Senin, 28 Oktober 2013

Mati Di Alat



Menyebut kata “alat”, otak saya langsung riuh, gemuruh, padat dengan banyak gagasan tentang “alat”, sehingga saya nyaris tersesat, hampir linglung karena bingung.

Untung saya sudah terlatih berpikir runut, sehingga kata “alat” yang mendadak tampil genit dan liar bagai serombongan ular kepanasan itu segera dapat saya sambar kepalanya!

Tool maker

Manusia adalah tool maker (pembuat alat), walau Allah sudah membekalinya dengan banyak alat. Bahkan dengan bekal otak yang paling besar, yang otomatis membuatnya paling cerdas, manusia kok tak kunjung berhenti membuat alat.

Banyaknya jumlah alat yang dibuat, agaknya, menandai ‘kebutuhan’ manusia yang tak ada habisnya. Dan ini, dalam permenungan saya di tengah riuhnya sebuah mall, akan menyebabkan manusia jatuh menjadi makhluk yang paling ironis. Menjadi makhluk paling pintar sekaligus paling bodoh, dan celaka pula!

Lho, kok bisa?

Terjebak di sebuah outlet hp yang menawarkan ribuan hp dengan ratusan merek, saya membaca iklan sebuah merek hp, yang menawarkan salah satu fiturnya: pemasangan foto pemilik, alamat email, nomor pin, dan kotak yang bisa diisi komentar. Yang menarik, contoh komentar yang diberikan adalah kalimat bahasa Inggris berbunyi: Loving the party! (Suka dengan pestanya!).
Saya terbengong.
Jadi, segala merek hp yang semakin lama semakin sarat dengan berbagai fitur yang cangih-canggih itu, ujung-ujungnya hanya melayani ‘kebutuhan’ manusia untuk ‘berpesta’?

Anda tentu boleh membantah.

Tapi Al-Qurãn sudah memperingatkan bahwa kebanyakan orang bakal terjebak dalam bentuk kehidupan yang nilainya hanya ‘senda gurau dan bermain-main’!

Hp android

Saya pulang dengan membawa hp android yang dibelikan teman, yang dengan jenakanya mengatakan bahwa hp tersebut adalah buatan Cinta tapi ”Ngga Cina-Cina banget”! Entah apa maksudnya.

Yang jelas, saya mendapatkan alat baru yang membuat saya punya pekerjaan baru: mempelajari fitur-fitur dalam hp tersebut. Dan, lagi-lagi saya terhenyak ketika menghadapi hidangan puluhan gadget (harfiah: alat kecil), yang intinya menawarkan berbagai macam kesenangan, yang segera mengingatkan saya kembali pada kalimat Inggris di atas: Loving the party.

Ya, gadget-gadget itu, pada dasarnya hanya mengajak saya untuk menyikapi hidup sebagai mata rantai party (pesta). Bersenang-senang. Dan karena bersenang-senangnya dengan menggunakan hp, yang hanya digunakan oleh saya sendiri, saya pun teringat kata-kata seorang teman, yang menyebut bahwa kebanyakan manusia sekarang adalah penderita autis. Asyik dengan dunia sendiri.

Saya teringat pula kata-kata istri, yang mengutip ucapan temannya, bahwa sekarang hubungan manusia dengan hp adalah ibarat anjing dengan tulang.

Sedentary life

Konon, dengan segala alat yang dibuatnya, manusia ingin hidupnya semakin mudah, semakin menyenangkan, dan semakin mampu untuk menikmati segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Namun, benarkah demikian? Tidakkah dengan semakin banyaknya alat, manusia malah jadi semakin manja, malas bergerak, dan bahkan kemudian mengembangkan gaya sedentary life yang mengundang banyak penyakit?

Tapi, lucunya, bagi orang Indonesia, sedentary life (kebanyakan ‘beraktifitas’ di tempat duduk) itu kok malah jadi cocok dengan “kedudukan” manusia, yang memang merupakan “penduduk” bumi!

Dan, tahukah anda bahwa manusia yang paling banyak duduk adalah manusia yang paling pintar dan berkuasa di dunia? Mereka adalah manusia yang paling banyak bekerja dengan otak, walau tidak mesti menghasilkan pemikiran yang mulia. Mereka bisa berupa raja, presiden, ulama, pendeta, jenderal, guru, ilmuwan, penulis, dan lain-lain, yang menjadikan manusia-manusia lain sebagai ‘alat’ untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. ...

Teknologi dan santri

Kebutuhan manusia akan alat-alat tambahan, selain yang dibekali Allah, telah melahirkan cabang ilmu poluler bernama teknologi, yang konotasinya berarti “ilmu alat” (ilmu untuk menciptakan alat).

Tapi, di pesantren, ilmu alat adalah sebutan untuk cabang-cabang ilmu yang secara praktis maupun asumsi merupakan alat untuk memahami Al-Qurãn. Di antara cabang-cabang (= disiplin) ilmu alat itu, terdapat ilmu-ilmu bahasa yang manfaatnya memang mendasar sekali, yaitu ilmu sharaf (morfologi), ilmu nahwu (sintaksis), dan ilmu balaghah (stilistika). Selebihnya, kita akan temukan daftar panjang tentang ilmu-ilmu yang populer dengan sebutan ‘ulumul-qurãn (ilmu-ilmu Al-Qurãn), yang untuk mengkaji tuntas semua itu dibutuhkan waktu belasan atau puluhan tahun.

Anehnya, daftar panjang ilmu alat itu, kok belum mampu melahirkan para santri yang mampu menulis tafsir final Al-Qurãn. Bahkan, ironisnya, dengan ilmu-ilmu yang dipelajari secara serentak dan bersama-sama di berbagai pesantren dan sekolah tinggi agama itu, kok tidak mampu merukun-kompakkan umat Islam?

Mengapa?

Saya kok jadi ingat lagi hubungan manusia dengan hp. ...

Jangan-jangan ilmu-ilmu alat itu telah menawarkan kenikmatan-kenikmatan yang menimbulkan penyakit autis, atau menumbuhkan ‘sindrom’ hubungan anjing dengan tulang.

Kita menjadi asyik dengan alat.

Menjadi “mati di alat”.

Bukan mati badan. Tapi mati gerak. Mati gaya. Walau selalu merasa gaya.

Alat yang seharusnya membebaskan kita dari kesulitan untuk mencapai satu tujuan, eh malah menjebak kita dalam kesenangan ‘autistik’. Dalam ‘pesta-pesta’ yang menghanyutkan. Membuat kita tenggelam dalam kesibukan menikmati dunia yang hakikatnya fana. Bakal musnah. Dan membawa kita musnah.
Ya! Itu pasti...

Kecuali bila kita pedulikan peringatan Allah, misalnya, dalam surat Al-Ashr. ∆

Bekasi, 23.31, 31 Juni 2013.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum WW.

Semakin salut dan kagum saya kpd Bang AH dalam merangkai kata-kata.
Alhamdu lillahi Rabbil-'alamiiin, Saya sangat bersyukur sekali dapat berkenalan dengan bang AH, walaupun saat ini masih lewat dunia maya.

In syaa Allah, saya akan selalu ikuti terus tulisan-tulisannya.

Sekali lagi terimakasih.

Wassalamu'alaikum WW.