Kamis, 31 Oktober 2013

Al-Qurãn: Rujukan Pembangunan Akhlak Mulia

Bila Anda pernah nyantri, Anda pasti kenal betul apa yang disebut marãji'(u).

Harfiah, marãji' adalah jamak dari marja'(un), yang berarti "tempat kembali".

Dan "tempat kembali" ini adalah istilah untuk menyebut kitab rujukan, alias referensi (reference).
Di pesantren, yang lazim disebut marãji' biasanya adalah kitab-kitab tua dalam berbagai bidang ilmu (fiqh, tafsir, ilmu-ilmu bahasa, sejarah, dan lain-lain), yang juga populer disebut kitab kuning, karena kebetulan dicetak di atas kertas berwarna kuning. (Benar-benar kertas berwarna kuning; bukan menjadi kuning karena tua).


Secara umum, rujukan atau referensi adalah apa pun (juga siapa pun) yang menjadi sumber pengambilan ilmu dan atau keterangan. Jadi, bila saya mengutip suatu keterangan, saya bisa katakan bahwa rujukan (referensi) saya adalah buku anu, atau Profesor itu, atau Kiai Fulan, atau Raden Ajeng Kartini, misalnya (yang tulisan-tulisannya, terkumpul dalam buku – Habis Gelap Terbitlah Terang, sangat memukau saya).

Intinya, ketika bicara ilmu (apa pun bentuknya), maka otomatis kita tidak bisa mengabaikan sumber dan – terutama – narasumbernya. Soalnya, ilmu tidak ujug-ujug (tiba-tiba; spontan) tumbuh di otak kita. Ilmu masuk ke otak secara perlahan melalui sejumlah narasumber (orang) dan sumber (bahan bacaan, literatur), melalui proses yang kita sebut belajar.
Bila Anda mengamati proses terbentuknya sebuah ilmu modern (baru) – sebut saja ilmu penerbangan, misalnya – Anda akan temukan bahwa ilmu tersebut 'tegak' di atas fondasi yang tersusun dari berbagai (cabang; disiplin) ilmu-ilmu lain yang lahir lebih dulu, dalam arti puluhan atau ratusan tahun lalu. Temuan ini, bisa jadi, mengajak kita bertanya tentang sumber dari segala sumber ilmu!

Di kalangan Muslim, kita sudah lama mendengar dan atau membaca klaim (pengakuan) yang menyatakan bahwa Al-Qurãn adalah sumber segala ilmu. Sebuah klaim yang sering kita terima mentah-mentah, sebagai dogma, tanpa memastikan bagaimana definisi akuratnya.

Tapi, klaim itu memang tercantum di berbagai tempat dalam Al-Qurãn! Dengan catatan bahwa klaim Al-Qurãn tentang sumber segala sumber ilmu bukanlah Al-Qurãn itu sendiri, tapi Sang Pengajarnya, Allah. Dengan kata lain, Al-Qurãn bukanlah sumber segala ilmu, tapi hanya sebuah cabang atau disiplin ilmu. Dalam bidang apa? Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah melalui sabdanya yang terkenal: Buitstu li-utamima makarimal-akhlaq. (Aku diutus dalam rangka mengunggulkan – memenangkan – akhlak mulia). Jadi, gampangnya, Al-Qurãn adalah ilmu akhlaq. Tepatnya, ilmu untuk membina (membentuk; membangun) akhlak. Yaitu akhlak mulia, alias al-akhlãqul-karîmah.

Dan, harap dicatat! Bila kita bicara akhlak dalam peristilahan (terminologi) Al-Qurãn, yang dimaksud bukan hanya akhlak pribadi (individual), tapi akhlak jama'ah atau umat. Maka, dengan demikian, bila dikaitkan dengan ilmu, Al-Qurãn memberikan isyarat yang teramat kuat bahwa segala ilmu, oleh para pelakunya, harus ditegakkan di atas landasan akhlak mulia. Hanya dengan cara itulah ilmu akan bermanfaat secara baik dan benar bagi umat manusia.

Tapi, sayang seribu sayang, kecenderungan umat manusia sekarang adalah memisahkan ilmu dari akhlak. Penguasaan ilmu, apakah bernama pengetahuan (knowledge) atau ketrampilan (skill) dianggap sebagai prestasi, tak peduli orangnya berakhlak bejat!
Maka tak usah heran bila pemusik yang pezina tetap jadi idola dan dielu-elukan karena 'prestasi'-nya yang fenomenal (sic!).

Dan begitu juga di bidang-bidang kehidupan yang lain. Para tokoh dijunjung tinggi, dan ditempatkan pada posisi-posisi menentukan, karena prestasi keilmuan (intelektualitas) mereka, bukan karena akhlak mulia mereka. Dengan kata lain, dalam pemikiran kita sekarang, the right man (orang yang tepat) adalah orang yang berilmu, orang pintar, bukan orang yang berakhlak mulia. Dan, ironisnya – atau ngenesinnya! – pihak-pihak yang seharusnya tampil mewakili sumber-sumber akhlak mulia, sebut saja Kementrian Agama, malah tidak bisa diandalkan ilmunya. Bahkan akhlaknya juga! (Ingat korupsi di lembaga itu).
Duh, ampun dech! ∆

Tidak ada komentar: