kepada manusia. Ketika Jibril bertanya tentang
as-sâ’ah, apakah Nabi Muhammad tidak tahu jawabannya? Tentu sudah tahu! Selain
itu, Jibril bertanya juga hanya sekadar bersandiwara (mengajar dengan metode
tanya-jawab).
Nabi Muhammad mengetahui jawaban tentang as-sâ’ah itu,
antara lain, tentu melalui surat Thaha. Maka, caranya menjawab Jibril pun
menjadi mirip dengan cara Allah menjawab Musa. Kata Allah kepada Musa, “Aku
hampir merahasiakannya.” Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Kata Nabi
kepada Jibril, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi,
akan kuberitahu tanda-tandanya.”
Jelasnya, bicara as-sâ’ah adalah bicara tentang waktu.
Adapun yang dimaksud adalah waktu tegaknya Dinul Islam sebagai sebuah konsep
menjadi kenyataan. Besar kemungkinan istilah as-sâ’ah adalah ringkasan dari
sâ’atul-qiyâmah, yang pengertiannya sama dengan yaumud-dïn (يوم
الدين), yaumul-ba’tsi (يوم البعث), dsb.
Jadi, as-sâ’ah sama dengan al-yaum(u). Artinya dalam bahasa
Indonesia adalah masa; dalam bahasa Inggris period (periode). Sã’atul-qiyãmah
(lengkapnya: sã’atul-qiyãmatid-dïni) berarti “masa tegaknya Dinul
Islam”, begitu juga yaumud-dïn dan yaumul-ba’tsi (al-ba’ts adalah sinonim
dari al-qiyãmah).
Selain sâ’ah dan yaum, kata lain yang juga sering digunakan
dalam Al-Qurãn adalah ajal (أجل), yang sayangnya selalu kita artikan
sebagai saat kematian seseorang. Padahal, ajal secara umum berarti “peluang
keberadaan (existence) segala makhluk Allah, sampai batas waktu
tertentu”. Termasuk seorang manusia, sebuah bangsa, sebuah kebudayaan, dan juga
sebuah sistem, semua mempunnyai peluang untuk lahir, berkembang, dan akhirnya
mati.
Dalam hal kesamaan maksud dari kata sâ’ah dan ajal, surat Al-’Ankabut ayat 5 memuat susunan kata yang mirip dengan surat Thaha di atas, dengan catatan di sini Allah menggunakan kata benda jenis lelaki (آتٍ), bukan perempuan (آتِيَةٌ):
Dalam hal kesamaan maksud dari kata sâ’ah dan ajal, surat Al-’Ankabut ayat 5 memuat susunan kata yang mirip dengan surat Thaha di atas, dengan catatan di sini Allah menggunakan kata benda jenis lelaki (آتٍ), bukan perempuan (آتِيَةٌ):
مَنْ
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ …
Siapa pun yang mengharapkan perwujudan (ajaran) Allah, maka
ajal Allah (waktu yang ditentukan Allah) untuk itu pastilah akan datang…
Jelaslah bahwa pertanyaan tentang as-sã’ah itu diajukan
dalam konteks ajaran Allah dengan pembuktiannya. Sebagai suatu ilmu, ajaran
Allah mengandung kemampuan (potensi) untuk mewujud nyata. Tapi hal itu baru
bisa terjadi bila persyaratannya terpenuhi, yaitu adanya manusia-manusia yang
ber-Islam (membentuk jama’ah), ber-Iman (menjadikan ajaran Allah sebagai
pegangan hidup), dan ber-Ihsan (berbuat tepat sesuai ajaran).
Perlukah disebutkan kapan waktunya? Tidak. Sebab, waktu – seperti halnya ruang – adalah fasilitas yang sudah disediakan Allah. Sedangkan kemauan manusia untuk menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya adalah urusan manusia sendiri. Tepatnya tinggal bagaimana manusia memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan. Jadi, sekali lagi, mempersoalkan tentang waktu adalah tidak ‘nyambung’ (relevan), walaupun dalam suatu perencanaan batas-batas waktu itu tentu bisa dipetakan.
Perlukah disebutkan kapan waktunya? Tidak. Sebab, waktu – seperti halnya ruang – adalah fasilitas yang sudah disediakan Allah. Sedangkan kemauan manusia untuk menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya adalah urusan manusia sendiri. Tepatnya tinggal bagaimana manusia memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan. Jadi, sekali lagi, mempersoalkan tentang waktu adalah tidak ‘nyambung’ (relevan), walaupun dalam suatu perencanaan batas-batas waktu itu tentu bisa dipetakan.
Karena itulah, dalam hadis versi Abu Hurairah, Nabi mengutip
surat Luqman ayat 34:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ
عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hanya Allah yang menguasai ilmu tentang as-sâ’ah. (Dialah
yang tahu kapan) akan menurunkan hujan dan apa yang terdapat dalam rahim.
Sebaliknya, seorang manusia (siapa pun dia) tidak akan tahu apa yang terjadi
besok, juga tidak akan tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah
yang mengetahui segala sesuatu secara cermat.
Inilah jawaban yang sangat jitu bagi setiap manusia yang cenderung ingin tahu tentang kapan sesuatu akan terjadi, yang mewakili sifat ‘ajulan (عجولا), alias ingin segera tahu hasil tanpa mengindahkan prosedur dan proses. Inilah sikap yang menjadi cikal-bakal kegagalan sebuah proyek! (Termasuk proyek penegakan Al-Qurãn!).
Inilah jawaban yang sangat jitu bagi setiap manusia yang cenderung ingin tahu tentang kapan sesuatu akan terjadi, yang mewakili sifat ‘ajulan (عجولا), alias ingin segera tahu hasil tanpa mengindahkan prosedur dan proses. Inilah sikap yang menjadi cikal-bakal kegagalan sebuah proyek! (Termasuk proyek penegakan Al-Qurãn!).
Karena itu, kata Allah, “Aku hampir merahasiakannya
(as-sâ’ah)”. Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Tegasnya, ‘separuh’ dari
rahasia itu dibongkar oleh Nabi dengan cara mengungkapkan tanda-tanda atau
isyaratnya.
Maka, daripada bicara tentang waktu – kapan tegaknya Dînul
Islãm, lebih baik bicara tentang tanda-tanda atau indikasinya, yang membuktikan
Dînul Islãm itu sudah tegak, di suatu masa, entah kapan! Selanjutnya, fokuskan
perhatian, minat, harapan, dan obsesi pada pemenuhan syarat-syaratnya. Jangan
berharap memetik buah tapi tidak mau berkebun.
Indikasi tegaknya Dînul Islãm
Salah satu tanda yang disebutkan Nabi adalah “seorang wanita
budak melahirkan (anak) tuannya” (أن تلد الأمة
ربّتها).
Selama ini kita mendapat keterangan dari para kiai bahwa
perkataan Nabi itu mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah
bejat, dan itu merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah dekat; dan yang mereka
maksud kiamat adalah kehancuran dunia.
Padahal, melalui sebuah hadis dalam kitab Bukhari, Nabi
menyatakan demikian:
عن أبى موسى قال قال
رسول الله ص م : ثلاثة لهم أجران … رجول كان عنده أمة فأدّبها فأحسن تأديبها و
علّمها فأحسن تعليمها ثمّ أعتقَها فتزوّجها فله أجران.
Menurut Abu Musa, Rasulullah pernah mengatakan, “Ada tiga
golongan yang berhak mendapat dua imbalan … (Salah satunya adalah seorang
lelaki yang memiliki budak wanita; kemudian dia mendidik budak itu
sebaik-baiknya, dan mengajarinya (Al-Qurãn) dengan sebaik-baiknya; setelah itu
ia membebaskannya, dan kemudian menikahinya, maka lelaki itu mendapat dua
imbalan.
Hadis ini memberikan jawaban gamblang mengapa seorang budak
(pembantu) wanita bisa melahirkan anak tuannya. Kelahiran itu bukan terjadi
melalui proses kehamilan haram, karena ia diperkosa tuannya, seperti yang
sering digambarkan orang selama ini. Hadis ini justru mengisyaratkan tentang
keadaan suatu masyarakat yang sudah mencapai tahap ketinggian moral.
Budak wanita, dalam struktur masyarakat yang piramidal,
adalah wakil dari lapisan masyarakat yang paling bawah dan lemah. Sementara
tuannya tentu mewakili lapisan masyarakat tertinggi dan berkuasa. Tapi, itu
hanya terjadi di masa sebelum Islam. Setelah Islam menjadi “etika masyarakat”
(meminjam istilah Nurcholis Madjid), struktur piramidal itu ambruk. Orang Arab
tidak lebih mulia dari non-Arab, kata Nabi. Kemuliaan manusia ditentukan oleh
takwanya. Patuhilah pemimpin, meskipun dia (pada masa lalu) adalah seorang
budak hitam.
Jadi, perkataan Nabi itu merupakan isyarat bagi lenyapnya
feodalisme dan diskriminasi dalam masyarakat sebagai akibat pengkelasan manusia
dalam struktur piramidal. Ajaran Islam menghapuskannya bukan melalui pemaksaan,
tapi melalui ‘revolusi’ kesadaran. Perhatikan bahasa Nabi dalam hadis di atas!
Perintah membebaskan budak tidak disampaikan dengan bahasa perintah, tapi
melalui ‘rayuan’.
Isyarat berikutnya, bahwa Dinul Islam sudah tegak, akan tampak pada sisi kehidupan yang lain. Kata Nabi, “Anda melihat orang-orang (yang semula) miskin, bertelanjang kaki dan badan, berlomba-lomba mendirikan gedung” (وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشائ يتطاولون فى البنيان).
Isyarat berikutnya, bahwa Dinul Islam sudah tegak, akan tampak pada sisi kehidupan yang lain. Kata Nabi, “Anda melihat orang-orang (yang semula) miskin, bertelanjang kaki dan badan, berlomba-lomba mendirikan gedung” (وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشائ يتطاولون فى البنيان).
Ini masih berkaitan dengan isyarat yang pertama. Bila yang
pertama adalah gambaran tentang lenyapnya sistem piramidal (kasta) dalam
masyarakat, maka berikutnya, bila struktur demikian sudah lenyap, lenyap pula
“kemiskinan struktural”.
Ingat! Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terpaksa harus ditanggung oleh golongan masyarakat bawah semata-mata karena mereka dilahirkan sebagai anggota masyarakat kelas bawah. Kemiskinan yang terlahir berkat jasa feodalisme dan kapitalisme! Biarpun mereka mempunyai fisik yang kuat dan otak yang cerdas, mereka akan tetap miskin, karena berbagai faktor ‘pengubah nasib’ (pendidikan, pasar, kekuasaan, kesempatan dll) dikangkangi oleh golongan atas (kapitalis yang bersekongkol dengan feodalis). Hanya kehancuran sistem kelas (dan modal) itulah yang bisa mengubah nasib mereka.
Kemudian, bila sistem kelas (dan modal) sudah tiada, apakah kemiskinan akan lenyap? Tentu tidak. Sebab, dalam masyarakat masih ada manusia-manusia yang memiliki kelemahan obyektif, misalnya cacat fisik/mental, yatim-piatu, jompo, dll. Tapi, keadaan mereka tidak akan terlantar, karena negara melalui sistem zakat menjamin kehidupan mereka, dan sesama anggota masyarakat memperlakukan mereka sebagai saudara.
Dua hal itulah – lenyapnya sistem piramidal dalam masyarakat dan hilangnya kemiskinan struktural – yang disebutkan Nabi sebagai tanda-tanda tegaknya Dinul Islam. Dengan kata lain, dua hal itulah target besar yang hendak dicapai dengan menjalankan organisasi bernama Dînul Islãm.
Suprastruktur, target awal pembangunanIngat! Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terpaksa harus ditanggung oleh golongan masyarakat bawah semata-mata karena mereka dilahirkan sebagai anggota masyarakat kelas bawah. Kemiskinan yang terlahir berkat jasa feodalisme dan kapitalisme! Biarpun mereka mempunyai fisik yang kuat dan otak yang cerdas, mereka akan tetap miskin, karena berbagai faktor ‘pengubah nasib’ (pendidikan, pasar, kekuasaan, kesempatan dll) dikangkangi oleh golongan atas (kapitalis yang bersekongkol dengan feodalis). Hanya kehancuran sistem kelas (dan modal) itulah yang bisa mengubah nasib mereka.
Kemudian, bila sistem kelas (dan modal) sudah tiada, apakah kemiskinan akan lenyap? Tentu tidak. Sebab, dalam masyarakat masih ada manusia-manusia yang memiliki kelemahan obyektif, misalnya cacat fisik/mental, yatim-piatu, jompo, dll. Tapi, keadaan mereka tidak akan terlantar, karena negara melalui sistem zakat menjamin kehidupan mereka, dan sesama anggota masyarakat memperlakukan mereka sebagai saudara.
Dua hal itulah – lenyapnya sistem piramidal dalam masyarakat dan hilangnya kemiskinan struktural – yang disebutkan Nabi sebagai tanda-tanda tegaknya Dinul Islam. Dengan kata lain, dua hal itulah target besar yang hendak dicapai dengan menjalankan organisasi bernama Dînul Islãm.
Dalam pengertian harfiah, supra struktur berarti ‘bangunan atas’. Kebalikannya adalah infra struktur, yang berarti ‘bangunan bawah’. Dalam pengertian istilahi, infra struktur adalah sarana hidup manusia, dan supra struktur adalah pengguna atau pemakai sarana itu sendiri, yakni manusia.
Dalam naskah ini, istilah supra struktur digunakan untuk menyebut organisasi atau tepatnya jama’ah; dan istilah jama’ah di sini akan diuraikan dalam pengertian sekumpulan manusia yang menyatu dan tertata dalam sebuah struktur (= bangunan), tegasnya dalam struktur (= sistem) sosial dan atau politik.
Supra struktur dan infra struktur terikat dalam pola hubungan sebab-akibat. Jama’ah sebagai supra struktur adalah bangunan primer (pokok; utama), yang melahirkan infra struktur sebagai bangunan sekunder (pelengkap).
Al-Qurãn adalah sebuah konsep dasar penataan hidup. Secara teknis konsep itu dimunculkan dalam sebuah ‘bangunan’ (bun-yãn), atau ‘rumah’ (bait) bernama dïnul-islãm. Bangunan atau rumah tersebut bukan bangunan atau rumah dalam pengertian harfiah. Kedua kata tersebut bersifat kiasan. Keduanya mengacu pada pengertian wadah atau tempat, yang di dalamnya ada sejumlah orang yang hidup dalam tatanan rumahtangga.
Dalam bahasa yang populer sekarang, bangunan atau rumah tersebut adalah organisasi.
Dalam rangkaian ayat-ayat berikut ini, Allah bahkan begitu kerasnya menegur para mu’min yang tidak mau menyatukan diri dalam organisasi.
سبّح
لِله ما فى السماوات وما فى الأرض وهو العزيز الحكيم – ياأيها الذين ءامنوا لِم
تقولون ما لا تفعلون – كبُر
مقْتا عند الله أن تقولوا ما لاتفعلون – إنّ الله يُحبّ الذين يقاتِلون فى سبيل
الله صفّا كأنّهم بُنيان مرصوص
Segala yang ada di jagad raya, begitu juga yang ada di bumi,
semua (patuh) beredar menurut (hukum/sunnah) Allah. Itulah pembuktian bahwa dia
(Allah) adalah pencipta hukum yang maha tangguh. Hai kalian yang menyatakan
diri beriman! Mengapakah kalian menggembar-gemborkan sesuatu yang tidak kalian
laksanakan? Sungguh besar murka Allah atas kalian yang cenderung banyak bicara
tanpa melakukan (apa yang dikatakan). Sebaliknya, Allah amat menyukai
orang-orang yang berperang (berjuang) menegakkan ajarannya dalam satu barisan
(formasi) yang bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
(Ash-Shaff ayat 1-4).Rangkaian ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa perjuangan untuk menegakkan ajaran Allah tidak cukup hanya dilakukan dengan ‘bicara’ (berda’wah secara lisan maupun tulisan) saja, tapi harus membentuk sebuah shaff, yang secara harfiah berarti barisan. Tapi dalam ayat di atas (ayat 4), istilah shaff itu digunakan dalam konteks perang; dan ini tentu menyiratkan sebuah pesan bahwa da’wah pada dasarnya tidak berbeda dengan perang. Di dalamnya harus ada strategi dan taktik tertentu, termasuk taktik dalam mengatur formasi barisan prajurit, demi memenangkan sebuah pertempuran. Hal itu tidak akan terjadi bila sebelumnya tidak dibentuk sebuah organisasi. Bila supra struktur, yakni organisasi sudah terbentuk, maka barulah bangunan berikutnya —infra struktur (sarana fisik, peralatan)— disediakan pula, sesuai kebutuhan yang mendesak (pragmatis). Dalam kaitan dengan shalat ritual, misalnya, pengadaan bangunan fisik seperti masjid atau mushalla, bukanlah sesuatu yang mendesak. Yang harus diutamakan dalam hal ini adalah pembinaan manusia-manusianya, agar bisa siap shalat sesuai Sunnah Rasul, yakni shalat untuk membentuk dan memperkuat jama’ah.
Sebagai bangunan pokok, pembentukan jama’ah adalah target awal dari ‘proyek’ penegakan Dinul Islam (sistem kehidupan berdasar Islam), sebagai kelanjutan logis kegiatan da’wah yang bersifat memperkenalkan ajaran Allah kepada manusia, dan selanjutnya mengajak manusia-manusia yang mau hidup (beriman) dengan ajaran Allah untuk bergabung dalam jama’ah, bahkan ikut membiayai.
Hal itu antara lain terkesan dari ayat-ayat berikut ini:
Al-Baqarah ayat 254-257:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ
يَوْمٌ لا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمْ الظَّالِمُونَ
(254) اللَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا
نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ
عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا
يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255) لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنْ
الغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدْ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى لا انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256) اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ
آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمْ
الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنْ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (257)
Hai orang-orang yang beriman, segeralah fungsikan segala
rejeki yang Kami berikan kepada kalian, sebelum datang giliran masa yang
menutup peluang jual-beli (sogok-menyogok), nepotisme, dan bantu-membantu
(deking-dekingan). Tegasnya, orang-orang kafir (pada waktu itu) benar-benar
merasakan kegelapan (tak bisa mempermainkan hukum). (Sadarlah bahwa) Allah
adalah satu-satunya ilah (tuhan) yang hidup dan terus bekerja (menjalankan
hukumnya), tak pernah lengah, tak pernah tertidur. Segala yang ada di jagat
raya dan bumi tunduk patuh pada hukumNya. Siapakah yang mampu menolong atas
namaNya bila tidak diizinkan olehNya? Dialah yang mengajarkan ilmu yang mereka
miliki, begitu juga ilmu yang dimiliki orang-orang sebelum mereka. Mereka tak
akan mampu menguasai secuil pun ilmu bila Ia (Allah) tidak mengajarkannya.
Wilayah kekuasaanNya mencakup jagat raya dan bumi; dan ia tidak mengalami
kesulitan untuk memelihara keduanya, karena Dialah yang maha tinggi dan maha
besar (kekuasaanNya). (Tapi ia) tidak menerapkan pemaksaan untuk menegakkan
sistem kehidupan yang diajarkanNya (yakni Dinul-Islam). Benar dan salah sudah
demikian tegas (perbedaannya). Maka, siapa yang mengkafiri (ajaran) Thaghut
demi mengimani (ajaran) Allah, berarti ia telah berpegang pada pegangan hidup
yang mahakuat, yang tak akan pernah terlepas. Tegasnya, Allah (melalui
ajaranNya) membentuk suatu tanggapan (= kesadaran) ilmiah yang maha unggul.
Allah (melalui ajaranNya) menjadi pemimpin orang-orang beriman, mengeluarkan
mereka dari kegelapan (pandangan
non-ilmiah) menuju terang (pandangan ilmiah). Sebalinya, orang-orang kafir,
para pemimpin mereka adalah Thaghut, yang mengeluarkan mereka dari terang
menuju gelap. Merekalah para ahli neraka (dunia dan
akhirat). Di sana mereka menjadi para penghuni tetap. Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لا يَعْلَمُونَ (30)
Berpegang teguhlah kalian pada ajaran Allah, sehingga
menjadi satu jama’ah; jangan malah (sebaliknya) kaliah hidup dalam keadaan
terpecah-belah. Tanamkanlah anugerah (ajaran) Allah ke dalam kesadaran kalian.
Dahulu kalian (bangsa Arab) hidup saling bermusuhan. Lalu dia (Allah dengan
ajaranNya) menjinakkan hati kalian, sehingga dengan anugerahNya itu jadilah
kalian manusia-manusia yang bersaudara. Dengan kata lain, pada waktu itu kalian
ada di tepi jurang neraka, maka Allah menyelamatkan kalian dari situ.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya, agar kalian menjadikannya sebagai
pedoman hidup. Begitu pentingnya pembinaan jama’ah itu, sampai-sampai Nabi mengatakan dalam sebuah Hadis yang juga bersumber dari Umar bin Khatthab:
إنّ رسول الله ص م قام
فينا كقيامى فيكم فقال: أكرموا أصحابى ثمّ الذين يلونهم, ثمّ الذين يلونهم, ثمّ
يظهر الكذِب حتّى أنّ الرجل لَيحلِف ولا يُستحلَف ويشهد ولا يُستشهَد. ألا فمن
سَرّه أنْ يَسكُن بُحَيحةَ الجنةَ فلْيلْزَم الجماعةَ. فإنّ الشيطان مع الفَرد وهو
مِن الإثنين أبعدُ
Rasulullah saw pernah berdiri di antara kami sebagaimana aku
berdiri di antara kalian sekarang. Pada waktu itu beliau mengatakan,
“Hormatilah para sahabatku, seterusnya (setelah masa mereka berlalu) hormatilah
para pelanjut mereka, dan seterusnya para pelanjut dari pelanjut mereka.
Selanjutnya (pada suatu masa) akan muncul kebohongan, sehingga seorang lelaki
akan bersumpah tanpa diminta, dan menjadi saksi walau tidak diminta. Camkanlah!
Siapa yang ingin tinggal di taman sorga, maka tetaplah dalam jama’ah.
Sebenarnya syetan itu mengiringi orang yang sendirian, sedangkan orang yang
berdua lebih jauh (dari syetan)…Komponen umat Rasulullah
Kembali kepada pembahasan tentang suprastruktur, yang di
sini diartikan umat atau lebih tepatnya jama’ah, yang bisa disetarakan dengan community (komunitas) dalam bahasa Inggris; sementara umat lebih setara dengan society (masyarakat).
Dalam sebuah hadis, yang telah
disinggung di bagian terdahulu naskah ini, Rasulullah mengisyaratkan bagaimana
beliau membangun komunitas, yang nanti akan kita lihat justru merupakan
komponen penting dalam tubuh umat (sosiety) Islam secara keseluruhan.
Yang dimaksud adalah hadis ini:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا
وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ (رواه بيهقى)
Terjemahan harfiah: Nabi saw bersabda, “Jadilah kamu ahli ilmu,
atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta, dan jangan jadi yang kelima,
sehingga kamu celaka.” (HR. Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa “yang kelima” itu adalah kelompok jãhil/جاهل
(bodoh).
Tidak banyak yang menyadari bahwa hadis ini seharusnya dipahami dalam
konteks pembangunan umat yang dilakukan Rasulullah pada masa hidup beliau, yang
tentunya harus ditiru oleh umat Islam sedunia, sampai akhir zaman.
Jadi, berdasar hadis ini, “Umat Islam” di masa
beliau ditata dengan cara membaginya ke dalam “5 Komponen” (5 unsur) yang
terdiri dari: 1. Kelompok ãliman, 2. Kelompok muta’alliman, 3. Kelompok mustami’an (),
4. Kelompok muhibban, dan di luar yang empat itu, masuk ke dalam
kelompok ke-5, yaitu kelompok yang celaka karena jãhil. ∆
[1] Negara pada hakikatnya
adalah organisasi. (State: organized political community with its apparatus
of government – Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English).
Langganan:
Postingan (Atom)