Atha’na: Kenyataan Iman
Atha’na adalah kelanjutan dari sami’na.
Sami’na yang terdiri dari rattil dan shalat, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan penguasaan ilmu (Al-Qurãn). Bisa juga
dikatakan bahwa sami’na adalah proses
‘aqdun bil-qalbi, yaitu penanaman
ilmu ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan).
Maka dengan demikian
atha’na adalah: pertama, proses iqrarun
bil-lisan, atau ‘pelisanan’ yaitu menyatakan secara verbal kebenaran ilmu, dan
menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam kegiatan bertutur-kata. Kedua,
proses ‘amalun bil-arkan, yaitu
menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam perilaku fisik. Dengan kata lain, sami’na adalah suatu kegiatan yang
bertujuan menjadikan ilmu sebagai “ruh”
yang bukan saja menggerakkan tapi juga membuat gerakan fisik terarah.
Jelasnya, sami’na
adalah suatu proses “peleburan” Al-Qurãn
Al-Qurãn ke dalam kesadaran; sedangkan atha’na adalah proses pemunculan Al-Qurãn ke dalam
kenyataan, sehingga segala konsep Al-Qurãn yang ghaib (abstrak) itu menjadi syahadah (nyata). Pelaksanaan kedua proses ini sangat membutuhkan
“keinginan keras” atau “kerinduan yang memuncak” yanag dalam Surat al-Baqarah ayat 165, disebut dengan
istilah asyaddu hubban. Keadaan
inilah yang selanjutnya melahirkan tekad untuk melakukan jihad.
Jihad adalah istilah khas Islam untuk menyebut totalitas perjuangan
dalam rangka mewujudkan Al-Qurãn
ke dalam kenyataan. Istilah
totalitas (totality) menegaskan bahwa
perjuangan ini mencakup segala segi kehidupan. Karena itulah Nabi pun membagi
jihad menjadi jihadul-akbar (perjuangan
besar) dan jihadul-ashghar (perjuangan kecil). Gambarannya
adalah seperti diungkapkan dalam sejarah; yaitu bahwa ketika pulang dari Perang
Badar yang luar biasa dahsyat itu, nabi mengatakan, “kita baru saja pulang dari jihadul-ashghar untuk (selanjutnya
menghadapi) jihadul-akbar.” Perkataan
nabi ini mengejutkan para sahabat, sehingga mereka meminta Nabi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
jihad akbar itu. Nabi mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah jihadu-nafs. Orang biasa
menerjemahkannya sebagai “perang melawan nafsu”. Di sini kita menyebutnya
sebagaui “totalitas perjuangan dalam rangka memerangi nafsu”.
Jihadul-Akbar
“Perang melawan nafsu’
adalah perang permanen (permanent)
atau perang abadi, atau perang yang tidak berkesudahan, kekcuali bila para
pelakunya sudah mati.
Seperti disebutkan di
atas, latar belakang sejarah kelahiran hadits tentang jihad itu adalah peristiwa Perang
Badr, yaitu perang pertama dalam sejarah Nabi, yang di dalamnya Nabi memimpin
313 orang tentara dengan dukungan dua ekor unta, untuk melawan dedengkot
Quraisy bernama Abu Sufyan yang memimpin 1000
orang tentara dengan dukungan 700 ekor unta (sebagai kendaraan
logistik). Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Nabi. Sebanyak 70
orang tentara Quraisy tewas, dan sekitar 70 orang pula yang menjadi tawanan.
Sedangkan di pihak Nabi hanya 14 orang gugur.
Perang Badr adalah perang defensif (bersifat bertahan, membela diri)
pertama yang terjadi pada tahun 624 M atau sekitar dua tahun setekah Hijrah.
Perang ini terjadi di Lembah Badr, di luar wilayah kota Yatsrib (Madinah). Bila
digambarkan secara kiasan, ketika Perang Badr ini Nabi dan pasukannya keluar
dari “rumah” (Madinah) untuk menyongsong
sekawanan perampok yang hendak menghancurkan rumah mereka. Setelah para
perampok dikalahkan, Nabi bersama tentaranya kembali ke rumah. Tapi justru di
dalam rumah itulah Nabi mengatakan bahwa mereka semua harus bersiap-siap untuk
menghadapi jihadul-akbar.
Bila dipahami secara simbolik (perlambang), Perang
Badr adalah perang dalam rangka mengusir musuh-musuh eksternal (dari luar).
Inilah yang oleh Nabi disebut sebagai jihadul-ashghar.
Sedangkan sekembali dari Badr, yang harus dihadapi adalah musuh-musuh internal
(yang ada di dalam). Inilah jihadul-akbar.
Dalam skala kecil jihad akbar atau jihadul-nafs adalah perang dalam rangka
menaklukkan nafsu-nafsu pribadi. Dalam skala yang lebih luas, cakupannya adalah
penataan rumahtangga mu’min. Termasuk ke dalam pengertian rumahtangga ini adalah negara, karena
pada hakikatnya sebuah negara adalah sebuah rumahtangga dalam skala besar.
Jadi jihad akbar ini secara keseluruhan meliputi
proses “Qur’ãnisasi perilaku individu dan masyarakat”. Dalam bahasa populer,
jihad akbar adalah proses yang meliputi segala usaha untuk membuat individu dan
masyarakat berdisiplin hukum (law
enforcement). Masyarakat yang sadar hukum adalah masyarakat yang tidak
membutuhkan polisi untuk memaksa mereka mematuhi peraturan. Mereka juga tidak
membutuhkan pemimpin yang berwujud manusia, karena pemimpin mereka yang sebenarnya
adalah hukum itu sendiri. Para petugas hukum hanya amenjadi lambang, atau ibarat pelumas untuk
menjaga agar kesadaran hukum itu tidak aus atau berkarat. Dengan kata lain, jihad akbar adalah perjuangan
untuk membuat Al-Qurãn menjadi imam; baik dalam setiap individu maupun dalam
masyarakat, dan terutama dalam masyarakat; karena biasanya individu menjadi
cenderung baik atau jahat karena pengaruh masyarakat (lingkungan). Dalam
konteks negara, jihad melawan nafsu itu justru harus dimulai (dipimpin) kepala
negara dan seluruh jajarannya, dengan menjalankan hukum positif secara
istiqamah (konsisten). Bila tidak, misalnya dengan membiarkan masyarakat secara
individual mengatur diri sendiri, maka perang melawan nafsu itu hanya akan
menjadi omong kosong.
Jihaadu l-Ashghar.
Seperti disebutkan di atas, jihadul-ashghar (perang kecil) adalah
adalah perang untuk mengadapi musuh-musuh dari luar, atau jelasnya musuh-musuh
yang melakukan serangan secara fisik (lahiriah) dengan sasaran yang bersifat
fisik pula. Untuk itu dalam Surat al-Anfal ayat 60, 64-66, Allah mengingatkan:
Bersiaplah
selalu untuk menghadapi mereka (orang kafir) dengan mengerahkan segala daya
yang kalian miliki, misalnya tentara berkuda, (mudah-mudahan dengan itu) kalian
dapat membuat gentar musuh Allah yang (juga otomatis menjadi) musuh kalian;
serta (untuk menghadapi bahaya) yang lain. Kalian tak
akan tahu tentang mereka. (karena itu) Allah memberitahu tentang (kejahatan)
mewreka (yang selalu menginginkan kehancuran kalian). Sebenarnya, apa pun yang
kalian kerahkan demi menegakkan ajaran Allah, semua akan kembali menjadi
keuntungan kalian juga. Tegasnya, kalian sama sekali tidak dipermainkan
(oleh Allah).
Hai Nabi (Muhammad) begitu juga para mukmin yang menjadi pengikutmu,
cukuplah Allah (dengan ajaran-Nya sebagai pegangan hidup).
Hai Nabi!
Siagakanlah para mu’min untuk berperang. (sehingga, karena dipersiapkan sedemikian rupa)
seandainya di antara kalian hanya ada duapuluh orang yang benar-benar tangguh,
mereka akan mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada
seratus orang (yang tangguh), mereka pasti dapat mengalahkan seribu orang
kafir; karena orang-orang kafir itu tidak memahami (tujuan perjuangan mereka).
Tapi sekarang (saat
menghadapi Perang Badr dan perang-perang di awal Hijrah), Allah ringankan tugas
kalian, karena menimbang keadaan kalian yang masih lemah. Namun (meskipun
demikian), bila diantara kalian ada seratus orang yang tangguh, mereka pasti
mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada seribu (yanbg
benar-benar tangguh), mereka pasti mampu mengalahkan duaribu orang , karena
mereka mematuhi konsep Allah. (Karena) sebenarnya Allah (melalui Sunnah-Nya)
berpihaka kepada orang-orang yang tangguh (memmperjuangkan kebenaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar