Pemilik gagasan penentu makna
Teori Isa Bugis, yang menegaskan bahwa bahasa Al-Qurãn bukan Bahasa Arab, tapi
serumpun dengan Bahasa Arab, jelas merupakan teori yang kotroversial; yang
antara lain, menyebabkan dia divonis sesat. Tapi di balik itu, sebenarnya kita
patut menghargai usahanya untuk memurnikan makna Al-Qurãn, teruma supaya selamat dari pengaruh
‘bentuk kesadaran’ (pikiran; paham; isme) bangsa Arab yang belum tentu Islami.
Pada dasarnya, Isa Bugis hanyalah salah seorang yang menginginkan agar Al-Qurãn dipahami secara apa
adanya (objektif) dari Allah, bukan menurut paham-paham (isme-isme) manusia,
apakah manusia Arab atau bukan.
Sudah jelas bagi kita bahwa bahasa apa pun dalam sebuah
wacana, apakah lisan atau (lebih-lebih) tulisan, penentu kandungannya
(maknanya) adalah narasumbernya. Isa Bugis sendiri mengatakan bahsa Bahasa Nur,
ternyata, bisa digunakan oleh orang atau bangsa berkesadaran Zhulumat. Jadi,
kembali pada kenyataan bahwa penentu kandungan sebuah bahasa (dalam sebuah wacana)
adalah narasumber atau pengguna bahasa itu sendiri.
Dalam hal Al-Qurãn,
apakah bahasanya disebut Bahasa Arab atau Bahasa Nur, jelas bahwa narasumbernya
adalah Allah. Dengan demikian, penentu kandungan (maknanya) adalah Allah. Dan
itu bukan berarti bahwa untuk memahami Al-Qurãn
harus bertanya kepada Allah sebagai satu dzat (oknum), misalnya dengan
menunggu mati. Tidak sama sekali.
Lantas, bagaimana caranya supaya kita bisa memahami Al-Qurãn menurut Allah? Untuk
menjawab pertanyaan itu, selain mengajukan teori “Al-Qurãn menurut Sunnah Rasul”, Isa Bugis juga
mengajukan rumus yang disebutnya “teori makna”.
Istilah “Al-Qurãn
menurut Sunnah Rasul” timbul dari pemikiran bahwa, di satu sisi, Al-Qurãn adalah sebuah wacana
(gagasan), yang tentu bersifat abstrak; dan, di sisi lain, Sunnah Rasul adalah
perwujudan atau pembuktian dari Al-Qurãn,
yang sifatnya tentu konkret. Jelasnya, bagi Isa Bugis, Sunnah Rasul adalah
Al-Qurãn dalam
bentuk nyata, dan otomatis Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn berjalan.
Lebih lanjut, Rasulullah (dengan sunnahnya) adalah uswah
(teladan; pola) bagi para mu’min yang hendak mewujudkan Al-Qurãn. Jadi, bagi Isa Bugis,
Al-Qurãn sebagai
gagasan, pembuktiannya dalam tafsir maupun kehidupan, harus menurut (meneladani;
ikut pola) sunnah rasul. Dengan catatan – sekali lagi – bahwa sunnah
rasul adalah pembuktian atau perwujudan Al-Qurãn.
(Ingat juga bahwa akhlaq Rasulullah adalah Al-Qurãn;
dan akhlaq adalah sebutan lain untuk kepribadian).
Dalam hal teori makna, Isa Bugis mengajukan empat asas yang
berlaku di kalangan akademis sebagai rumus kebenaran, yaitu:
1.
Metode ABC (sudut
pandang; paradigma), sebagai rumusan awal untuk membentuk pola pikir bahwa
Al-Qurãn berasal
dari A (Allah), yang diajarkan kepad B (Rasul), untuk menjelaskan
C (semesta alam, termasuk manusia);
2.
Sistematika, yang
menjelaskan bahwa Al-Qurãn
sebagai wacana mempunyai (1) Pendahuluan, (2) Uraian, dan (3) Kesimpulan;
3.
Analitika, yang
terbagi menjadi (1) Pembuktian, dan (2) Keterangan pembuktian. Pada prinsip
yang ketiga ini, sebenarnya Isa Bugis menjelaskan bahwa Al-Qurãn sebagai wacana pasti
ada perwujudannya, baik di masa sekarang (misalnya dalam bentuk Sunnah Rasul
Muhammad), maupun di masa lalu, yang keterangannya terdapat dalam ayat-ayat
sejarah masa lalu.
4.
Objektivita, yaitu
terdapatnya kecocokan atau klopnya gagasan dan pembuktian.
Melalui paparannya tentang teori makna inilah, Isa Bugis
membuat pernyataan bahwa “bahasa tidak menentukan mana”, yang sayangnya
disalah-pahami oleh banyak muridnya, sebagai pernyataan bahwa bagi mereka
belajar dan menguasai bahasa itu tidak penting; apalagi bila dikaitkan dengan
Bahasa Arab, yang nota bene mewakili Islamisme (isme atau paham subjektif yang
disandarkan kepada Islam). Padahal, Isa Bugis sendiri mengajarkan bahasa mulai
dari ilmu sharf, nahwu, sampai sastra. Begitulah, kaum yang mengidolakan
seorang tokoh kadang gagal paham, baik sebagian maupun seluruh pemikiran si
tokoh itu sendiri!
Tafsir Al-Qurãn
dengan Al-Qurãn
Yang menarik, dan yang membuat studi bahasa sebenarnya
menjadi penting dalam konsepnya, Isa Bugis mengajarkan sesuatu yang di kalangan
ulama dikenal sebagai tafsirul-Qurãn(i)
bil-Qurãn(i) (Tafsir
Al-Qurãn dengan
Al-Qurãn), yang oleh
ulama sendiri dianggap sebagai metode tafsir tertinggi, setelah metode-metode
tafsir dengan atsar (harfiah berarti jejak) sahabat sampai seterusnya
metode terendah, yaitu tafsir dengan pendapat pribadi (bi-ra’yi).
Dalam uraian tentang sistematik Al-Qurãn, Isa Bugis memaparkan
Al-Qurãn sebagaimana
buku-buku lain, mempunyai sistematik (susunan) yang terbagi menjadi (1)
Pendahuluan, yaitu surat Al-Fatihah (2) Uraian, yaitu surat-surat panjang dan
(3) Kesimpulan, yaitu surat-surat pendek. Untuk menegaskan surat Al-Fatihah
sebagai pendahuluan, dalilnya adalah hadis yang menyebut Al-Fatihah sebagai ummul-kitab.
Sedangkan untuk surat-surat pendek sebagai kesimpulan dalilnya adalah, antara
lain, hadis yang menyebut Al-Ikhlash sebagai (setara; merangkum) sepertiga
Al-Qurãn. Dengan
demikian, dengan sendirinya surat-surat selain Al-Fatihah dan Al-Ikhlash adalah
bab uraian Al-Qurãn.
Sebagai ummul-quran, bagi Isa Bugis surat Al-Fatihah
adalah jawaban dari surat Al-‘Alaq, dan sekaligus (surat Al-Fatihah) merupakan
inti dari Al-Qurãn,
yang dijelaskan oleh surat-surat panjang, dan disimpulkan surat pendek;
sehingga bila kita ingin mengetaui makna surat Al-Fatihah secara utuh, maka
harus dibaca surat-surat panjang. Dan bila ingin menyimpulkan surat-surat
pendek, harus kembali pada surat Al-Fatihah.
Kamus Al-Qurãn
Isa Bugis sangat menekankan pentingnya memahami ilmu-ilmu
bahasa (sharf, nahwu, sastra). Khusus untuk ilmu-sharf(i), ia mengajarkan
betapa pentingnya ilmu ini, terutama dalam konteks pengkamusan Al-Qurãn.
Isa Bugis menegaskan bahwa Al-Qurãn bahwa ayat-ayat Al-Qurãn itu sifatnya ayatin
bayyinatin (satu ayat dengan ayat yang lain saling menjelaskan), seperti
yang disebut dalam Al-Qurãn
itu sendiri (An-Nur ayat 1), dan sebuah dalil populer yang berbunyi: innal-qur’ana
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan. (Sesungguhnya sebagian dari Al-Qurãn
itu menafsirkan bagian yang lain). [1]
Untuk membuat dalili-dalil tersebut menjadi petunjuk teknis,
Isa Bugis menghubungkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain dengan rumusan
ilmu sharaf. Yaitu bila dalam satu ayat terdapat kata fa’ala, misalnya,
maka ayat-ayat lain yang mengandung kata yang sama dikumpulkan. Dengan
demikian, pengertian kata fa’ala bisa diketahui baik dalam arti luas
maupun sempit berdasarkan Al-Qurãn
sendiri. Inilah gambaran praktis tafsir Al-Qurãn
dengan Al-Qurãn! Dan
inilah gambaran bagaimana menyusun kamus Al-Qurãn.
Tapi, mengapa Isa Bugis yang sudah pengajar sejak awal 1960an, dan menulis
banyak diktat, tidak pernah menghasilkan sebuah kamus? Ini adalah pertanyaan
yang diajukan para pengkritik dan pihak-pihak yang menganggapnya sesat.
Jawabannya adalah karena “rumus” pengkamusan itu agaknya diajarkan Isa Bugis
sebagai sebuah sistem yang harus dihidupkan dalam diri setiap pelajar Al-Qurãn; bukan untuk melahirkan
sebuah buku bernama kamus Al-Qurãn!
Satu catatan penting dalam hal ini; rumus pengkamusan Al-Qurãn yang diajarkan Isa
Bugis tidak akan bisa berjalan bila para pelajarnya tidak menguasai ilmu
sharaf; kecuali bila mereka hanya menjadikan diktat-diktat Isa Bugis sebagai
rujukan. Dengan kata lain, mereka hanya menghubung-hubungkan satu ayat yang
sudah diterjemahkan Isa Bugis dengan ayat-ayat dan surat-surat lain, yang juga
sudah dioterjemahkan Isa Bugis. Inilah memang yang dilakukan kebanyakan murid
Isa Bugis.
Lebih jauh, Isa Bugis juga mengajarkan bahwa penguasaan ilmu
sharaf adalah syarat mutlak untuk bisa membuka kamus bahasa Arab (1). Dan kamus
yang dijagokannya adalah Al-Munjid. Sebuah kamus yang terbit di Beirut,
Libanon, dan ditulis oleh orang Prancis (Louis Ma’luf). Langkah berikutnya,
ilmu sharaf juga akan membantu para pelajar untuk buka indeks Al-Qurãn.
Indeks Al-Qurãn
yang dipopulerkan Isa Bugis di tengah murid-muridnya adalah Fathur-Rahman,
yang lengkapnya berjudul Fathur-Rahman Li-Thalibi Ayatil-Qurãn.
Tapi perlu dicatat secara khusus di sini adalah kenyataan
bahwa sedikit sekali di antara murid-murid Isa Bugis yang memiliki kamus dan
indeks tersebut.
Jadi, ketika Isa Bugis mengatakan, “Saudara-saudara harus
membaca buku-buku yang saya baca,” kebanyakan muridnya hanya asyik membaca diktat-diktat
yang ditulis Isa Bugis dan atau yang mereka salin dari kuliah-kuliahnya sejak
awal tahun 1960an. ***
[1] Dalil
ini ada yang menyebutnya sebagai hadis, ada pula yang mengatakan hanya
perkataan seseorang (ahli tafsir?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar