Kamis, 17 November 2016

Analisis Îmãn (18)



Atha’na: Kenyataan Iman
Atha’na adalah kelanjutan dari sami’na. Sami’na yang terdiri dari rattil dan shalat, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan penguasaan ilmu (Al-Qurãn). Bisa juga dikatakan bahwa sami’na adalah proses ‘aqdun bil-qalbi, yaitu penanaman ilmu ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan).
      Maka dengan demikian atha’na adalah: pertama, proses iqrarun bil-lisan, atau ‘pelisanan’ yaitu menyatakan secara verbal kebenaran ilmu, dan menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam kegiatan bertutur-kata. Kedua, proses ‘amalun bil-arkan, yaitu menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam perilaku fisik. Dengan kata lain, sami’na adalah suatu kegiatan yang bertujuan  menjadikan ilmu sebagai “ruh” yang bukan saja menggerakkan tapi juga membuat gerakan fisik terarah.
Jelasnya, sami’na adalah suatu proses “peleburan” Al-Qurãn Al-Qurãn ke dalam kesadaran; sedangkan atha’na adalah proses pemunculan Al-Qurãn ke dalam kenyataan, sehingga segala konsep Al-Qurãn yang ghaib (abstrak) itu menjadi syahadah (nyata). Pelaksanaan kedua proses ini sangat membutuhkan “keinginan keras” atau “kerinduan yang memuncak” yanag dalam Surat al-Baqarah ayat 165, disebut dengan istilah asyaddu hubban. Keadaan inilah yang selanjutnya melahirkan tekad untuk melakukan jihad.
Jihad adalah istilah khas Islam untuk menyebut totalitas perjuangan dalam rangka mewujudkan Al-Qurãn ke dalam kenyataan. Istilah totalitas (totality) menegaskan bahwa perjuangan ini mencakup segala segi kehidupan. Karena itulah Nabi pun membagi jihad menjadi jihadul-akbar (perjuangan besar) dan jihadul-ashghar (perjuangan kecil). Gambarannya adalah seperti diungkapkan dalam sejarah; yaitu bahwa ketika pulang dari Perang Badar yang luar biasa dahsyat itu, nabi mengatakan, “kita baru saja pulang dari jihadul-ashghar untuk (selanjutnya menghadapi) jihadul-akbar.” Perkataan nabi ini mengejutkan para sahabat, sehingga mereka meminta Nabi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan jihad akbar itu. Nabi mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah jihadu-nafs. Orang biasa menerjemahkannya sebagai “perang melawan nafsu”. Di sini kita menyebutnya sebagaui “totalitas perjuangan dalam rangka memerangi nafsu”.

Jihadul-Akbar
      “Perang melawan nafsu’ adalah perang permanen (permanent) atau perang abadi, atau perang yang tidak berkesudahan, kekcuali bila para pelakunya sudah mati.
      Seperti disebutkan di atas, latar belakang sejarah kelahiran hadits tentang jihad itu adalah peristiwa Perang Badr, yaitu perang pertama dalam sejarah Nabi, yang di dalamnya Nabi memimpin 313 orang tentara dengan dukungan dua ekor unta, untuk melawan dedengkot Quraisy bernama Abu Sufyan yang memimpin 1000  orang tentara dengan dukungan 700 ekor unta (sebagai kendaraan logistik). Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Nabi. Sebanyak 70 orang tentara Quraisy tewas, dan sekitar 70 orang pula yang menjadi tawanan. Sedangkan di pihak Nabi hanya 14 orang gugur.
Perang Badr adalah perang defensif (bersifat bertahan, membela diri) pertama yang terjadi pada tahun 624 M atau sekitar dua tahun setekah Hijrah. Perang ini terjadi di Lembah Badr, di luar wilayah kota Yatsrib (Madinah). Bila digambarkan secara kiasan, ketika Perang Badr ini Nabi dan pasukannya keluar dari “rumah”  (Madinah) untuk menyongsong sekawanan perampok yang hendak menghancurkan rumah mereka. Setelah para perampok dikalahkan, Nabi bersama tentaranya kembali ke rumah. Tapi justru di dalam rumah itulah Nabi mengatakan bahwa mereka semua harus bersiap-siap untuk menghadapi jihadul-akbar.
Bila dipahami secara simbolik (perlambang), Perang Badr adalah perang dalam rangka mengusir musuh-musuh eksternal (dari luar). Inilah yang oleh Nabi disebut sebagai jihadul-ashghar. Sedangkan sekembali dari Badr, yang harus dihadapi adalah musuh-musuh internal (yang ada di dalam). Inilah jihadul-akbar.
Dalam skala kecil jihad akbar atau jihadul-nafs adalah perang dalam rangka menaklukkan nafsu-nafsu pribadi. Dalam skala yang lebih luas, cakupannya adalah penataan rumahtangga mumin. Termasuk ke dalam pengertian rumahtangga ini adalah negara, karena pada hakikatnya sebuah negara adalah sebuah rumahtangga dalam skala besar.
Jadi jihad akbar ini secara keseluruhan meliputi proses “Qur’ãnisasi perilaku individu dan masyarakat”. Dalam bahasa populer, jihad akbar adalah proses yang meliputi segala usaha untuk membuat individu dan masyarakat berdisiplin hukum (law enforcement). Masyarakat yang sadar hukum adalah masyarakat yang tidak membutuhkan polisi untuk memaksa mereka mematuhi peraturan. Mereka juga tidak membutuhkan pemimpin yang berwujud manusia, karena pemimpin mereka yang sebenarnya adalah hukum itu sendiri. Para petugas hukum hanya amenjadi lambang, atau ibarat pelumas untuk menjaga agar kesadaran hukum itu tidak aus atau berkarat. Dengan kata lain, jihad akbar adalah perjuangan untuk membuat Al-Qurãn menjadi imam; baik dalam setiap individu maupun dalam masyarakat, dan terutama dalam masyarakat; karena biasanya individu menjadi cenderung baik atau jahat karena pengaruh masyarakat (lingkungan). Dalam konteks negara, jihad melawan nafsu itu justru harus dimulai (dipimpin) kepala negara dan seluruh jajarannya, dengan menjalankan hukum positif secara istiqamah (konsisten). Bila tidak, misalnya dengan membiarkan masyarakat secara individual mengatur diri sendiri, maka perang melawan nafsu itu hanya akan menjadi omong kosong.

            Jihaadu l-Ashghar.
Seperti disebutkan di atas, jihadul-ashghar (perang kecil) adalah adalah perang untuk mengadapi musuh-musuh dari luar, atau jelasnya musuh-musuh yang melakukan serangan secara fisik (lahiriah) dengan sasaran yang bersifat fisik pula. Untuk itu dalam Surat al-Anfal ayat 60, 64-66, Allah mengingatkan:

            Bersiaplah selalu untuk menghadapi mereka (orang kafir) dengan mengerahkan segala daya yang kalian miliki, misalnya tentara berkuda, (mudah-mudahan dengan itu) kalian dapat membuat gentar musuh Allah yang (juga otomatis menjadi) musuh kalian; serta (untuk menghadapi bahaya) yang lain. Kalian tak akan tahu tentang mereka. (karena itu) Allah memberitahu tentang (kejahatan) mewreka (yang selalu menginginkan kehancuran kalian). Sebenarnya, apa pun yang kalian kerahkan demi menegakkan ajaran Allah, semua akan kembali menjadi keuntungan kalian juga. Tegasnya, kalian sama sekali tidak dipermainkan (oleh Allah).
Hai Nabi (Muhammad) begitu juga para mukmin yang menjadi pengikutmu, cukuplah Allah (dengan ajaran-Nya sebagai pegangan hidup).
            Hai Nabi! Siagakanlah para mumin untuk berperang. (sehingga, karena dipersiapkan sedemikian rupa) seandainya di antara kalian hanya ada duapuluh orang yang benar-benar tangguh, mereka akan mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada seratus orang (yang tangguh), mereka pasti dapat mengalahkan seribu orang kafir; karena orang-orang kafir itu tidak memahami (tujuan perjuangan mereka).
            Tapi sekarang (saat menghadapi Perang Badr dan perang-perang di awal Hijrah), Allah ringankan tugas kalian, karena menimbang keadaan kalian yang masih lemah. Namun (meskipun demikian), bila diantara kalian ada seratus orang yang tangguh, mereka pasti mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada seribu (yanbg benar-benar tangguh), mereka pasti mampu mengalahkan duaribu orang , karena mereka mematuhi konsep Allah. (Karena) sebenarnya Allah (melalui Sunnah-Nya) berpihaka kepada orang-orang yang tangguh (memmperjuangkan kebenaran)


Tidak ada komentar: