Senin, 21 November 2016

Analisis Îmãn (21)


Pemilik gagasan penentu makna
Teori Isa Bugis, yang menegaskan bahwa bahasa Al-Qurãn bukan Bahasa Arab, tapi serumpun dengan Bahasa Arab, jelas merupakan teori yang kotroversial; yang antara lain, menyebabkan dia divonis sesat. Tapi di balik itu, sebenarnya kita patut menghargai usahanya untuk memurnikan makna Al-Qurãn, teruma supaya selamat dari pengaruh ‘bentuk kesadaran’ (pikiran; paham; isme) bangsa Arab yang belum tentu Islami. Pada dasarnya, Isa Bugis hanyalah salah seorang yang menginginkan agar Al-Qurãn dipahami secara apa adanya (objektif) dari Allah, bukan menurut paham-paham (isme-isme) manusia, apakah manusia Arab atau bukan.
Sudah jelas bagi kita bahwa bahasa apa pun dalam sebuah wacana, apakah lisan atau (lebih-lebih) tulisan, penentu kandungannya (maknanya) adalah narasumbernya. Isa Bugis sendiri mengatakan bahsa Bahasa Nur, ternyata, bisa digunakan oleh orang atau bangsa berkesadaran Zhulumat. Jadi, kembali pada kenyataan bahwa penentu kandungan sebuah bahasa (dalam sebuah wacana) adalah narasumber atau pengguna bahasa itu sendiri.
Dalam hal Al-Qurãn, apakah bahasanya disebut Bahasa Arab atau Bahasa Nur, jelas bahwa narasumbernya adalah Allah. Dengan demikian, penentu kandungan (maknanya) adalah Allah. Dan itu bukan berarti bahwa untuk memahami Al-Qurãn harus bertanya kepada Allah sebagai satu dzat (oknum), misalnya dengan menunggu mati. Tidak sama sekali.
Lantas, bagaimana caranya supaya kita bisa memahami Al-Qurãn menurut Allah? Untuk menjawab pertanyaan itu, selain mengajukan teori “Al-Qurãn menurut Sunnah Rasul”, Isa Bugis juga mengajukan rumus yang disebutnya “teori makna”.
Istilah “Al-Qurãn menurut Sunnah Rasul” timbul dari pemikiran bahwa, di satu sisi, Al-Qurãn adalah sebuah wacana (gagasan), yang tentu bersifat abstrak; dan, di sisi lain, Sunnah Rasul adalah perwujudan atau pembuktian dari Al-Qurãn, yang sifatnya tentu konkret. Jelasnya, bagi Isa Bugis, Sunnah Rasul adalah Al-Qurãn dalam bentuk nyata, dan otomatis Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn berjalan.
Lebih lanjut, Rasulullah (dengan sunnahnya) adalah uswah (teladan; pola) bagi para mu’min yang hendak mewujudkan Al-Qurãn. Jadi, bagi Isa Bugis, Al-Qurãn sebagai gagasan, pembuktiannya dalam tafsir maupun kehidupan, harus menurut (meneladani; ikut pola) sunnah rasul. Dengan catatan – sekali lagi – bahwa sunnah rasul adalah pembuktian atau perwujudan Al-Qurãn. (Ingat juga bahwa akhlaq Rasulullah adalah Al-Qurãn; dan akhlaq adalah sebutan lain untuk kepribadian).
Dalam hal teori makna, Isa Bugis mengajukan empat asas yang berlaku di kalangan akademis sebagai rumus kebenaran, yaitu:
1.       Metode ABC (sudut pandang; paradigma), sebagai rumusan awal untuk membentuk pola pikir bahwa Al-Qurãn berasal dari A (Allah), yang diajarkan kepad B (Rasul), untuk menjelaskan C (semesta alam, termasuk manusia);
2.       Sistematika, yang menjelaskan bahwa Al-Qurãn sebagai wacana mempunyai (1) Pendahuluan, (2) Uraian, dan (3) Kesimpulan;
3.       Analitika, yang terbagi menjadi (1) Pembuktian, dan (2) Keterangan pembuktian. Pada prinsip yang ketiga ini, sebenarnya Isa Bugis menjelaskan bahwa Al-Qurãn sebagai wacana pasti ada perwujudannya, baik di masa sekarang (misalnya dalam bentuk Sunnah Rasul Muhammad), maupun di masa lalu, yang keterangannya terdapat dalam ayat-ayat sejarah masa lalu.
4.       Objektivita, yaitu terdapatnya kecocokan atau klopnya gagasan dan pembuktian.
Melalui paparannya tentang teori makna inilah, Isa Bugis membuat pernyataan bahwa “bahasa tidak menentukan mana”, yang sayangnya disalah-pahami oleh banyak muridnya, sebagai pernyataan bahwa bagi mereka belajar dan menguasai bahasa itu tidak penting; apalagi bila dikaitkan dengan Bahasa Arab, yang nota bene mewakili Islamisme (isme atau paham subjektif yang disandarkan kepada Islam). Padahal, Isa Bugis sendiri mengajarkan bahasa mulai dari ilmu sharf, nahwu, sampai sastra. Begitulah, kaum yang mengidolakan seorang tokoh kadang gagal paham, baik sebagian maupun seluruh pemikiran si tokoh itu sendiri!
Tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn
Yang menarik, dan yang membuat studi bahasa sebenarnya menjadi penting dalam konsepnya, Isa Bugis mengajarkan sesuatu yang di kalangan ulama dikenal sebagai tafsirul-Qurãn(i) bil-Qurãn(i) (Tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn), yang oleh ulama sendiri dianggap sebagai metode tafsir tertinggi, setelah metode-metode tafsir dengan atsar (harfiah berarti jejak) sahabat sampai seterusnya metode terendah, yaitu tafsir dengan pendapat pribadi (bi-ra’yi).
Dalam uraian tentang sistematik Al-Qurãn, Isa Bugis memaparkan Al-Qurãn sebagaimana buku-buku lain, mempunyai sistematik (susunan) yang terbagi menjadi (1) Pendahuluan, yaitu surat Al-Fatihah (2) Uraian, yaitu surat-surat panjang dan (3) Kesimpulan, yaitu surat-surat pendek. Untuk menegaskan surat Al-Fatihah sebagai pendahuluan, dalilnya adalah hadis yang menyebut Al-Fatihah sebagai ummul-kitab. Sedangkan untuk surat-surat pendek sebagai kesimpulan dalilnya adalah, antara lain, hadis yang menyebut Al-Ikhlash sebagai (setara; merangkum) sepertiga Al-Qurãn. Dengan demikian, dengan sendirinya surat-surat selain Al-Fatihah dan Al-Ikhlash adalah bab uraian Al-Qurãn.
Sebagai ummul-quran, bagi Isa Bugis surat Al-Fatihah adalah jawaban dari surat Al-‘Alaq, dan sekaligus (surat Al-Fatihah) merupakan inti dari Al-Qurãn, yang dijelaskan oleh surat-surat panjang, dan disimpulkan surat pendek; sehingga bila kita ingin mengetaui makna surat Al-Fatihah secara utuh, maka harus dibaca surat-surat panjang. Dan bila ingin menyimpulkan surat-surat pendek, harus kembali pada surat Al-Fatihah.
Kamus Al-Qurãn
Isa Bugis sangat menekankan pentingnya memahami ilmu-ilmu bahasa (sharf, nahwu, sastra). Khusus untuk ilmu-sharf(i), ia mengajarkan betapa pentingnya ilmu ini, terutama dalam konteks pengkamusan Al-Qurãn.
Isa Bugis menegaskan bahwa Al-Qurãn bahwa ayat-ayat Al-Qurãn itu sifatnya ayatin bayyinatin (satu ayat dengan ayat yang lain saling menjelaskan), seperti yang disebut dalam Al-Qurãn itu sendiri (An-Nur ayat 1), dan sebuah dalil populer yang berbunyi: innal-qur’ana yufassiru ba’dhuhu ba’dhan. (Sesungguhnya sebagian dari  Al-Qurãn itu menafsirkan bagian yang lain). [1]
Untuk membuat dalili-dalil tersebut menjadi petunjuk teknis, Isa Bugis menghubungkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain dengan rumusan ilmu sharaf. Yaitu bila dalam satu ayat terdapat kata fa’ala, misalnya, maka ayat-ayat lain yang mengandung kata yang sama dikumpulkan. Dengan demikian, pengertian kata fa’ala bisa diketahui baik dalam arti luas maupun sempit berdasarkan Al-Qurãn sendiri. Inilah gambaran praktis tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn! Dan inilah gambaran bagaimana menyusun kamus Al-Qurãn. Tapi, mengapa Isa Bugis yang sudah pengajar sejak awal 1960an, dan menulis banyak diktat, tidak pernah menghasilkan sebuah kamus? Ini adalah pertanyaan yang diajukan para pengkritik dan pihak-pihak yang menganggapnya sesat. Jawabannya adalah karena “rumus” pengkamusan itu agaknya diajarkan Isa Bugis sebagai sebuah sistem yang harus dihidupkan dalam diri setiap pelajar Al-Qurãn; bukan untuk melahirkan sebuah buku bernama kamus Al-Qurãn!
Satu catatan penting dalam hal ini; rumus pengkamusan Al-Qurãn yang diajarkan Isa Bugis tidak akan bisa berjalan bila para pelajarnya tidak menguasai ilmu sharaf; kecuali bila mereka hanya menjadikan diktat-diktat Isa Bugis sebagai rujukan. Dengan kata lain, mereka hanya menghubung-hubungkan satu ayat yang sudah diterjemahkan Isa Bugis dengan ayat-ayat dan surat-surat lain, yang juga sudah dioterjemahkan Isa Bugis. Inilah memang yang dilakukan kebanyakan murid Isa Bugis.
Lebih jauh, Isa Bugis juga mengajarkan bahwa penguasaan ilmu sharaf adalah syarat mutlak untuk bisa membuka kamus bahasa Arab (1). Dan kamus yang dijagokannya adalah Al-Munjid. Sebuah kamus yang terbit di Beirut, Libanon, dan ditulis oleh orang Prancis (Louis Ma’luf). Langkah berikutnya, ilmu sharaf juga akan membantu para pelajar untuk buka indeks Al-Qurãn.
Indeks Al-Qurãn yang dipopulerkan Isa Bugis di tengah murid-muridnya adalah Fathur-Rahman, yang lengkapnya berjudul Fathur-Rahman Li-Thalibi Ayatil-Qurãn.
Tapi perlu dicatat secara khusus di sini adalah kenyataan bahwa sedikit sekali di antara murid-murid Isa Bugis yang memiliki kamus dan indeks tersebut.
Jadi, ketika Isa Bugis mengatakan, “Saudara-saudara harus membaca buku-buku yang saya baca,” kebanyakan muridnya hanya asyik membaca diktat-diktat yang ditulis Isa Bugis dan atau yang mereka salin dari kuliah-kuliahnya sejak awal tahun 1960an. ***



[1] Dalil ini ada yang menyebutnya sebagai hadis, ada pula yang mengatakan hanya perkataan seseorang (ahli tafsir?).

Tidak ada komentar: