Minggu, 27 Oktober 2013

Al-Qurãn Sepintas Kilas (1)

Pembukaan

Surat pertama dari Al-Qurãn dinamai Al-Fãtihah, yang harfiahnya berarti pembuka atau pembukaan. Tapi tidak seperti pembukaan atau pendahuluan buku-buku pada umumnya, isi Al-Fãtihah ‘lebih mirip’ sebuah ikrar, atau sebuah proklamasi, atau semacam sumpah, yang dinyatakan oleh sekelompok orang, atau sebuah komunitas yang unik, yang diwaklili dengan kata ganti “kami”, yang justru baru muncul pada ayat 5 dan 6.
Ayat pertama sampai keempat dari surat ini adalah kalimat-kalimat langsung, kalimat-kalimat kata kerja (verbal), yang tidak lengkap, karena kata kerjanya tidak ditampilkan (la tuktabu wala tunthaq). Sebuah ciri dari bahasa lisan alias bahasa percakapan. Tapi, harap dicatat, kendati berupa bahasa percakapan, bahasa Al-Qurãn adalah bahasa yang bernilai sastra sangat tinggi, menandai narasumbernya sebagai ‘sastrawan lisan’ yang sangat piawai ‘bermain’ dengan bahasa!

Ya, bentuk bahasa Al-Qurãn memang bahasa percakapan bernilai sastra tinggi!

Tapi sastra Al-Qurãn bukanlah sastra yang rumit.

Sering kali, sastra Al-Qurãn tampak sangat sederhana, namun tak pernah kehilangan daya pukaunya.
Namun, betapa pun sederhananya sastra Al-Qurãn, ia sangat sulit – bahkan mustahil – untuk ditaklukkan oleh penerjemah dari bahasa apa pun.

Kemustahilan itu terutama terletak pada ciri sajaknya yang muncul konsisten dan tetap harmonis, tanpa kejanggalan, tetap kompak, tajam, dan selalu indah. Tak akan pernah anda temukan seorang pun penyair dunia yang mampu menulis syair panjang, yang mampu menjaga konsistensi sajaknya tanpa cacat. Hanya Sang Pencipta bahasa sendirilah yang mampu berkarya demikian.


Selain itu, Al-Qurãn tidak hanya unggul dalam segi bahasa. Ia juga tak terkalahkan dalam segi isi. Tak akan anda temukan seorang pun penyair yang mampu menghidangkan bobot pemikiran sehebat Al-Qurãn.
Berdasar kenyataan itu, siapa pun yang mengaku sebagai “penerjemah” Al-Qurãn, ia akan gagal.

Penerjemahan Al-Qurãn hanya bisa dilakukan sebagai usaha maksimal dengan hasil minimal. Contohnya adalah penerjemahan di bawah ini, sebuah terjemah-tafsiriah, yang jelas tidak sama dengan terjemahan-terjemahan yang pernah anda temukan:

1. Kami, para mu’min, menyatakan untuk hidup dengan ajaran (isme) Allah. Dialah, Allah, Ar-Rahmãn – Sang Pengatur alam semesta dan Pengajar Al-Qurãn, (serta) Ar-Rahîm – Sang pengajar hidup berkasih-sayang, Sang Penyayang kaum beriman.

2. Kami menegaskan bahwa pujaan hanya layak ditujukan kepada Allah, penyelenggara semesta alam, pemberi sarana kehidupan insan.

3. Dialah Ar-Rahmãn Sang Pengatur alam semesta, Sang pengajar Al-Qurãn, dan Ar-Rahîm, yang mengajar hidup saling sayang, yang menyayang kaum beriman.

4. Dialah Sang penguasa waktu pemberi peluang tegaknya Dîn ini, yakni Dînul-Islãm, (pada ruang dan waktu yang telah dirumuskan).

5. Ya Allah! Berdasar ajaranMu kami mengabdi, dan melalui ajaranMu kami memohon pertolongan.
6. Maka tunjukilah kami, yakni melekkanlah selalu mata hati kami, agar kami selalu menempuh jalan hidup (ajaranMu) yang tangguh.

7. Yaitu jalan hidup (Dîn) yang telah Anda anugerahkan kepada mereka (para rasul), dan bukan sebaliknya – yakni – jalan hidup yang Anda jadikan kutukan kepada mereka, yakni para pemlintir kebenaran.

Ãmîn!


Ya Allah, perkenankanlah harapan kami! [5]
________________________________________
[1] Hubungkan dengan surat Thãhã ayat 5-8, dan surat Ar-Rahmãn ayat 1-2.
[2] Hubungkan antara lain dengan Hadits: irhamû man fil-ardhi yarhamukum man fis-samã’i (Sayangilah yang di bumi – sesama manusia – sehingga Dia yang di langit, Allah, pasti menyayangi kalian), dan surat Al-Azhab ayat 43.
[3] Kata rabb(un) mempunyai banyak arti, di antaranya penyelenggara, pemberi sarana, dll. Dan kata ãlam bisa berarti (denotatif) alam secara umum (= makhlûq), bisa juga berarti (konotatif) manusia.
[4] Dimaksud jalan hidup yang menjadi kutukan adalah jalan hidup yang dirintis iblis terkutuk, sehingga siapa pun yang menempuh jalan itu otomatis telah memasuki ‘area kutukan’ Allah.
[5] Kata (perintah – yang di sini bermakna doa) ãmîn, bukanlah bagian dari Surat Al-Fãtihah. Karena itu tidak pernah ditulis di dalam mushhaf. Kata ãmîn hanya diucapkan dalam shalat ritual sebagai tanda kesepakatan ma’mum terhadap ucapan imam. Kata ini semakin menegaskan bahwa Surat Al-Fãtihah adalah sebuah ikrar dari sebuah kelompok (jama’ah), yang ketika dibacakan seorang imam (ketua) di tengah jama’ahnya, maka jama’ahnya meng- ãmîn-kan (menyepakati; mendukung).

Tidak ada komentar: