Senin, 17 Maret 2014

Perubahan Pola Pikir

Perubahan bentuk kehidupan manusia bermula dari perubahan sifat (keadaan) jiwaannya. Sifat manusia, apakah baik atau buruk, apakah peramah atau pemarah, bukanlah sesuatu yang terbawa  melalui kelahiran. Dengan kata lain, sifat manusia bukanlah sesuatu yang disebut orang Barat sebagai gifted (pemberian Tuhan) atau bakat.

Lewat sebuah Hadisnya yang terkenal Nabi menegaskan bahwa sifat manusia terbetuk oleh pengaruh lingkungan, khususnya ‘lingkungan pergaulan’ sehari-hari. Dengan demikian, sifat manusia bukanlah sesuatu yang menetap tapi sesuatu yang dapat berubah-ubah. Orang baik bisa menjadi jahat, orang peramah bisa jadi pemarah,dan begitu juga sebaliknya. Sebuah lagu yang populer di tahun enampuluhan, misalnya, menggambarkan demikian:

Wajahmu dulu berseri-seri
Senyummu dulu manis sekali
Pandangan matamu bercahaya
Tetapi kini jauh berbeda
Hilangkan syak wa sangka serta cemburu
Ataupun pikiran yang tiada menentu
Kuingin wajahmu berseri kembali
Kuingin senyummu terlukis kembali

Jadi, ‘masukan’ yang berupa kecurigaan dan cemburu bisa mengubah orang periang menjadi pemurung. Masukan yang lain tentu bisa pula menimbulkan suasana (baru) yang lain pula. Sehubungan dengan inilah kutipan di bawah ini menjadi cukup menarik untuk diperhatikan:

Mengelola sebuah perubahan pada dasarnya adalah megelola sebuah proses psikologi. Mengubah suatu organisasi berarti mengubah perilaku para anggotanya. Karena perilaku dikontrol oleh pikiran, maka satu-satunya cara untuk mengubah perilaku adalah melalui pikiran.
Dan karena yang dapat mengubah pikiran manusia adalah manusia sendiri, maka satu-satunya cara untuk melakukan perubahan adalah dengan mengajak orang mengubah pikiran mereka sendiri. Tapi bagian terberat dari proses perubahan memang mengubah pola pikir.
Pikiran adalah pusat dari segala kontrol perilaku manusia. Seluruh persepsi dan perilku manusia dipicu dari sini. Pemicu tersebut baru bergerak ketik enerji mendorong sirkuit di dalam otak yang berisi program
bersifat fisikal. Dari sinilah bermula proses berpikir. (James N. Farr dalam Executive Exellence).

Setiap bicara tentang perubahan nasib manusia, para ahli agama umumnya selalu mengutip bagian dari surat Ar-Ra’du ayat 11, dan itu pun tanpa dilihat kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu:

… Innallaha la yughayyiru ma_ biqaumin hatta yughayyiru ma bin anfusihim. …
Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. … (Terjemahan Mahmud Yunus).

Pengutipan tersebut ini tidak salah, tapi karena dilepaskan dari konteksnya, maka temanya menjadi tidak menentu. Padahal melalui surat ini, antara lain, Allah menegaskan tentang kecanggihan wahyunya, dan ia mengungkap hal itu dengan bahasa yang sangat menyentuh perasaan, dan pasti menimbulkan rasa malu, bagi orang yang berpikir, untuk bersikap kafir.

Tegasnya, perubahan sikap masyarakat tidak bisa ditentukan oleh oleh undang-undang tertulis, meskipun undang-undang itu berasal dari Tuhan!Sikap manusia hanya bisa berubah setelah pola pikirnya berubah. Dan perubahan pola pikir harus dilakukan melalui proses pendidikan atau da’wah yang benar. Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad pada periode pertama masa kerasulannya di Makkah, sehingga periode ini selanjutnya dikenal sebagai Periode Makkiah.

Penyebutan da’wah Rasululah pada Periode Makkiah bukanlah tanpa maksud. Bila kita ingin agar usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi Quran itu berhasil, maka mau tak mau kita harus menjadikan Sunnah Rasul sebagai pola dalam strategi dan taktik da’wah (pendidikan). Bila diakui secara jujur, da’wah Islam sejak berakhirnya masa Rasulullah dan para sahabat telah menyimpang dari pola Rasulullah, sehingga hasilnya adalah seperti yang nampak  dan terasa sekarang. Yaitu seperti kata Rasulullah, “Islam hanya tinggal nama, Quran hanya tinggal tulisannya; masjid-masjid ramai tapi kosong dari petunjuk.”

Da’wah yang dilakukan umat Islam sekarang sangat berbeda dengan da’wah Nabi. Para da’i sekarang cuma punya satu kecenderungan: mendorong masyarakat melakukan tindakan-tindakan praktis berdasar undang-undang tertulis (Quran-Hadis) hasil penafsiran mereka sendiri, yang malangnya tidak dikenal masyarakat secara akrab. Dengan sendirinya da’wah demikian menjadi lebih bersifat intimidasi daripada menerangi atau membimbing. Ini sangat mengerikan. Sangat berbahaya; karena bisa menyebabkan banyak orang melakukan sesuatu yang tidak mereka pahami secara mendalam. Da’wah model sekarang cuma membuktikan tuduhan Komunis bahwa agama adalah candu bagi masyarakat, atau semacam obat perangsang (dopping) yang memberikan kegairahan sesaat tapi mengakibatkan kerusakan permanen. Misalnya – mudah-mudahan saya salah! – kegiatan-kegiatan da’wah yang berbau hura-hura dan musiman, yang bisa menimbulkan anggapan bahwa itulah da’wah yang sebenarnya, dan anggapan itu – otomatis – membuat kita lupa pada cara (sunnah) da’wah hakiki yang dilakukan Rasulullah. Bila hal itu terus berlangsung, berkesinambungan, maka terjadilah kerusakan permanen pada Sunnah Rasul. *

Minggu, 16 Maret 2014

Siapakah ‘Lawan Bicara’ Al-Qurãn?

Lawan bicara (mad’u; audience) Al-Qurãn (pada dasarnya) adalah semua orang di seluruh dunia (universal), tanpa batasan jenis kelamin, kebudayaan, atau kepercayaan keagamaan. Namun, secara khusus, ayat-ayat Al-Qurãn, dengan berbagai bentuk kalimat yang panjang maupun pendek, mengarahkan panggilannya kepada enam kelompok manusia seperti di bawah ini.
  1. Umat manusia: Ayat-ayat yang menempatkan manusia secara umum sebagai lawan bicara biasanya berisi ajaran universal, peringatan-peringatan, dan kabar gembira. Kalimat-kalimatnya biasanya dimulai dengan seruan “Hai manusia” (yaa ayyuhan-nasu) atau “Hai Anak Adam”. Seruan-seruan ini bisa ditemukan dalam surat-surat yang turun pada awal pewahyuan, yang dikenal sebagai Ayat-ayat Makkiyah.
  2. Para mu’min: Ayat-ayatnya berisi pesan tentang perilaku dan etiket (akhlãq) Muslim dan sering kali merupakan perkenalan sebuah hukum. Selain itu juga bisa ditemukan peringatan tentang bahaya dari jalan hidup yang salah, dan kabar gembira bagi mereka yang istiqamah serta teguh bertahan dalam iman. Ayat-ayatnya biasanya dimulai dengan seruan “Hai orang-orang beriman” (yaa ayyuhal-ladzīna ãmanû), atau diakhiri dengan kesimpulan “ini berlaku/ditujukan kepada orang-orang beriman.”
  3. Ahli Kitab: Al-Qurãn banyak memperhatikan Yahudi dan Nasrani sebagai para penerima wahyu terdahulu. Mereka disapa dengan panggilan “Ahlul-Kitãb.” Al-Qurãn menggunakan kisah-kisah para rasul dari ketiga umat untuk mengingatkan mereka atas pesan universal berupa kapasrahan terhadap Allah. Kadang kala Al-Qurãn menyerukan pesan bagi ketiganya secara terpisah. Misalnya, setelah para Muslim awal hijrah dari Makkah ke Madinah, Nabi Muhammad berinteraksi dengan suku-suku Yahudi dalam diskusi-diskusi dan debat tentang wahyu Al-Qurãn. Al-Qurãn memuat sejumlah ayat yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Yahudi, dan juga menandai beberapa ketegangan yang terjadi di antara dua umat.
  4. Orang-munafik: Al-Qurãn memandang kemunafikan sebagai hal yang layak dibenci dan menggunakan kalimat-kalimat keras untuk mengutuknya. Ayat-ayat tentang orang-orang munafik biasanya berisi peringatan tentang sesuatu (azab) yang menunggu mereka di Akhirat, dan mengajak mereka untuk bertaubat (kembali) kepada iman yang benar.
  5. Penentang iman: Al-Qurãn banyak menyinggung mereka yang menolak da’wahnya dengan dalil-dalil (argumen) filosofis dan peringatan-peringatan. Mereka disebut sebagai orang kãfir. Istilah ini, oleh orang Arab, biasa digunakan untuk menyebut “orang yang tidak berterimakasih” (yaitu orang yang meningkari anugerah). Dalam sudut pandang Al-Qurãn, kekafiran (pengingkaran) terbesar adalah sikap ‘menutup telinga’ terhadap da’wah Al-Qurãn.[1]
  6. Para pembaca: Siapa pun anda, ketika membaca Al-Qurãn, akan merasakan bahwa anda sedang bercakap-cakap dengannya, yang di dalamnya kadang kala anda disuguhi pertanyaan-pertanyaan. Bahkan dalam satu surat saja (yaitu surat ke-55, Ar-Rahmãn), ada satu pertanyaan yang diulang sampai 31 kali. (Fa-bi-ayyi alã’i rabbikumã tukaddzibãn).
Al-Qurãn juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan penarik perhatian dengan cara yang akrab seperti, “Bukankah Dia mendapati kamu dalam keadaan yatim dan kemudian memberimu perlindungan? Dan dia mendapati dirimu dalam kesesatan, lalu memberimu pedoman? Dan dia mendapatimu dalam kemelaratan, lalu memberimu kecukupan? (93: 6-8).
——————
*** Tulisan ini diambil dan diterjemahkan dari “Islam for Dummies” (Amerika), yang mungkin dibuat oleh tim yg netral. Mungkin karena itu pada daftar di atas tidak ditegaskan bahwa Al-Quran juga menyebutkan Bani Isra’il sebagai lawan bicara. Selain itu, Nabi Muhammad sebagai lawan bicara langsung dengan peran-peran khususnya, misalnya dalam surat Al-Ahzab (ya ayyuhan-nabiyyu inna arasalnaka syahidan, wa mubasyiran, wa nadziran, wa da’iyan ilallahi, wa sirajan muniran) juga tidak disebut.
***Lebih lanjut silakan baca: http://www.dummies.com/how-to/content/identifying-the-audience-for-the-koran.html#ixzz0ms0KhMLi

[1] Istilah kãfir secara bahasa (ilmu sharf) berasal dari kata kerja kafara, yang berarti menutup. (AH)

Selasa, 11 Maret 2014

Masalah Apakah Yang Dibahas Dalam Al-Qurãn?

Topik-topik apa sajakah yang dibahas dalam Al-Qurãn?
Al-Qurãn membahas berbagai masalah. Hal terpenting yang dibahas di dalamnya adalah tentang keesaan Tuhan (God) dan bagaimana agar manusia menjalani hidup  sesuai kehendakNya. Topik-topik lainnya mencakup soal ajaran agama, penciptaan, hukum kriminal, agama Yahudi (Judaism), Kristenisme,  politeisme, nilai-nilai social, moralitas, sejarah, kisah-kisah para rasul sebelum Muhammad, dan ilmu pengetahuan (science).
Al-Qurãn mengajukan keteladanan agung para rasul terdahulu dan menyebutkan pengorbanan-pengorbanan besar mereka demi menyebarkan amanat Allah. Di antara mereka yang paling menonjol adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Al-Qurãn memaparkan bagaimana umat mereka, khususnya Yahudi dan Kristen, mematuhi dan menentang ajaran para rasul. Al-Qurãn juga membahas nasib bangsa-bangsa masa lalu yang menolak da’wah para rasul seperti Nabi Nuh dan Lut.
Di dalam Al-Qurãn terdapat perintah-perintah untuk menjalani kehidupan yang diridhai Allah. Ada perintah untuk melakukan shalat,  puasa, dan peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Al-Qurãn membahas hubungan antarmanusia, kadang secara sangat rinci – misalnya hukum waris dan perkawinan – yang mengingatkan pada Bibel berbahasa Ibrani (Perjanjian Lama) namun tidak terdapat dalam kitab Perjanjian Baru. Al-Qurãn menegaskan agar manusia menjalankan perintah-perintah Allah karena Allah (lillahi ta’ala) semata, bukan karena alas an-alasan duniawi. Al-Qurãn mengancam mereka yang menolak ajaran Allah dengan api neraka, seraya menjanjikan manusia yang patuh dengan imbalan sorga.
Al-Qurãn menuturkan kembali banyak kisah yang terdapat dalam Bibel, terutama tentang Nabi Musa (yang lebih banyak dari yang lain), disertai dengan penyebutan Fir’aun, musuh besarnya, yang dalam Al-Qurãn dimunculkan sebagai contoh iblis berbentuk manusia. Namun, (uraian Al-Qurãn) tidak sama seperti uraian dalam Book of Exodus (kitab yang mengisahkan pengusiran atau pelarian Yahudi yang dipimpin Musa dari Mesir, pen.). Al-Qurãn banyak mengajakan moral dan kewajiban-kewajiban hokum bagi kaum beriman, tapi tidak memuat hukum seperti yang terdapat dalam Book of Deuteronomy (Bibel kelima, yang berisi sepuluh perjanjian dan banyak ‘hukum Musa, pen.). Banyak ayat-ayat Al-Qurãn yang cocok disebut sebagai khutbah, tapi bukan khutbah seperti yang terdapat dalam kitab-kitab Gospel (riwayat dan ajaran Kristus sebagaimana tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru, kamus Peter Salim), yang mengisahkan masa kependetaan Yesus di dunia. Dalam Al-Qurãn, khutbah itu berasal dari Allah.
Pengulangan ayat
Al-Qurãn juga mengulang, berkali-kali, ayat-ayat dan tema-tema tertentu, melompat dari satu topik ke topik lain, dan seringkali mengajukan kisah-kisah secara singkat. Untuk hal itu, kita bisa melihat dua alasan. Pertama, demi alasan kebahasaan dan menandai keunggulan teknik retorika Bahasa Arab klasik.[1] Kedua, semua tema dalam Al-Qurãn, tak peduli bagaimana pun variasinya, semua diikat dalam satu jalinan (‘benang merah’) yang mengikat isi kitab secara keseluruhan. Intinya adalah pesan bahwa segala bentuk pengabdian terhadap selain Allah adalah keliru, dan bahwa kepatuhan kepadaNya, dan rasul-rasulNya (sebagai teladan kepatuhan, pen.), dengan Muhammad sebagai salah satu di antara meeka, adalah suatu keharusan.
Al-Qurãn, tidak seperti Bibel, tidak menghidangkan genealogi (silsilah keturunan), kronologi (urutan kejadian), atau rincian sejarah menit demi menit. Al-Qurãn hanya menggunakan kejadian-kejadian masa lalu maupun masa sekarang sebagai ilustrasi (gambaran untuk membantu pemahaman) pesan intinya. Maka, ketika Al-Qurãn membahas manfaat kesehatan madu atau kisah kehidupan Isa, keduanya tidak diurai secara tuntas, tapi masing-masing dihubungkan dengan cara tertentu kepada pesan inti, yaitu keesaan Allah dan kesamaan ajaran yang dibawa para rasul (bahwa semua berasal dari Allah). Tak peduli topik apa pun yang muncul, pasti akan ditemukan kaitannya dengan tema inti tersebut.
Hal penting lain yang harus diingat adalah bahwa Al-Qurãn tidak diturunkan (diajarkan) sekaligus, tapi diwahyukan (didiktekan) sedikit demi sedikit dalam waktu sekitar 23 tahun. Seperti kitab-kitab terdahulu, banyak ayat diwahyukan sebagai jawaban langsung atas kejadian-kejadian tertentu. Sering kali wahyu disampaikan dari malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang-orang di sekeliling beliau, baik mereka orang beriman maupun kafir.
Al-Qurãn mengingatkan kepada Ahlul-Kitab (istilah untuk menyebut Yahudi dan Nasrani), kepada manusia secara umum, kaum beriman, dan akhirnya kepada Nabi Muhammad sendiri, memerintahkan kepada beliau untuk melakukan tindakan tertentu dalam menghadapi situasi-situasi tertentu, atau memberi semangat kepada beliau, dan menghibur beliau ketika menghadapi ejekan dan penolakan. (Pendeknya) memahami konteks-konteks sejarah dan masyarakat (yang dihadapi Nabi Muhammad) akan menjelaskan pengertian teks (ayat-ayat tertentu dan Al-Qurãn secara keseluruan, pen.).
Ciri khas Al-Qurãn yang lain
Beberapa ciri khas Al-Qurãn lainnya adalah sebagai berikut:
  1. Penggunaan perumpamaan untuk menimbulkan rasa penasaran pembaca dan mengajarkan nilai kebenaran yang tersembunyi (filosofis, pen.).
    1. Lebih dari 200 ayat dimulai dengan kata perintah qul (katakan; bacakan; tegaskan; sampaikan, bantah dsb., pen.).[2] Misalnya: Tegaskan (olehmu, Muhammad, para mu’min): “Hai Ahli Kitab! Adakah alasan kalian membenci kami, selain karena kami beriman dengan ajaran Allah, yang diturunkan kepada kami, (yang senilai dengan) yang diturunkan sebelum ini? Bila demikian, sungguh benarlah bahwa kebanyakan kalian memang fasik (perusak ajaran Allah).[3]
    2. Dalam beberapa ayat Al-Qurãn, Allah bersumpah dengan menyebut maklukNya yang menakjubkan, untuk memperkuat argument (alasan) atau untuk menyingkirkan keraguan dari hati penyimak. Perhatikan, misalnya, surat Asy-Sayamsu. Kadang Allah juga bersumpah dengan menyebut diriNya sendiri, misalnya dalam surat An-Nisa ayat 65.
    3. Terakhir, dalam Al-Qurãn terdapat sesuatu yang (oleh ulama) disebut sebagai huruf-huruf singkatan (huruf-huruf muqatha’ah), yaitu kumpulan huruf-huruf abjad yang pengertiannya tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Arab. Hanya Allah tahu pengertiannya.[4] Huruf-huruf itu muncul pada permulaan 29 surat. Dalam pembacaan Al-Qurãn, huruf-huruf itu dibunyikan satu demi satu, misalnya alif-lãm-mîm.
Orang yang tidak akrab dengan Al-Qurãn mungkin akan menemui kesulitan membacanya,  terutama pada taham permulaan. Namun bila mereka memperhatikan hal-hal yang sudah diuraikan di atas, mereka akan terbantu, dan bahkan bila mereka hanya membaca terjemahannya pun, mereka akan menyadari bahwa Al-Qurãn adalah sebuah buku berbobot, yang tiada bandingannya.
(IslamReligion.com)

[1] Secara umum ulama beranggapan bahwa bahasa yang terdapat dalam Al-Qurãn adalah Bahasa Arab klasik atauh Bahasa Arab fushhah. (AH)
[2] Kata ini bisa diterjemahkan secara bervariasi, sesuai dengan konteksnya. (AH)
[3] Tentang pengertian istilah fãsiq periksalah, antara lain, surat Al-Baqarah ayat 26-27.
[4] Demikian kesepakatan ulama. (AH)