D. Sami’na
atau Rattil : Persiapan mencapai Iman
Istilah sami’na (harfiah: kami telah mendengar) kita gunakan untuk menyebut “rangkaian pengkajian Al-Qurãn dalam rangka
membentuk pandangan hidup berdasar Al-Qurãn”. Tujuan dari sami’na adalah atha’na (harfiah: kami telah patuh), yaitu ‘menjelmanya pandangan (yang bersifat ghaib/abstrak) ke dalam
sikap hidup (yang bersifat syahadah/konkret).” Surat Ali-‘Imran ayat 193 menegaskan bahwa tujuan sami’na secara umum adalah pembebasan
total dari segala kecenderungan diri untuk melakukan hal-hal yang bersifat sayyi’ãt (buruk), demi menempati posisi abrãr (patuh, menjunjung tinggi
kebenaran).
Kemudian secara teknis, sami’na ini kita bagi menjadi:
a.
Rattil sebagai persiapan
iman
b.
Shalat
sebagai pembinaan iman; dan
c.
Pendidikan
menuju siap rattil.
a.
Rattil sebagai Persiapan Iman.
Secara harfiah rattil
berarti : bacalah, pelajarilah, kajilah. Kata ini kita ambil dari Surat
al-Muzzammil ayat 4, yang selanjutnya kita gunakan sebagai istilah yang berarti: Kegiatan
mengkaji
Al-Qurãn pada malam hari yang dilakukan bersama kelompok. Tentu dengan dipimpin ketua
kelompok yang relatif paling memahami Al-Qurãn, sesuai isyarat Allah dalam
surat Al-Muzzammil ayat 20.[1]
Dengan demikian, para pelaku rattil adalah orang-orang yang sudah
mempunyai persiapan untuk menghadapi, karena mereka boleh dikatakan sudah tidak
lagi menemukan masalah besar dalam menghadapi matan (teks) Al-Qurãn.
Tentu ada sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab
secara ghamblang, misalnya (1) Apakah masalah-masalah besar yang menghambat
kita dalam melakukan rattil? (2)
Apakah ukurannya bahwa seseorang telah bebas dari masalah-masalah itu?, (3)
Apakah ukurannya bahwa seseorang
sudah boleh masuk kelompok rattil? (4) Apakah kegiatan rattil bisa menjamin para pelakunya menjadi mu’min sejati?, (5) Apakah rattil bisa dilakukan secara
sendiri-sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus terjawab tuntas
sebelum rattil dilakukan, yaitu melalui proses “pendidikan menuju siap rattil” Sedangkan pada saat rattil,
pertanyaan-pertanyaan seperti itu seharusnya sudah tidak ada. Bukan berarti
bahwa pada saat rattil pelakunya sudah tidak punya pertanyaan lagi; tapi justru
pada saat itulah segala pertanyaan yang tersisa diajukan langsung kepada Allah,
melalui Al-Qurãn, karena sudah tidak mungkin lagi diajukan kepada manusia! Dengan
kata lain, pada saat rattil seseorang boleh dikatakan sedang melakukan audiensi[2]
dengan Allah, untuk minta penjelasan mengenai segala permasalahan hidup.
Khusus untuk pertanyaan terakhir,
“Apakah rattil bisa dilakukan seseorang secara sendirian?” Jawabannya adalah:
bisa saja. Tapi sangat sulit. Karena ia harus mempunyai persiapan yang relatif
lengkap, dan ini sangat sulit dipenuhi. Selain itu, seandainya bisa, bila
setiap individu dibiarkan melakukan rattil sendiri-sendiri, maka mereka akan
memahami Al-Qurãn secara berbeda-beda; melahirkan pendapat yang tidak sama;
sehingga ini akan menjadi benih perpecahan dan perselisihan. Sedangkan bila
dilakukan bersama kelompok, satu sama lain bisa tawashau bil-haqqi, bisa
saling menutupi kekurangan, dan lain-lain; sehingga hasil rattil bisa
disimpulkan bersama.
Hambatan-hambatan Rattil
Secara garis besar hambatan-hambatan yang timbul di
dalam melakukan rattil dapat dibagi
ke dalam dua jenis:
1.
Hambatan
Psikologis
Hambatan Psikologis adalaha hambatan pertama dan utama. Hambatan ini
timbul dari sumber yang dikatakan oleh Hadits[3]
sebagai abawani; yang secara harfiah
berarti “kedua orangtua” (ibu-bapak) namun dalam kaitan dengan pembentukan iman
istilah ini bisa berarti “para senior” atau tepatnya berarti “para nara sumber
ilmu”. Oknumnya tentu bisa kerdua orangtua, para guru, teman, dan sebagainya;
bahkan bisa berupa media massa. Intinya si abawani
inilah yang menyebabkan seseorang menjadi berpandangan dan bersikap seperti Yahudi, atau Nasrani, atau
Majusi.[4]
Masukan-masukan dari
sumber Yahudi, Nasrani, dan Majusi itu dengan kata lain berarti “berbagai
ajaran yang berasal dari arbaban min
dunillah” (tuhan-tuhan selain Allah). Semua bisa secara bersama-sama atau
terpisah, merasuk ke dalam diri setiap orang, termasuk yang mengaku muslim. Bahkan ketika
Islam turun, bangsa Arab Quraisy yang mengaku sebagai penganut agama Ibrahim
itu ternyata dipengaruhi oleh ketiga ajaran tersebut. Barangkali karena itulah
dalam hadits
tersebut Nabi
menyebutkan ketiga agama itu sebagai sindiran atau peringatan terhadap bangsa
Arab, karena mungkin ketiga agama itulah yang menjadi penghambat mereka untuk
menerima Islam, di samping agama-agama khas mereka sendiri.
Jadi hambatan psikologis dalam mengkaji Al-Qurãn timbul karena
berbagai ajaran yang telah mengakar dalam diri manusia, yang selanjutnya
menyebabkan mereka apriori, yaitu mempunyai kecenderungan untuk menjatuhkan
penilaian sebelum mengenal dengan baik, karena sebelumnya sudah punya ‘bekal’
dari sumber lain, bukan dari sumber obyektif. Hambatan psikologis ini lebih
berat daripada hambatan teknis, karena kadang-kadang ia tampil sebagai kanker ganas, yang sudah
merusak segala jaringan kesadaran ilmiah.
2. Hambatan teknis
Yang dimaksud hambatan teknis di sini adalah hambatan yang lebih bersifat praktis, yaitu
hambatan-hambatan yang dihadapi para calon pelaku rattil yang menyadari dirinya tidak atau kurang memiliki
‘peralatan’ yang dibutuhkan. Dengan kata lain, para calon pelaku rattil menjadi kurang siap karena belum menguasai ‘ilmu alat’.
Ilmu alat biasanya
dikaitkan dengan ilmu tafsir. Yang digolongkan sebagai ilmu alat antara lain
ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti sharaf, nahwu, balaghah, dan lain-lain; juga ilmu yang berkaitan dengan hadits. Selain itu Ilmu mantiq, tauhid, tasawuf, dan lain-alin juga dimasukkan ke dalam kelompok ilmu alat.
Ilmu-ilmu tersebut memang ada yang mutlak harus
dipelajari, misalnya, yang berkaitan dengan bahasa dan hadits. Tapi memasukkan
ilmu mantiq
yang merupakan modifikasi dari filsafat Aristoteles, ilmu tauhid yang juga rekayasa
dari teologi, serta tasawuf yang penuh mistik, adalah sesuatu yang sangat perlu
dipertanyakan. Ketiga ilmu ini hanyalah sebagian dari yang patut dicurigai
mempunyai peran besar dsalam melahirkan tafsir-tafsir yang tidak obyektif alias
melantur.
Pendeknya, ilmu-ilmu yang
wajib dipelajari hanyalah yang jelas berkaitan dan terbukti mampu membantu
dalam memunculkan makna Al-Qurãn yang sebenarnya. Sebaliknya, bila malah mengacaukan atau
menyimpangkan, lebih baik tidak usah dipakai saja. Dengan kata lain, penggunaan
ilmu-ilmu alat itu harus dilakukan secara kritis, selektif, dan pragmatis (sesuai kebutuhan). Untuk itulah para calon pelaku rattil harus mempelajaria metodologi
penafsiran Al-Qurãn yang diajarkan oleh Al-Qurãn sendiri; karena metodologi inilah yang akan menjadi penyaring bagi
ilmju-ilmu alat yang ditawarkan.
[1] Dalam surat Al-Muzzammil
ayat 20 ada isyarat bahwa Nabi Muhammad membagi umatnya ke dalam tiga kelompok
(طائفة), yaitu (1) Para pengkaji Al-Qurãn; (2) Kelompok militer; (3)
Kelompok ekonomi. Bagaimana gambaran persisnya, masih perlu pengkajian yang
lebih teliti.
[2] Audience, (Bhs. Inggris), artinya: (1) berkumpulnya banyak orang untuk
mendengarkan pidato, orang menyanyi dan sebagainya; (2) orang-orang yang
mendengarkan atau membaca sesuatu; (3) wawancara resmi dengan penguasa. Di sini
kita ambil makna yang ketiga, dengan pengertian bahwa ‘wawancara resmi’ ini
terjadi bukan setelah melalui rangkaian proses protokoler seperti umumnya
seorang rakyat yang hendak menghadap raja atau presiden, tapi setelah menempuh
tahap demi tahap proses persiapan ilmiah. Jadi jelas sekali bahwa pelakunya
adalah orang yang benar-benar ‘mandiri’ tidak mengandalkan kekuatan lobby atau
koneksi.
[3] Yaitu Hadits yang berbunyi, “Kullu
mauludin yuladu ‘alal-fitrah hatta yu’riba ‘anhu lisanuhu, fa innama abwahu
yuhawwidanihi aw yunashshiranihi aw yumajjisanini” (HR. Abu Ya’la,
Thabrani, dan Baihaqi, dan ada matan lain yang diriwayatkan Bukhari)
[4] Majusi adalah nama agama yang berkembang di Iran , dikenal
masyarakat barat sebagai Zoroastrianisme. Yang dianggap pengembangnya adalah
Zoroaster atau Zarathustra. Nama kitabnya Zen-Avesta. Diperkirakan mulai
berkembang pada tahun 660-583 SM., dan mencapai puncaknya pada masa Kaisar
Cyrus dan Darius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar