IV. Prosedur dan proses
pembentukan iman
Di masa Orba sering terdengar orang menggunakan istilah
‘salah prosedur’. Apa sebenarnya arti salah prosedur itu? Secara sederhana
salah prosedur bisa digambarkan seperti menjalankan kereta api di atas jalan
mobil. Akibatnya, jalan menjadi rusak, kereta
menggelimpang, dan
para penumpangnya mengalami nasib malang.
Barangkali seperti itulah pula gambaran umat
Islam yang mencapai imannya tidak melalui prosedur yang benar (tapi tetap
merasa benar); sehingga yang muncul adalah kenyataan yang memprihatinkan
seperti yang terungkap dalam
uraian-uraian terdahulu.
A. Prosedur dan Proses
Prosedur
(Inggris: procedure) adalah “metode
yang dirancang dan ditetapkan sebagai cara benar dan wajar untuk melakukan
sesuatu (a planned and fixed method that
is the correct or normal way of doing something)[1]. Sedangkan proses (Inggris: process) antara lain berarti (1)
rangkaian tindakan atau perubahan, dan sebagainya, yang saling berhubungan (connected series of actions, changes, etc.);
(2) Cara khusus yang digunakan di pabrik (method,
especially one used in manufacrure)[2].
Prosedur
dan proses adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Suatu prosedur berlaku dengan
berjalannya proses, dan suatu proses berjalan dalam jalur prosedur. Prosedur
adalah ibarat rel kereta
api dengan kereta api yang harus berjalan di atas rel itu. Menggelindingnya roda-roda kereta api dia atas
relnya dari titik A sampai Z, itulah proses. Melalui
contoh ini pula dapat ditegaskan bahwa setiap masalah harus diselesaikan dengan
prosedur dan proses yang berbeda. Dengan kata lain, tidak ada prosedur yang
berguna untuk semua masalah; dan setiap prosedur menuntut berlakunya proses
yang khas.
Pembentukan
iman pun pasti membutuhkan prosedur dan proses tersendiri, tidak bisa dilakukan
secara sembarangan; bila ingin memperoleh hasil sesuai harapan, yaitu fi dun-ya
hasanah wa fil-akhirati hasanah.
Prosedur dan Sunnah
Allah
menyampaikan wahyu melalui Malaikat dan
manusia yang disebut rasul. Rasul Allah mengajarkan wahyu secara lisan dan
sekaligus memberikan keteladanan. Selanjutnya, mendengar dan mencontoh Rasul
itulah yang menjadi prosedur yang sah untuk menerima wahyu Allah. Sedangkan
prosesnya dicontohkan Allah melalui penyampaian wahyu secara bertahap, dan
begitu juga rasul mengajarkannya kepada para pengikutnya.
Dengan demikian, prosedur berarti sunnatullah wa sunnaturasul (ketetapan
Allah yang diperagakan oleh Rasul), atau ringkasnya kita sebut Sunnah Rasul
saja.
Sunnah rasul adalah sesuatu yang planned (dirancang) dan fixed (ditetapkan, dipastikan) untuk
diikuti oleh para peminat ajaran Allah. Bila menyimpang, tunggu saja saat
kehancurannya. Sebuah
Hadits Riwayat Ahmad menegaskan: “man
shana’a amran ‘ala ghairi amrina fa-huwa
raddun” (siapa pun yang merekayasa suatu urusan tanpa
dasar perintah – konsep – kami, maka perbuatannya itu berarti pembangkangan –
terhadap kami).
Dalam Surat an-Nisa’ ayat 59 terdapat penegasan demikian:
Hai
orang-orang yang beriman,
patuhilah Allah dengan cara mematuhi Rasul, yaitu manusia seperti kalian yang
mengemban perintah (Allah). Selanjutnya, apabila kalian memperselisihkan
sesuatu, maka carilah pemutusannya dalam ajaran Allah menurut Sunnah Rasul,
bila kalian memang beriman dengan ajaran Allah serta ingin mencapai Tujuan
Akhir (hasanah;
jannah). Itulah sebaik-baik dan seindah-indahnya gambaran iman.
B. Garis
Iman
Proses
pembentukan iman bisa juga disebut garis
iman, “ … ialah titik tindakan atau jumlah perbuatan yang sambung
menyambung dalam satu garis sehingga mencapai iman. Artinya, siapa pun yang mau
memiliki atau mencapai iman yang sebenarnya, dia harus melalui garis iman yang
demikian, sebagaimana (digariskan) menurut Sunnah Rasul.”[3]
Istilah
garis iman hakikatnya sama dengan prosedur dan proses pembentukan iman, namun
lebih figuratif[4].
Karena itu pernyataan di atas masih bersifat abstrak dan simbolis; sama
abstraknya dengan sebuah hadits
yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi membuat berbagai garis di atas pasir,
lalu ia menunjuk sebuah garis lurus seraya mengatakan, “Inilah jalanku! Yang selainnya adalah jalan-jalan syetan!”
Yang disebut sebagai
jalanku oleh nabi dengan kata lain berarti Sunnah Rasul, dan jalan-jalan
Syetan berarti sunnah Syayãthîn
(sunnah para Syetan).
Lalu gambaran tegasnya bagaimana? Di atas
dikatakan bahwa garis iman dibentuk oleh “titik-tindakan” atau “jumlah
perbuatan yang sambung-menyambung” Tindakan apakah yang pertamakali harus
dilakukan oleh orang yang ingin mencapai iman? Berapa banyak jumlah perbuatan
yang harus dilakukan untuk membentuk ‘garis iman’ itu? Jawabannya tentu sangat
relatif; tergantung pada kebutuhan pragmatis[5]
setiap orang. Pada dasarnya, membentuk iman berarti membentuk kesadaran berdasar Al-Qurãn.
Anggap saja bahwa kita samasekali belum tahu Al-Qurãn. Maka tindakan pertama yang harus dilakukan
adalah mencari tahu secara kasar (global) dulu apa itu Al-Qurãn. Setelah itu baru melakukan tindakan-tindakan
yang lebih mendetail (rinci), sesuai
kemampuan masing-masing. Namun perlu diingat bahwa dalam masalah pengkajian Al-Qurãn ini Allah sudah memberikan rumusan yang bisa
dijalankan semua orang, seperti yang terungkap lewat Surat al-Muzzammil yang
kelak akan kita pelajari.
C.
Aneka Garis Iman
Garis (tindakan; langkah) dalam membentuk iman tidak
hanya satu, tapi jumlahnya sangat ditentukan oleh pilihan orang yang
bersangkutan.
Surat an-Nisa’ ayat 46 mengungkapkan sikap sejumlah orang
yang me-Yahudi (meniru Yahudi) yang mempelajari Al-Qurãn tidak melalui prosedur
yang benar, karena mempunyai motivasi buruk:
Segolongan
manusia yang meniru Yahudi memutar-balik ajaran Allah dari tujuan sebenarnya,
seraya menyatakan, “Kami telah menyimak (mengkaji) tapi kami menentang.” (Lalu
mereka melancarkan propaganda), “Simaklah (kajilah) – Al-Qurãn – tapi jangan bersungguh-sungguh.” Dan (kepada
nabi) mereka mengatakan, “Bimbinglah kami,”[6]
dengan nada berolok-olok, yaitu demi melecehkan ad-din (dinul-islam). Seandainya mereka benar-benar
menyatakan, “Kami menyimak dan kemudian mematuhi. Maka itu lebih baik bagi mereka, dalam arti lebih
meyakinkan. Tapi kekafiran mereka telah menyebabkan Allah melaknat mereka (laknat Allah jatuh terhadap mereka),
sehingga hanya sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman.
Ayat ini menegaskan adanya segolongan manusia,
yang dengan mengikuti pelopor Yahudi, melakukan pengkajian atas Al-Qurãn dengan tujuan melakukan hasutan agar orang
tidak melaksanakan konsep Al-Qurãn. Kepada
orang lain mereka bahkan menganjurkan agar pengkajian Al-Qurãn tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, tapi
cukup secara main-main saja. Maka dari orang-orang seperti ini memang tidak
bisa diharapkan akan muncul para mu’min
sejati, kecuali beberapa gelintir saja yang mungkin menyadari kekeliruan
mereka, sebelum segalanya menjadi terlambat.
Surat al-Anfal ayat 20-22,
menambahkan informasi demikian:
Hai
orang-orang yang mengaku beriman, patuhilah Allah dengan cara mematuhi
rasul-Nya dalam arti jangan pernah berbalik belakang dari konsep ini selagi
kalian mengkajinya.
Janganlah
kalian meniru orang-orang yang mengoceh, “Kami telah mengkaji (Al-Qurãn)”, padahal sebenarnya mereka tidak melakukan
pengkajian.
Sebenarnya
sejelek-jelaknya (makhluk) yang melata (di bumi) dalam pandangan Allah adalah
manusia-manusia yang tidak memungsikan akal mereka, sehingga mereka tak ubahnya
orang tuli dan bisu.
Surat al-A’raf ayt 198 lebih menegaskan lagi:
Bila
kamu da’wahi
mereka agar mengikuti petunjuk Allah, mereka tidak sudi menanggapi. Meskipun
kamu lihat mereka pasang muka ke arahmu, sebenarnya mereka tidak memperhatikan
da’wahmu.
Kebalikan
dari mereka, Allah gambarkan dalam surat al-Baqarah 2:285
demikian:
Rasulullah (Muhammad) hidup
(beriman) dengan (ajaran Allah) yang diajarkan kepadanya dari pembimbingnya.
Begitu pula halnya dengan kaum mu’min
(para pengikut rasul). Semua
sama beriman dengan ajaran Allah yang diajarkan melalui malaikat-Nya dalam
wujud Kitab-kitab-Nya, yang disampaikan oleh para rasul-Nya. (semua sama
menyatakan), “Kami tak akan pernah membeda-bedakan salah seorang rasul dari
Rasul-rasul-Nya (Allah).” Selanjutnya mereka menegaskan pendirian, “Kami telah
mengkaji (Al-Qurãn), dan
kami telah siap mkematuhinya. (Kami mengakui) inilah jalan perbaikan hidup
menurut-Mu, wahai Pembimbing kami. Dan selanjutnbya jalan-Mu inilah yang pasti
kami tempuh”
Berdasar kenyataan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa garis iman secara keseluruhan (haq maupun bathil) meliputi kelompok-kelompok
seperti ini:
- Kelompok yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara
bersungguh-sungguh, lalu menyatakan untuk melaksanakannya secara sungguh-sungguh
pula. Mereka ini adalah para mu’min yang dikepalai oleh Rasul.
- Kelompok yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara sungguh-sungguh,
namun selanjutnya menyatakan tidak sudi menjadikannya sebagai pedoman
hidup. Mereka ini sebut saja sebagai “kelompok cerdik-cendekia yang
berafiliasi (mengaitkan diri) kepada Yahudi”.
- kelompok yang menjadi korban
propaganda/siasat Yahudi, yaitu yang melakukan pengkajian Al-Qurãn secara tidak
sungguh-sungguh, sehingga sikap obyektif mereka terhadap Al-Qurãn pun sulit diharapkan.
Mereka ini mungkin mencakup “kalangan cerdik-cendekia yang mengkaji Al-Qurãn secara tidak langsung,
yaitu hanya dengan perantaraan buku-buku karya orang-orang yang dianggap
pakar.”
- kelompok jahiliyah yang terbagi menjadi
dua golongan, yaitu:
- Yang tidak sudi menoleh Al-Qurãn, sehingga secara apriori menyatakan kafir terhadapnya.
Mereka ini meliputi kaum awam, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan seterusnya,
yang sejak awal memang sudah dibentengi dengan doktrin-doktrin yang
menyebabkan mereka menolak mentah-mentah tawaran Al-Qurãn.
- Yang tidak mau mengkaji
Al-Qurãn
tapi menyatakan sebagai pendukung Al-Qurãn, dan otomatis mereka mengaku mu’min yang mencintai
rasul, walau dalam kenyataan model kehidupan mereka sehari-hari
bertentangan dengan apa yang diajarkan rasul. Mereka adalah korban da’wah para ulama yang
mengajarkan bahwa membaca Al-Qurãn tidak harus mengerti, karena tidak mengerti pun pasti dapat
pahala!
[1] Longman Language Activator,
cet. II, 1993.
[2] Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, Oxford University Press, cet. VI, 1987.
[3] Isa Bugis, Pengantar Iman,
ed. Bogor , tt.
[4] Suatu kata disebut figuratif bila tidak digunakan untuk mengungkap
makna harfiah tapi makna imajinatif, sepertti kata membara, dalam kalimat: “Semangatnya untuk sukses demikian
membara.”
[5] Pragmatic, berkenaan
dengan hasil-hasil, alasan-alasan, dan nilai-nilai praktis. Suatu tindakan
dikatakan pragmatis, bila bisa menjawab kebutuhan saat itu. Misalnya, memberikan
makanan kepada orang lapar. Bila orang lapar disuruh mencangkul dulu sebeluym
makan, maka ini berarti tidak pragmatis.
[6] “Bimbinglah kami” adalah
terjemahan penulis dari kata raa’ina
yang menurut Mahmud Yunus dalam tafsirnya berarti: jagalah kami, gembalah kambing kami, atau
ungkapan makian dalam bahasa Ibrani. Sedangkan menurut ‘Abdullah yusuf Ali,
kata tersebut dalam bahasa Arab yang sopan berarti: pelihara dan jagalah kami;
dan dalam bahasa Ibrani berarti: orang kita yang buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar