Dalam uraian
terdahulu telah disebutkan bahwa teori para ahli sejarah secara keseluruhan
mengarah pada
kesaimpulan: Sejarah adalah kisah hidup
manusia dengan segala karakter dan sepak-terjangnya. Namun perlu
ditambahkan bahwa yang mereka maksud adalah “kisah hidup manusia di masa
lampau”, bukan manusia zaman sekarang apalagi zaman yang akan datang.
Secara umum, orang memang bersepakat
menganggap sejarah sebagai rangkaian kisah masalalu. WJS. Poerwadarminta,
misalnya menyebut sejarah sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa yang lampau. Persamaan katanya adalah riwayat dan tambo.[1]
Yang lain menatakan bahwa sejarah (history) adalah all the things
that have happened in the past, especially to a country, organization etc that
has existed for a long time.[2]
(segala sesuatu yang terjajdi di masa lalu, terutama dalam sebuah negara, organisasi,
dan sebagainya yang telah berdiri dalam waktu yang lama.
Definisi yang cukup menggembirakan
dikemukakan oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Ia bilang:
Secara
terminologis, sejarah sebagai istilah diangkat dari bahasa Arab, syajaratu yang
berarti pohon. Secara terminologis saja, kata ini memberikan gambaran
pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena memberikan gambaran pertumbuhan
peradaban manusia dengan “pohon”, yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi
pohon yang rindang dan berkesinambungan.
…[3]
Jelas ia menganggap sejarah analogous (sama) dengan “pertumbuhan
peradaban manusia …” Bisa kita tambahkan di sini bahwa pertumbuhan itu
seperti halnya pohon, terjadi mengikuti ‘pola’ tertentu sehingga bisa terjadi
berulang-ulang, membentuk suatu siklus (lingkaran) yang tetap.
Benarkah sejarah manusia terjadi seperti itu?
Al-Qurãn menyebut sejarah dengan berbagai istilah; antara lain sîrah (perjalanan hidup), dan yaum (yang biasa diartikan ‘hari’).
Tinjauan kosmologis menyatakan bahwa apa yang disebut satu hari pada hakikatnya
adalah satu peristiwa perputaran bumi pada porosnya dalam peredarannya
mengitaei matahari. Jadi ini ‘sama’ dengan pertumbuhan pohon, yakni membentuk
suatu pergiliran.
137. Tidak bisa
diragukan lagi bahwa sebelum kalian telah berlalu serangkaian perjalanan
(sejarah manusia). Karena itu telusurilah (perjalanan sejarah mereka) di bumi
ini, serta camkan dalam kalbu kalian bagaimana akhirnya (nasib) para ‘pendusta’
(ajaran Allah).
138. Ini semua
adalah gambaran tegas bagi umat manusia, yang selayaknya jadi petunjuk serta
argumen bagi para muttaqîn.
139. Maka
janganlah kalian (para muttaqqin) bersikap lemah serta pesimis; karena kalian
pastilah unggul bila kalian konsekuen sebagai mu’min.
140. Bila kesakitan
menimpa kalian, maka (sadarlah bahwa) kesakitan serupa itu pernah menimpa kaum
(terdahulu). Peredaran sejarah itu Kami pergilirkan dalam kehidupan manusia
(juga dituturkan berulang-ulang melalui wahyu-Nya) karena Allah ingin memberi
pelajaran para mu’min demi menjadikan kalian syuhadã’ (para
pewujud konsep Allah). Sebaliknya
Ia tidak suka (bila kalian
menjadi) kaum yang zalim.
Allah Pencipta sejarah
Bila kita mengakui Allah sebagai
Pencipta manusia, maka otomatis kita juga mengakui Allah sebagai sebagai
Pencipta sejarah, dalam arti bahwa Dia-lah yang membuka peluang bagi manusia
untuk menempuh jalan hidup yang disediakan-Nya.
…
sebagaimana Kami (Allah) telah memulai ciptaan pertama, (begitulah seterusnya)
Kami pasti mengulanginya. Itulah janji Kami. Kamilah yang menjadikan pelaku
(sejarah)
Sebenarnya, telah Kami cantumkan dalam kitab Zabur suatu peringatan
sebagai berikut ini: “Bahwa para abdi-Ku yang shalih pastilah mewarisi bumi
ini.”
Sebenarnya peringatan ini gamblang sekali bagi pada abdi(-Ku)
Ayat-ayat tersebut di atas mengajak kita bertanya: bila ada orang
mengatakan sejarah itu berulang, dari manakah sumbernya? Allah menegaskan bahwa
Ia sudah mengungkapkan hal itu dalam kitab-kitab-Nya, antara lain dalam Al-Qurãn dan Zabur.
Jadi sejarah bukanlah sesuatu yang membeku atau mandek di masa lalu. Sejarah
adalah ibarat kereta yang terus berjalan menembus gelap dan terang, dari waktu
ke waktu dengan penumpang yang naik dan turun silih berganti. Jelasnya, kereta
tersebut adalah dunia ini, dan para penumpang utamanya adalah manusia. Maka
selagi bumi berputar, sejarah pun terus berputar. Sedangkan bagi manusia,
sebagai penumpang di bumi ini, suka atau tidak suka, ia pasti hanyut dalam
proses sejarah. Tapi ke manakah ia akan mengalir? Bermuara ke Jahanam
atau ke Jannatu Na’im?
Perjalanan hidup
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “sejarah iman”
adalah “perjalanan hidup manusia berdasar konsep iman masing-masing; yang
secara keseluruhan terbagi menjadi dua, yaitu haq dan bathil.”
Dengan mengikuti konsep yang diyakininya, manusia mengisi ruang dan
waktu sebagai fã’il (pelaku) sejarah, dan secara bergiliran tampil di
permukaan bumi sebagai pemenang atau pecundang.
Para Rasul diutus Allah untuk menyusun dan memimpin barisan kaum
pendukung kebenaran. Iblis dan antek-anteknya dipersilakan mementaskan
konsepnya sendiri. Dalam Surat ash-Shaffat
60-74 Allah menggambarkan demikian:
60. Sebenarnya
inilah (Jannah) yang merupakan kejayaan agung.
61. Untuk meraih
kejayaan seperti itulah para pelaku sejarah hendaknya menata perilaku mereka.
62. Apakah
(konsep Jannah) itu merupakan capaian (prestasi) unggul (khairu-nuzulan) atau syajarah zaqûm?
63. Sebenarnya
Kami jadikan syajarah zaqum itu sebagai fitnah (penambat hati) kaum zhalim.
64. Sebenarnya
syajarah zaqum adalah (konsep) sejarah yang tumbuh dalam kehidupan Jahanam
65.
Serbuknya keluar dari kepala para syetan
66. Maka
sebenarnya (gagasan para syetan) itulah yang mereka ‘makan’ sampai buncit perut
mereka.
67. Selanjutnya,
dengan menjalankan gagasan demikian, sebenarnya mereka hidup bagai buih di air
neraka (kacau balau)
68. Selanjutnya
memang terminal kehidupan mereka adalah Jahanam
69. Sebenarnya
mereka (para pelaksana konsep syetan itu) mengetahui bahwa nenek-moyang mereka
(yang mereka jadikan panutan) adalah kaum yang sesat.
70. Tapi mereka
bergegas juga mengikuti jejak nenek-moyang (yang sesat itu)
71. Padahal telah
jelas bahwa para pendahulu mereka itu kebanyakan telah melakukan perusakan
(terhadap konsep yang benar).
72. Dan
sebenarnya telah Kami utus pula kepada
mereka para rasul yang memberikan peringatan.
73. Tapi
perhatikanlah keadaan orang-orang yang diberi peringatan itu.
74. (Semua asyik
dalam kesesatan), kecuali para hamba Allah yang tulus-ikhlas menjalankan
konsepnya.
Jadi dalam pandangan Allah, yang terungkap melalui Al-Qurãn, sejarah pada hakikatnya
adalah reaksi manusia dari masa ke masa dalam menanggapi dua jenis tawaran,
untuk beriman atau kufur. Dan dari masa ke masa pula, Allah terus memberikan
peringatan agar manusia mengejar keberuntungan dengan memilih konsep yang haq.
Dalam Surat Luqman ayat 29, misalnya, Allah berikan peringatan itu dengan menggunakan proses
alam sebagai sampiran:[4]
Tidaklah kaliam perhatikan bahwa Allah “melarutkan” malam dalam
siang dan “melarutkan” siang dalam malam, dengan menjadikan matahari dan bulan
patuh beredar dalam ruang dan waktu yang ditentukan? (tidakkah kalian sadari
pula) bahwa Allah membeberkan petunjuk segamblang-gamblangnya tentang apa yang
harus kalian lakukan (dengan Al-Qurãn sebagai pedoman)?
[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi 1976, PN Balai Pustaka, Jakarta .
[2] Longman Language Activator, second impression, 1994.
[3] Menemukan Sejarah/Wacana Pergerakan Islam di Indonesia.
Cet. I. Mizan, 1995, hal. 20-21.
[4] Secara harfiah sampiran berarti kain yang disampirkan (dibiarkan
menggelantung) di bahu, sebagai perhiasan, seperti selendang, dsb. Dalam seni
pantun, sampiran adalah rangkaian kalimat yang disusun semata-mata untuk
menarik perhatian. Contoh: “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu , bersenang-senang kemudian.” Kalimat yang dicetak miring
disebut sampiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar