Selasa, 01 November 2016

Analisis Îmãn (11)



Dalam uraian terdahulu telah disebutkan bahwa teori para ahli sejarah secara keseluruhan mengarah pada kesaimpulan: Sejarah adalah kisah hidup  manusia dengan segala karakter dan sepak-terjangnya. Namun perlu ditambahkan bahwa yang mereka maksud adalah “kisah hidup manusia di masa lampau”, bukan manusia zaman sekarang apalagi zaman yang akan datang.
            Secara umum, orang memang bersepakat menganggap sejarah sebagai rangkaian kisah masalalu. WJS. Poerwadarminta, misalnya menyebut sejarah sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau. Persamaan katanya adalah riwayat dan tambo.[1] Yang lain menatakan bahwa sejarah (history) adalah all the things that have happened in the past, especially to a country, organization etc that has existed for a long time.[2] (segala sesuatu yang terjajdi di masa lalu, terutama dalam sebuah negara, organisasi, dan sebagainya yang telah berdiri dalam waktu yang lama.
            Definisi yang cukup menggembirakan dikemukakan oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Ia bilang:
            Secara terminologis, sejarah sebagai istilah diangkat dari bahasa Arab, syajaratu yang berarti pohon. Secara terminologis saja, kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon”, yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon  yang rindang dan berkesinambungan. …[3]

Jelas ia menganggap sejarah analogous (sama) dengan “pertumbuhan peradaban manusia …” Bisa kita tambahkan di sini bahwa pertumbuhan itu seperti halnya pohon, terjadi mengikuti ‘pola’ tertentu sehingga bisa terjadi berulang-ulang, membentuk suatu siklus (lingkaran) yang tetap.
Benarkah sejarah manusia terjadi seperti itu?
 Al-Qurãn menyebut sejarah dengan berbagai istilah; antara lain sîrah (perjalanan hidup), dan yaum (yang biasa diartikan ‘hari’). Tinjauan kosmologis menyatakan bahwa apa yang disebut satu hari pada hakikatnya adalah satu peristiwa perputaran bumi pada porosnya dalam peredarannya mengitaei matahari. Jadi ini ‘sama’ dengan pertumbuhan pohon, yakni membentuk suatu pergiliran.
Surat ali-‘Imran 137-140, selain menggunakan istilah sîrah dan sunan (jamak dari sunnah), juga menggunakan bentuk jamak dari yaum, yaitu ayyãm untuk menyebut sejarah:
137. Tidak bisa diragukan lagi bahwa sebelum kalian telah berlalu serangkaian perjalanan (sejarah manusia). Karena itu telusurilah (perjalanan sejarah mereka) di bumi ini, serta camkan dalam kalbu kalian bagaimana akhirnya (nasib) para ‘pendusta’ (ajaran Allah).
138. Ini semua adalah gambaran tegas bagi umat manusia, yang selayaknya jadi petunjuk serta argumen bagi para muttaqîn.
139. Maka janganlah kalian (para muttaqqin) bersikap lemah serta pesimis; karena kalian pastilah unggul bila kalian konsekuen sebagai mumin.
140. Bila kesakitan menimpa kalian, maka (sadarlah bahwa) kesakitan serupa itu pernah menimpa kaum (terdahulu). Peredaran sejarah itu Kami pergilirkan dalam kehidupan manusia (juga dituturkan berulang-ulang melalui wahyu-Nya) karena Allah ingin memberi pelajaran para mumin demi menjadikan kalian syuhadã’ (para pewujud konsep Allah). Sebaliknya Ia tidak suka (bila kalian menjadi) kaum yang zalim.

Allah Pencipta sejarah
            Bila kita mengakui Allah sebagai Pencipta manusia, maka otomatis kita juga mengakui Allah sebagai sebagai Pencipta sejarah, dalam arti bahwa Dia-lah yang membuka peluang bagi manusia untuk menempuh jalan hidup yang disediakan-Nya.
            Surat al-Balãd ayat 10, menegaskan bahwa Allah membentangkan dua jalan kehidupan bagi manusia, yaitu jalan kehidupan haq dan bathil. Surat al-Fatihah juga mengungkapkan bahwa jalan hidup (shirãt) itu ada dua, yaitu jalan hidup yang diridhai dan jalan hidup yang dimurkai. Keduanya terbentang sejak awal penciptaan manuysia, sampai Allah berjehendak untuk mengakhirinya. Dalam Surat al-Anbiyaa’ 104-106,  Allah memaklumkan:
                … sebagaimana Kami (Allah) telah memulai ciptaan pertama, (begitulah seterusnya) Kami pasti mengulanginya. Itulah janji Kami. Kamilah yang menjadikan pelaku (sejarah)

Sebenarnya, telah Kami cantumkan dalam kitab Zabur suatu peringatan sebagai berikut ini: “Bahwa para abdi-Ku yang shalih pastilah mewarisi bumi ini.”

Sebenarnya peringatan ini gamblang sekali bagi pada abdi(-Ku)

Ayat-ayat tersebut di atas mengajak kita bertanya: bila ada orang mengatakan sejarah itu berulang, dari manakah sumbernya? Allah menegaskan bahwa Ia sudah mengungkapkan hal itu dalam kitab-kitab-Nya, antara lain dalam Al-Qurãn dan Zabur.
Jadi sejarah bukanlah sesuatu yang membeku atau mandek di masa lalu. Sejarah adalah ibarat kereta yang terus berjalan menembus gelap dan terang, dari waktu ke waktu dengan penumpang yang naik dan turun silih berganti. Jelasnya, kereta tersebut adalah dunia ini, dan para penumpang utamanya adalah manusia. Maka selagi bumi berputar, sejarah pun terus berputar. Sedangkan bagi manusia, sebagai penumpang di bumi ini, suka atau tidak suka, ia pasti hanyut dalam proses sejarah. Tapi ke manakah ia akan mengalir? Bermuara ke Jahanam atau ke Jannatu Na’im?

Perjalanan hidup
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “sejarah iman” adalah “perjalanan hidup manusia berdasar konsep iman masing-masing; yang secara keseluruhan terbagi menjadi dua, yaitu haq dan bathil.”
Dengan mengikuti konsep yang diyakininya, manusia mengisi ruang dan waktu sebagai fã’il (pelaku) sejarah, dan secara bergiliran tampil di permukaan bumi sebagai pemenang atau pecundang.
Para Rasul diutus Allah untuk menyusun dan memimpin barisan kaum pendukung kebenaran. Iblis dan antek-anteknya dipersilakan mementaskan konsepnya sendiri. Dalam Surat ash-Shaffat  60-74 Allah menggambarkan demikian: 

60. Sebenarnya inilah (Jannah) yang merupakan kejayaan agung.
61. Untuk meraih kejayaan seperti itulah para pelaku sejarah hendaknya menata perilaku mereka.
62. Apakah (konsep Jannah) itu merupakan capaian (prestasi) unggul (khairu-nuzulan) atau syajarah zaqûm?
63. Sebenarnya Kami jadikan syajarah zaqum itu sebagai fitnah (penambat hati) kaum zhalim.
64. Sebenarnya syajarah zaqum adalah (konsep) sejarah yang tumbuh dalam kehidupan Jahanam
65. Serbuknya  keluar dari kepala para syetan
66. Maka sebenarnya (gagasan para syetan) itulah yang mereka ‘makan’ sampai buncit perut mereka.
67. Selanjutnya, dengan menjalankan gagasan demikian, sebenarnya mereka hidup bagai buih di air neraka (kacau balau)
68. Selanjutnya memang terminal kehidupan mereka adalah Jahanam
69. Sebenarnya mereka (para pelaksana konsep syetan itu) mengetahui bahwa nenek-moyang mereka (yang mereka jadikan panutan) adalah kaum yang sesat.
70. Tapi mereka bergegas juga mengikuti jejak nenek-moyang (yang sesat itu)
71. Padahal telah jelas bahwa para pendahulu mereka itu kebanyakan telah melakukan perusakan (terhadap konsep yang benar).
72. Dan sebenarnya  telah Kami utus pula kepada mereka para rasul yang memberikan peringatan.
73. Tapi perhatikanlah keadaan orang-orang yang diberi peringatan itu.
74. (Semua asyik dalam kesesatan), kecuali para hamba Allah yang tulus-ikhlas menjalankan konsepnya.

Jadi dalam pandangan Allah, yang terungkap melalui Al-Qurãn, sejarah pada hakikatnya adalah reaksi manusia dari masa ke masa dalam menanggapi dua jenis tawaran, untuk beriman atau kufur. Dan dari masa ke masa pula, Allah terus memberikan peringatan agar manusia mengejar keberuntungan dengan memilih konsep yang haq. Dalam Surat Luqman ayat 29, misalnya, Allah berikan peringatan itu dengan menggunakan proses alam sebagai sampiran:[4]

Tidaklah kaliam perhatikan bahwa Allah “melarutkan” malam dalam siang dan “melarutkan” siang dalam malam, dengan menjadikan matahari dan bulan patuh beredar dalam ruang dan waktu yang ditentukan? (tidakkah kalian sadari pula) bahwa Allah membeberkan petunjuk segamblang-gamblangnya tentang apa yang harus kalian lakukan (dengan Al-Qurãn sebagai pedoman)?




[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi 1976, PN Balai Pustaka, Jakarta.
[2] Longman Language Activator, second impression, 1994.
[3] Menemukan Sejarah/Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Cet. I. Mizan, 1995, hal. 20-21.
[4] Secara harfiah sampiran berarti kain yang disampirkan (dibiarkan menggelantung) di bahu, sebagai perhiasan, seperti selendang, dsb. Dalam seni pantun, sampiran adalah rangkaian kalimat yang disusun semata-mata untuk menarik perhatian. Contoh: “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu , bersenang-senang kemudian.” Kalimat yang dicetak miring disebut sampiran.

Tidak ada komentar: