Rabu, 22 Juli 2015

Evaluasi Hasil Shaum Ramadhan



Bisa dipastikan, hanya sedikit orang yang melakukan evaluasi (penilaian) atas hasil-hasil yang diperolehnya setelah melakukan shaum (puasa) Ramadhan. Kebanyakan, mungkin, karena merasakan beratnya ‘beban kewajiban’ berpuasa, maka tibanya Idul-Fitri dirasakannya sebagai pembebas dirinya dari penderitaan. Setidaknya hal ini terungkap dari seorang anak tetangga, yang suatu hari berteriak setengah menangis kepada ibunya, mengatakan, “Umi, puasa ga enaaak!”
Anak-anak memang wajar bila tidak memahami makna dan tujuan shaum. Tapi sampai kapan seorang anak harus dianggap wajar dalam keadaan demikian? Tentu sampai dewasa. Tapi dewasa (harfiah berarti sampai umur) yang didapat semata-mata berupa hitungan (kuantitas) umur tidak menjamin kita menjadi paham begitu saja makna dan tujuan shaum. Bahkan bisa jadi, sampai tua, dan kemudian mati, pemahaman itu tidak juga didapat; karena memang tidak ada rasa penasaran untuk mendapatkan. Tidak ada semangat belajar. Tidak mau tahu.

Shaum = imsãk
Shaum (tidak masalah diartikan puasa, yang sama dengan pause yang berarti berhenti sejenak), pada dasarnya sama dengan imsãk(un), yang berarti menahan atau mengekang (mengendalikan). Kebalikannya adalah irsãl, yang berarti melepas atau mengumbar.
Secara teknis, imsãk adalah berhenti makan-minum (tentu juga merokok dan sebagainya), yang dalam berbagai hadis disebutkan waktunya adalah kira-kira selama bila kita membaca 50 ayat Al-Qurãn (sekitar 10 menit) menjelang adzan subuh. Tapi imsãk teknis ini tidak kaku. Artinya, bila kita belum bersantap sahur pada waktu imsãk, makan sahur boleh dilakukan, sampai tiba adzan subuh. Dengan demikian, imsãk teknis ini pun sebenarnya merupakan simbol (lambang) pengendalian diri. Dalam arti, meskipun makan, minum, dan lain-lain masih boleh dilakukan sebelum adzan subuh, tapi kita harus mempersiapkan diri untuk ‘takluk’ pada jadual shaum yang akan berlaku sepanjang hari (dari subuh sampai maghrib).
Secara filosofis (hikmah), imsãk (pengendalian diri) adalah target pertama yang harus dicapai melalui shaum Ramadhan. Berikutnya, sehubungan dengan pengajaran Al-Qurãn (pertama kali) yang dilakukan pada bulan Ramadhan, sehingga bulan Ramadhan disebut syahrul-qurãn (bulan Al-Qurãn), ditambah dengan kegiatan tadarus dan shalat di malam harinya, maka target yang harus dicapai adalah terjadinya “Qurãnisasi diri”; dalam arti setiap pelaku shaum Ramadhan, dengan segala kegiatan rentetannya itu, mampu melakukan pembangunan sisi batiniahnya (psikologis) menjadi orang yang mampu ‘menyatu’ dengan Al-Qurãn. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan dari shaum Ramadhan pada hakikatnya adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang secara psikologis (pikiran dan perasaan) mewakili (representative) Al-Qurãn.
Dikatakan juga bahwa inti dari shaum adalah sabar.
Sabar (صبر), pada hakikatnya adalah berpegang teguh pada amanah Allah.
Dan, amanah Allah yang hakiki adalah wahyuNya (Al-Qurãn).
Dengan demikian, shaum Ramadhan pada dasarnya adalah sebuah upaya pengendalian diri sedemikian rupa, supaya pelakunya mampu berpegang teguh pada Al-Qurãn.

Nuzûl dan tadãrus Al-Qurãn
Secara ilmiah, Nuzûl dan tadãrus Al-Qurãn adalah dua kegiatan yang sama; yaitu proses pengajaran dan atau pembelajaran Al-Qurãn. Sayangnya, kedua istilah ini telah disimpangkan sedemikian rupa; sehingga bila menyebut nuzûlul-Qurãn yang terbayang adalah “upacara peringatan” tanggal turunnya Al-Qurãn pertama kali. Padahal, penurunan Al-Qurãn di masa Rasulullah makan waktu sekitar 23 tahun; dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan dinamika permasalahan; yang hasilnya bukan hanya membentuk pribadi-pribadi Qurãni, tapi juga lahirnya negara dan peradaban Islam.
Begitu juga dengan tadãrus (تدارس); yang semula merupakan kegiatan belajar bersama yang bersifat mendalami, sekarang jatuh menjadi salah satu kegiatan ‘ritual’  Ramadhan, berupa pembacaan Al-Qurãn secara sendiri-sendiri dan ‘asal bunyi’; dalam arti pembacanya tidak peduli mengerti atau tidak apa yang dibaca. Target mereka hanyalah pahala, yang akan diterima setelah mati.
Dengan paham dan praktik nuzûl dan tadãrus Al-Qurãn yang berjalan sekarang, maka apa yang terurai di atas; yakni bahwa keduanya diharapkan bisa membentuk pribadi-pribadi Qurãni, tentu sangat mustahil terjadi. Analisis ini tidak bisa dibantah; karena hal tersebut sudah berlangsung 15 abad; dengan hasil umat Islam yang justru berjarak amat sangat jauh dari Al-Qurãn!

Qiyãmul-lail(i) menjadi tarãwih
Shalat malam (Qiyãmul-lail) atau tahajud di bulan Ramadhan, dilakukan Rasulullah setelah tadãrus Al-Qurãn bersama Jibril. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa dalam sekali berdiri (1 raka’at)  Rasulullah membaca mulai dari suarat Al-Fãtihah, disambung dengan Al-Baqarah, terus sampai Al-Mã’idah.
Karena perintah shaum Ramadhan turun pada tahun kedua hijrah, maka otomatis Rasulullah hanya menjalani shaum Ramadahn sebanyak 8 kali. Tapi dengan catatan bahwa setiap tahun beliau melakukan shalat malam Ramadhan, sendirian, dengan membaca ulang semua wahyu yang telah diterima pada masanya.
Tapi, apa yang terjadi sekarang? Shalat malam Ramadhan telah digantikan dengan shalat taraweh berjamaah, dengan pembacaan Al-Qurãn secara minimalis. Bahkan model shalatnya ada yang berlangsung secara kilat, seperti yang videonya belakangan beredar di internet.  
Bila disadari oleh para ‘pakar’ Islam, shalat taraweh pada hakikatnya merupakan penggusuran sunnah (kebiasaan; keteladanan) Rasulullah yang berupa shalat malam sebulan penuh, dengan pembacaan seluruh Al-Qurãn yang sudah dihafal oleh pelakunya. Dengan bersandar pada ‘sunnah’ Umar (?), mereka beranggapan bahwa shalat taraweh, yang dilakukan secara berjamaah, bermanfaat bagi syi’ar (semacam iklan) Islam. Kenyataannya, dunia memang menjadi “ramai” oleh umat yang melakukan shalat taraweh. Tapi seiring dengan itu, sebuah kiat untuk terjadinya “Qurãnisasi umat” telah diabaikan.

Perburun lailatul-qadr(i)
Kegiatan berburu lailatul-qadr yang dikatakan bakal ‘turun’ pada tanggal-tanggal dua-puluhan ganjil (21, 25, 27, 29) Ramadhan, dilakukan dengan berdiam (i’tikãf) di masjid. Anehnya, tak seorang pun di antara para pemburu lailatul-qadr itu melakukan kesaksian (testimoni) bahwa mereka telah mendapatkannya. Semua hanya berharap dan berangan-angan. Kalaupun tidak mendapatkan lailatul-qadr, yang bentuknya tak jelas, setidaknya mereka masih bisa mengharapkan dapat pahala i’tikãf.
Padahal, bila mereka perhatikan surat Al-Qadr(u), yang memuat istilah lailatul-qadr itu, mereka akan tahu bahwa lailatul-qadr adalah satu momentum untuk menyebut saat turunnya Al-Qurãn pertama kali. Dan momentum itu tidak berulang. Bila ada hadis-hadis yang mengatakan bahwa lailatul-qadr ‘turun’ berulang-ulang, setiap tahun, maka perlu dikaji ulang mengapa ada hadis-hadis yang bertentangan dengan Al-Qurãn, walaupun hadis-hadis tersebut diberi label shahih.
Hal yang jelas adalah: dengan berburu lailatul-qadr yang misterius itu, umat menjadi tidak tahu betapa pentingnya ‘memburu’ pemahaman dan penghayatan terhadap Al-Qurãn. Al-Qurãn yang merupakan anugerah yang nyata, petunjuk hidup yang gamblang, ditinggalkan untuk memburu lailatul-qadr yang tak jelas jeluntrungnya!

Bekasi, 22 Juli 2015.

CATATAN:
Agar tulisan ini lebih dipahami, silakan baca tulisan-tulisan saya yang berhubungan dengan shaum Ramadhan dan Idul-Fithri dalam blog PIPB. 

Senin, 13 Juli 2015

Yuk Laksanakan Nuzulul-Qurãn!

Kita sangat hafal istilah nuzûlul-qurãn dan sering merayakan dan atau ikut dalam perayaan nuzûlul-qurãn.  Tapi ada apa sebenarnya di balik istilah itu?

Memahami tiga istilah
Sebelum melangkah lebih lanjut, mari kita fokus dulu pada kata nuzûl, yang secara bentuk kata merupakan masdar dari kata kerja nazala-yanzilu yang biasa kita artikan turun. Tapi selain berarti turun, kata kerja nazala-yanzilu dengan masdar nuzûl(an) juga bisa berarti mengambil tempat atau menempati, alias halla bil-makãn(i) (حلّ بامكان).  Nazala juga bisa berarti jatuh atau runtuh (inhadara, انحدر).
Namun dalam konteks pengajaran Al-Qurãn, Allah tidak hanya menggunakan kata  nazala-yanzilu yang merupakan kata kerja tak berobjek (intransitif) tapi juga nazzala-yunazzilu-tanzîlan yang merupakan kata kerja berobjek (transitif), yang berarti mewahyukan (أوحى), atau menegakkan (أقام), atau menertibkan (رتّب).
Dan, ternyata dalam Al-Qurãn juga kita temukan kata kerja anzala-yunzilu dengan masdar inzãlan (انزالا) dan munzalan (منزلا), yang berarti mewahyukan (أوحى) atau menempatkan (أحلّ).
Mengapa harus menggunakan ketiga kata tersebut?
Secara sastra, kata nazala sebagai kata kerja tak berobjek digunakan untuk ‘mempersonifikasi’ Al-Qurãn, yaitu menggambarkan Al-Qurãn seolah-olah dia itu satu person (orang; manusia; makhluk hidup), yang bisa turun sendiri.
Sedangkan kata kerja nazzala dan anzala digunakan untuk mengembalikan Al-Qurãn pada keadaan yang sebenarnya, yaitu sebagai objek (barang) yang turunnya bukanlah karena dia bisa turun sendiri, tapi diturunkan oleh pemiliknya, yaitu Allah.
Terlepas dari semua kata kerja yang digunakan, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah masdarnya. Masdar adalah bentuk kata yang menggambarkan proses kerja. Jelasnya, baik masdar nuzûlan, tanzîlan maupun inzãlan dan munzalan, semua mengandung makna bahwa Al-Qurãn hadir melalui sebuah proses penurunan (pewahyuan; pengajaran) dari A (permulaan) sampai Z (selesai).

Perhatikan sinonimnya
Seelain itu, mari kita perhatikan kembali sinonim dari tiga kata kerja di atas. Pertama nazala semakna (sinonim) dengan menempati atau mengambil tempat (halla bil-makãn) tertentu, bukan sembarang tempat. Bila dikaitkan dengan sejarahnya, jelaslah bahwa Al-Qurãn turun di Goa Hira, Makkah, dan Yatsrib (Madinah).
Sedangkan sinonim dari kata nazzala adalah awhã, alias mewahyukan; mengingatkan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah wahyu, yakni sebentuk ajaran yang disampaikan Allah kepada para rasul melalui malaikat. Sinonim lainnya, aqãma (menegakkan) mengingatkan bahwa Al-Qurãn diajarkan untuk ditegakkan, alias dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Kata selanjutnya, rattaba (menertibkan; mengatur), mengingatkan bahwa Al-Qurãn pada satu sisi adalah satu ilmu yang ‘tertib’ (tersusun rapi; sistematis), dan pada sisi lainnya, ia mempunyai kemampuan untuk melahirkan ketertiban (keteraturan) dalam kehidupan manusia.
Terakhir sinonim dari anzala, yaitu ahalla (menempati, mengambil tempat) lagi-lagi mengingatkan bahwa Al-Qurãn membutuhkan tempat untuk ‘mendarat’. Harfiah, sudah disebutkan bahwa penurunan Al-Qurãn mengambil tempat mulai dari Goa Hira, berbagai tempat di Makkah, dan banyak tempat di Madinah. Tapi, bila di tempat-tempat tersebut tidak ada manusia, maka pastilah Al-Qurãn tak akan pernah turun.
Jadi, di mana tempat turun Al-Qurãn yang sebenarnya?
Jawabnya tentu di hati manusia.
Pertanyaan berikutnya, apakah manusia yang dimaksud itu umat Nabi Muhammad tempo dulu, zaman sekarang, atau manusia yang akan datang?
Mari kita jawab secara jujur, sendiri-sendiri.
Dan yang tertenting untuk dicamkan adalah bahwa Al-Qurãn tidak mungkin turun sendiri (nazala) kepada kita. Harus ada yang menurunkannya (nazzala; anzala) kepada kita. Siapa? Para ustadz, mubaligh dan sebagainya? Ya, salah satu dari mereka bisa membantu, dan bisa juga sebaliknya, menghambat (bila mereka malah mengajarkan sesuatu yang lain). Dengan demikian, akhirnya yang paling berperan memastikan terjadinya proses ‘penurunan’ itu tentulah diri kita sendiri.
Maukah kita menurunkan Al-Qurãn untuk diri sendiri? Maukan kita menjadikan hati kita sebagai tempat turunnya Al-Qurãn? Maukah kita menempuh proses penurunan Al-Qurãn, yang menuntut banyak pengorbanan itu?
Bila anda menjawab “mau”, dan belum memulai, mari kita mulai setelah Idul-Fithri!

Bekasi, 13 Juli 2015.