Kemampuan
Mendengar
Kemampuan berpikir ditandai dengan adanya kemampuan
mendengar. Untuk itulah Allah membekali manusia dengan alat pendengaran.
(al-A’raf ayat 179; an-Nahl ayat 78). Bahkan menurut para ahli embriologi, alat pendengaran
(telinga) tumbuh lebih dulu sebelum indera-indera yang lain. Ini menandakan
betapa pentingnya alat pendengaran. Bahkan, kata para dokter, sejak dalam
kandungan manusia sudah mempunyai kemampuan mendengar. Meski tentu saja
kemampuan itu belum berfungsi baik. Ini ditegaskan Al-Qurãn (an-Nahl 16:78) dengan pernyataan bahwa manusia pada saat baru
keluar dari rahim ibunya belum mempunyai pengetahuan tentang apa pun. (Bila
pendengarannya sudah berfungsi, bisa jadi dia sudah banyak tahu tentang rayuan gombal ayahnya terhadap ibunya!)
Setelah manusia lahir, kerja otaknya dirangsang oleh
lidah dan kulit sebagai indera pengecap dan perasa, hidung sebagai indera
penciuman, dan telinga sebagai alat pendengaran. Mata baru berfungsi puluhan
hari kemudian. Tapi dalam kaitan dengan kegiatan berpikir intelektual, Al-Qurãn hanya menyebutkan
telinga dan mata.
Sehubungan dengan kesiapan telinga untuk lekas
berperan (bila tidak tuli), maka Rasulullah konon memerintahkan agar begitu
lahir si bayi
disambut dengan adzan, yang dikumandangkan ayahanya. Kendati dari segi
periwayatan dan pemikiran rasional hadits tentang adzan untuk bayi ini menjadi bahan ikhtilaf, namun tinjauan psikologi pendidikan mendukung. Si bayi
memang belum bisa memahami, dan mungkin juga belum bisa menangkap dengan jelas adzan yang dikumandangkan. Tapi dari
segi pendidikan, jelas sangat bermanfaat. Dengan catatan, tindakan itu dipahami
dengan baik oleh orangtua si bayi; bukan hanya dilakukan sebagai suatu upacara
menyambut kelahiran bayi, tapi sebagai penanaman sugesti (pesan) terhadap diri
si ayah (dan ibu) bahwa bayi yang baru lahir itu akan dididiknya dengan
pendidikan Islam. Dengan kata lain, pembacaan adzan itu adalah ibarat proklamasi dari orangtua untuk membebaskan
si bayi dari hegemoni (cengkeraman kekuasaan) lingkungan, yang mungkin membuatnya
jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Pembacaan adzan itu adalah pernyataan tekad dari orangtua bahwa si bayi akan
dijadikan seorang muslim!
Jadi agar ia menjadi muslim/muslimat, langkah pertama adalah dengan memasukkan lafadz adzan ke telinganya. Mudah-mudahan lafadz itulah yang pertama kali masuk dan terekam dalam otaknya.
Selanjutnya proses pendidikan menuju terciptanya
seorang muslim
itu terus dijalankan orangtuanya, dengan sedikit demi sedikit mengajarkan Al-Qurãn. Sedikit demi
sedikit, tapi sering dan rutin. Bila tidak demikian, masukan al Al-Qurãn akan kalah oleh masukan-masukan yang lain.
Si anak akan menjadi lebih terbiasa mendengar suara-suara lain daripada suara Al-Qurãn.
Keseringan mendengar suara Al-Qurãn tentu akan
menjadi landasan yang baik untuk membuat si anak akrab dengan Al-Qurãn. Apalagi bila cara orangtua dalam meperdengarkan Al-Qurãn itu dibarengi
dengan muatan-muatan pengertian, seiring dengan perkembangan si anak. Pada
akhirnya, ketika si anak mencapai usia dewasa, kemampuannya mendengar Al-Qurãn akan mencapai
taraf kematangan.
Dengan mendengar Al-Qurãn otak terisi Al-Qurãn. Semakin sering mendengar, semakin banyak
muatan otak. Semakin banyak muatan otak akan mengubah otak dari pasif menjadi
aktif dan produktif. Otak lalu akan bekerja seperti sebuah mesin pabrik, yang
produksinya akan keluar melalui lisan, dan anggota badan.
Itu gambaran pendidikan ideal, yang berjalan dengan
proses evolusi. Tapi dalam kenyataan, pendidikan tidak selalu berjalan dengan
proses demikian. Ada juga pendidikan yang berjalan melalui proses revolusi. Ini
ditegaskan Allah kepada para Rasul, yang baru diangkat menjadi Rasul setelah
mereka dewasa. Selanjutnya para Rasul pun menerapkannya kepada manusia-manusia
lain, yang diperkenalkan dengan ajaran Allah setelah otak mereka penuh dengan
muatan berbagai ajaran. Ini metode pendidikan yang bersifat menantang. Bila
siap menerima tantangan, khudzu ma atainakum
bi-quwwatin wa-sma’u … sambut apa yang Kami sampaikan kepada kalian (Al-Qurãn) dengan
mengerahkan segala daya, dengan pertama-tama simaklah da’wah rasul (Al-Baqarah ayat 93)
Di antara pengerahan segala daya untuk menyambut (menanggapi) Al-Qurãn itu, berkali-kali
dalam Al-Qurãn disebutkan peran telinga. Terutama karena para rasul pada umumnya berda’wah secara lisan. (Dalam
sistem halaqah, da’wah lisan ini juga
dominan, menjadi sarana tranfer ilmu
sekaligus membina keakraban).
Kemampuan Bicara
Kemampuan berpikir yang terpadu dengan kemampuan
mendengar otomatis akan melahirkan kemampuan berbicara. Dalam pengertian
sederhana, kemampuan berbicara adalah kemampuan berdialog dengan sesama
manusia. Tapi dalam kaitan dengan dakwah Al-Qurãn, kemampuan berbicara yang dimaksaud adalah
kemampuan mengungkapkan pemahaman atas Al-Qurãn melalui bahasa lisan yang tersusun baik,
sehingga dapat ditangkap (didengar) orang lain dengan baik pula.
Kemampuan bicara erat kaitannya dengan kemampuan
mendengar. Telinga adalah sarana input
(masukan), lidah adalah sarana output (keluaran). Otak tak adalah mesin
pengolah setiap data yang masuk. Bila kemampuan mendengar kurang baik, otak
tidak akan mendapat masukan yang cukup. Alhasil, yang keluar melalui lisan
adalah produk yang tidak sempurna, malah mungkin tak karuan bentuknya (cacat).
Jelasnya, orang yang kemampuan mendengarnya tidak baik, bicaranya akan “ngawur”
Karena itu bila anda punya teman yang sering bicara “ngawur” periksalah
kemampuan mendengarnya. Dia mungkin tidak tuli, tetapi otaknya tidak terbiasa
mengendalikan telinganya untuk menyimak dengan baik. “Penyakit” bisa jadi malah
terdapat pada otaknya.
Kemampuan bicara yang baik erat kaitannya dengan sabda
Nabi, balighu ‘anni walau ayatan
(sampaikanlah yang kalian terima dariku walau hanya satu ayat). Erat kaitannya
dengan kewajiban berda’wah atau mengajar, dalam arti yang luas. Pada umumnya orang
beranggapan bahwa kemampuan bicara yang baik hanya harus dikuasai oleh para
juru da’wah
atau pengajar profesional. Ini pandangan keliru. Apalagi bila diingat bahwa da’wah bukanlah ladang
profesi. Sabda Nabi tersebut mengisyaratkan bahwa da’wah pada hakikatnya
adalah suatu sistem pendidikan Islam (Al-Qurãn) yang akan berjalan lancar bila setiap
orang islam turut berpartisipasi sesuai kemampuan masing-masing.
Kemampuan bicara dengan baik, tidak “ngawur” atau
bertele-tele, hanyalah akibat dari berjalannya proses da’wah. Dari proses da’wah Al-Qurãn yang benar, tentu
terbentuk kemampuan berpikir secara
Al-Qurãn, kemampuan
mendengar secara Al-Qurãn, dan kemudian
kemampuan bicara secara Al-Qurãn.
Banyaknya para Sahabat yang menjadi penutur Hadits
adalah bukti bahwa mereka mempunyai kemampuan berbicara yang baik. Bahkan
ketelitian mereka dalam penuturan, membuktikan bahwa kemampuan berpikir mereka juga baik.
Melalui hadits-hadits
(yang shahih) kita juga bisa menyimpulkan bahwa para Sahabat itu sudah
menerapkan prinsip jurnalistik (kewartawanan) modern tanpa melalui sekolah.
Dalam hadits-hadits
mereka dapat kita temukan laporan-laporan murni, yang tidak dicampur-aduk
dengan opini pribadi., Dari mereka kita dapat belajar bahwa orang beriman itu
harus mampu berbicara jujur, mengutamakan fakta dan data, bukan penilaian atau
penafsiran pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar