Selasa, 01 November 2016

Analisis Îmãn (13)


IV.  Prosedur dan proses pembentukan iman

            Di masa Orba sering terdengar orang menggunakan istilah ‘salah prosedur’. Apa sebenarnya arti salah prosedur itu? Secara sederhana salah prosedur bisa digambarkan seperti menjalankan kereta api di atas jalan mobil. Akibatnya, jalan menjadi rusak, kereta menggelimpang, dan para penumpangnya mengalami nasib malang.
Barangkali seperti itulah pula gambaran umat Islam yang mencapai imannya tidak melalui prosedur yang benar (tapi tetap merasa benar); sehingga yang muncul adalah kenyataan yang memprihatinkan seperti yang  terungkap dalam uraian-uraian terdahulu.

A. Prosedur dan Proses
      Prosedur (Inggris: procedure) adalah “metode yang dirancang dan ditetapkan sebagai cara benar dan wajar untuk melakukan sesuatu (a planned and fixed method that is the correct or normal way of doing something)[1].  Sedangkan proses (Inggris: process) antara lain berarti (1) rangkaian tindakan atau perubahan, dan sebagainya, yang saling berhubungan (connected series of actions, changes, etc.); (2) Cara khusus yang digunakan di pabrik (method, especially one used in manufacrure)[2].
            Prosedur dan proses adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Suatu prosedur berlaku dengan berjalannya proses, dan suatu proses berjalan dalam jalur prosedur. Prosedur adalah ibarat rel kereta api dengan kereta api yang harus berjalan di atas  rel itu. Menggelindingnya roda-roda kereta api dia atas relnya dari titik A sampai Z, itulah proses.  Melalui contoh ini pula dapat ditegaskan bahwa setiap masalah harus diselesaikan dengan prosedur dan proses yang berbeda. Dengan kata lain, tidak ada prosedur yang berguna untuk semua masalah; dan setiap prosedur menuntut berlakunya proses yang khas.
            Pembentukan iman pun pasti membutuhkan prosedur dan proses tersendiri, tidak bisa dilakukan secara sembarangan; bila ingin memperoleh hasil sesuai harapan, yaitu fi dun-ya hasanah wa fil-akhirati hasanah.

      Prosedur dan Sunnah
            Allah menyampaikan wahyu  melalui Malaikat dan manusia yang disebut rasul. Rasul Allah mengajarkan wahyu secara lisan dan sekaligus memberikan keteladanan. Selanjutnya, mendengar dan mencontoh Rasul itulah yang menjadi prosedur yang sah untuk menerima wahyu Allah. Sedangkan prosesnya dicontohkan Allah melalui penyampaian wahyu secara bertahap, dan begitu juga rasul mengajarkannya kepada para pengikutnya.
Dengan demikian, prosedur berarti sunnatullah wa sunnaturasul (ketetapan Allah yang diperagakan oleh Rasul), atau ringkasnya kita sebut Sunnah Rasul saja.
Sunnah rasul adalah sesuatu yang planned (dirancang) dan fixed (ditetapkan, dipastikan) untuk diikuti oleh para peminat ajaran Allah. Bila menyimpang, tunggu saja saat kehancurannya. Sebuah Hadits Riwayat Ahmad menegaskan: “man shana’a amran ‘ala ghairi amrina fa-huwa raddun” (siapa pun yang merekayasa suatu urusan tanpa dasar perintah – konsep – kami, maka perbuatannya itu berarti pembangkangan – terhadap kami).
Dalam Surat an-Nisa’ ayat 59 terdapat penegasan demikian:
Hai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah dengan cara mematuhi Rasul, yaitu manusia seperti kalian yang mengemban perintah (Allah). Selanjutnya, apabila kalian memperselisihkan sesuatu, maka carilah pemutusannya dalam ajaran Allah menurut Sunnah Rasul, bila kalian memang beriman dengan ajaran Allah serta ingin mencapai Tujuan Akhir (hasanah; jannah). Itulah sebaik-baik dan seindah-indahnya gambaran iman.

      B. Garis Iman
      Proses pembentukan iman bisa juga disebut garis iman, “ … ialah titik tindakan atau jumlah perbuatan yang sambung menyambung dalam satu garis sehingga mencapai iman. Artinya, siapa pun yang mau memiliki atau mencapai iman yang sebenarnya, dia harus melalui garis iman yang demikian, sebagaimana (digariskan) menurut Sunnah Rasul.”[3]
            Istilah garis iman hakikatnya sama dengan prosedur dan proses pembentukan iman, namun lebih figuratif[4]. Karena itu pernyataan di atas masih bersifat abstrak dan simbolis; sama abstraknya dengan sebuah hadits yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi membuat berbagai garis di atas pasir, lalu ia menunjuk sebuah garis lurus seraya mengatakan, “Inilah jalanku! Yang selainnya adalah jalan-jalan syetan!
Yang disebut sebagai jalanku oleh nabi dengan kata lain berarti Sunnah Rasul, dan jalan-jalan Syetan berarti sunnah Syayãthîn (sunnah para Syetan).
Lalu gambaran tegasnya bagaimana? Di atas dikatakan bahwa garis iman dibentuk oleh “titik-tindakan” atau “jumlah perbuatan yang sambung-menyambung” Tindakan apakah yang pertamakali harus dilakukan oleh orang yang ingin mencapai iman? Berapa banyak jumlah perbuatan yang harus dilakukan untuk membentuk ‘garis iman’ itu? Jawabannya tentu sangat relatif; tergantung pada kebutuhan pragmatis[5] setiap orang. Pada dasarnya, membentuk iman berarti membentuk kesadaran berdasar Al-Qurãn.
Anggap saja bahwa kita samasekali belum tahu Al-Qurãn. Maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari tahu secara kasar (global) dulu apa itu Al-Qurãn. Setelah itu baru melakukan tindakan-tindakan yang lebih mendetail (rinci), sesuai kemampuan masing-masing. Namun perlu diingat bahwa dalam masalah pengkajian Al-Qurãn ini Allah sudah memberikan rumusan yang bisa dijalankan semua orang, seperti yang terungkap lewat Surat al-Muzzammil yang kelak akan kita pelajari.

C.                 Aneka Garis Iman

Garis (tindakan; langkah) dalam membentuk iman tidak hanya satu, tapi jumlahnya sangat ditentukan oleh pilihan orang yang bersangkutan.
Surat an-Nisa’ ayat 46 mengungkapkan sikap sejumlah orang yang me-Yahudi (meniru Yahudi) yang mempelajari Al-Qurãn tidak melalui prosedur yang benar, karena mempunyai motivasi buruk:
            Segolongan manusia yang meniru Yahudi memutar-balik ajaran Allah dari tujuan sebenarnya, seraya menyatakan, “Kami telah menyimak (mengkaji) tapi kami menentang.” (Lalu mereka melancarkan propaganda), “Simaklah (kajilah) – Al-Qurãn – tapi jangan bersungguh-sungguh.” Dan (kepada nabi) mereka mengatakan, “Bimbinglah kami,”[6] dengan nada berolok-olok, yaitu demi melecehkan ad-din  (dinul-islam). Seandainya mereka benar-benar menyatakan, “Kami menyimak dan kemudian mematuhi. Maka itu lebih baik bagi mereka, dalam arti lebih meyakinkan. Tapi kekafiran mereka telah menyebabkan Allah melaknat mereka (laknat Allah jatuh terhadap mereka), sehingga hanya sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman.
     
Ayat ini menegaskan adanya segolongan manusia, yang dengan mengikuti pelopor Yahudi, melakukan pengkajian atas Al-Qurãn dengan tujuan melakukan hasutan agar orang tidak melaksanakan konsep Al-Qurãn. Kepada orang lain mereka bahkan menganjurkan agar pengkajian Al-Qurãn tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, tapi cukup secara main-main saja. Maka dari orang-orang seperti ini memang tidak bisa diharapkan akan muncul para mumin sejati, kecuali beberapa gelintir saja yang mungkin menyadari kekeliruan mereka, sebelum segalanya menjadi terlambat.
Surat al-Anfal ayat 20-22, menambahkan informasi demikian:

Hai orang-orang yang mengaku beriman, patuhilah Allah dengan cara mematuhi rasul-Nya dalam arti jangan pernah berbalik belakang dari konsep ini selagi kalian mengkajinya.
Janganlah kalian meniru orang-orang yang mengoceh, “Kami telah mengkaji (Al-Qurãn)”, padahal sebenarnya mereka tidak melakukan pengkajian.
Sebenarnya sejelek-jelaknya (makhluk) yang melata (di bumi) dalam pandangan Allah adalah manusia-manusia yang tidak memungsikan akal mereka, sehingga mereka tak ubahnya orang tuli dan bisu.

            Surat al-A’raf ayt 198 lebih menegaskan lagi:

Bila kamu dawahi mereka agar mengikuti petunjuk Allah, mereka tidak sudi menanggapi. Meskipun kamu lihat mereka pasang muka ke arahmu, sebenarnya mereka tidak memperhatikan dawahmu.

            Kebalikan dari mereka, Allah gambarkan dalam surat al-Baqarah 2:285
demikian:
            Rasulullah (Muhammad) hidup (beriman) dengan (ajaran Allah) yang diajarkan kepadanya dari pembimbingnya. Begitu pula halnya dengan kaum mumin (para pengikut rasul). Semua sama beriman dengan ajaran Allah yang diajarkan melalui malaikat-Nya dalam wujud Kitab-kitab-Nya, yang disampaikan oleh para rasul-Nya. (semua sama menyatakan), “Kami tak akan pernah membeda-bedakan salah seorang rasul dari Rasul-rasul-Nya (Allah).” Selanjutnya mereka menegaskan pendirian, “Kami telah mengkaji (Al-Qurãn), dan kami telah siap mkematuhinya. (Kami mengakui) inilah jalan perbaikan hidup menurut-Mu, wahai Pembimbing kami. Dan selanjutnbya jalan-Mu inilah yang pasti kami tempuh

Berdasar kenyataan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa garis iman secara keseluruhan (haq maupun  bathil) meliputi kelompok-kelompok seperti ini:

  1. Kelompok yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara bersungguh-sungguh, lalu menyatakan untuk melaksanakannya secara sungguh-sungguh pula. Mereka ini adalah para mumin yang dikepalai oleh Rasul.
  2. Kelompok yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara sungguh-sungguh, namun selanjutnya menyatakan tidak sudi menjadikannya sebagai pedoman hidup. Mereka ini sebut saja sebagai “kelompok cerdik-cendekia yang berafiliasi (mengaitkan diri) kepada Yahudi”.
  3. kelompok yang menjadi korban propaganda/siasat Yahudi, yaitu yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara tidak sungguh-sungguh, sehingga sikap obyektif mereka terhadap Al-Qurãn pun sulit diharapkan. Mereka ini mungkin mencakup “kalangan cerdik-cendekia yang mengkaji Al-Qurãn secara tidak langsung, yaitu hanya dengan perantaraan buku-buku karya orang-orang yang dianggap pakar.”
  4. kelompok jahiliyah yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

    1. Yang tidak sudi menoleh Al-Qurãn, sehingga secara apriori menyatakan kafir terhadapnya. Mereka ini meliputi kaum awam, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan seterusnya, yang sejak awal memang sudah dibentengi dengan doktrin-doktrin yang menyebabkan mereka menolak mentah-mentah tawaran Al-Qurãn.
    2. Yang tidak mau mengkaji Al-Qurãn tapi menyatakan sebagai pendukung Al-Qurãn, dan otomatis mereka mengaku mumin yang mencintai rasul, walau dalam kenyataan model kehidupan mereka sehari-hari bertentangan dengan apa yang diajarkan rasul. Mereka adalah korban dawah para ulama yang mengajarkan bahwa membaca Al-Qurãn tidak harus mengerti, karena tidak mengerti pun pasti dapat pahala!





[1] Longman Language Activator, cet. II, 1993.
[2] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oxford University Press, cet. VI, 1987.
[3] Isa Bugis, Pengantar Iman, ed. Bogor, tt.
[4] Suatu kata disebut figuratif bila tidak digunakan untuk mengungkap makna harfiah tapi makna imajinatif, sepertti kata membara, dalam kalimat: “Semangatnya untuk sukses demikian membara.”
[5] Pragmatic, berkenaan dengan hasil-hasil, alasan-alasan, dan nilai-nilai praktis. Suatu tindakan dikatakan pragmatis, bila bisa menjawab kebutuhan saat itu. Misalnya, memberikan makanan kepada orang lapar. Bila orang lapar disuruh mencangkul dulu sebeluym makan, maka ini berarti tidak pragmatis.
[6]Bimbinglah kami” adalah terjemahan penulis dari kata raa’ina yang menurut Mahmud Yunus dalam tafsirnya berarti: jagalah kami, gembalah kambing kami, atau ungkapan makian dalam bahasa Ibrani. Sedangkan menurut ‘Abdullah yusuf Ali, kata tersebut dalam bahasa Arab yang sopan berarti: pelihara dan jagalah kami; dan dalam bahasa Ibrani berarti: orang kita yang buruk.

Tidak ada komentar: