Kamis, 17 November 2016

Analisis Îmãn (19)


Al-Qurãn : Imam dalam Rattil
Secara umum, Al-Qurãn adalah imam dalam segala segi kehidupan mumin. Secara khusus ia juga merupakan imam dalam mengkaji (rattil) dirinya sendiri. Pemahaman ini dapat kita simpulkan misalnya dari Suarat al-Baqarah ayat 185, yang antara lain menegaskan bahwa Al-Qurãn hudan li l-nasi wa bayyinatin  min al-huda wa l-furqan.
      Dalam penggalan ayat tersebut di atas tersirat keterangan demikian:
  1. Al-Qurãn secara keseluruhan adalah pedoman bagi seluruh umat manusia. Pedoman bagi manusia (hudan lin-nasi ) ini selanjutnya disebut sebagai al-Huda saja. Dengan kata lain al-huda adalah sebutan bagi Al-Qurãn sesuai dengan fungsi umumnya sebagai pedoman hidup manusia.
  2. Sebagai suatu pedoman umum kehidupan (sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya), Al-Qurãn juga mengandung pedoman yang bersifat teknis, yaitu penjelasan-penjelasan tentang bagaimana cara mengkajinya, yang dalam ayat tersebut disebut dengan bayyinatin  min al-huda atau al-Furqan.

Bayyinatin min al-huda secara harfiah berarti “penjelasan-penjelasan mengenai al-huda (Al-Qurãn)”. Dan makna ini dipertegas dengan istilah al-Furqan.
Furqan adalah bentuk masdhar dari faraqa, yang artinya sama dengan fashala, yaitu membagi, memisahkan, memilah, dan sebagainya.   Tapi bila kita kaitkan dengan Al-Qurãn sebagai suatu teks, maka dapat dikatakan bahwa fashala ini berarti : “membagi menjadi berpasal-pasal. Dengan kata lain, sebagai sebuah ‘buku’, Al-Qurãn itu terbagi menjadi sejumlah fasal atau bab, dan dengan sendirinya, setiap fasal tentu mengandung tema-tema yang berbeda.
Kemudian, bila dikaitkan dengan suatu urusan, maka faraqa bisa berarti wadhiha/tawadhaha/ittadhaha, atau bayyana, yaitu memberikan penjelasan sejelas-jelasnya, termasuk memberikan pembuktian yang berkaitan dengan urusan tersebut.
Ayat di atas jelas menggunakan kata bayyinat (jamak dari bayyinah) sebagai padanan untuk al-furqan, yang keduanya digunakan dengan qarinah makna refleksif[1] yaitu memantul ke dalam diri sendiri. dengan demikian jelaslah bahwa di dalam Al-Qurãn terdapat penjelasan mengenai hal-ihwal dirinya sendiri, termasuk penjelasan tentang bagaimana cara memahaminya. Hal ini juga secara jelas digambarkan dalam Surat al-Qiyamah ayat 17-19 sebagaia berikut:

Kami lah (Allah) yang berwenang melakukan kodifikasinya[2] serta tehnik pengkajiannya.
Maka bila telah Kami tetapkan tehnik pengkajiannya, ikutilah oleh mu tehnik pengkajian itu.
Selanjutnya, Kami pula lah yang berwenang memberikan penjelasan-(tafsir)nya.

Beberapa Hadits menguatkan keterangan-keterangan di atas, antara lain ada yang mengatakan bahwa: Inna l-qur’aana yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (sebenarnya Al-Qurãn itu terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling menafsirkan).
Singkatnya, kesepakatan bahwa Al-Qurãn adalah pedoman hidup menuntut adanya kesepakatan yang lain; yaitu bahwa pengkajian Al-Qurãn mutlak harus dilakukan; dengan penegasan bahwa hal itu pun mutlak harus dilakukan berdasar petunjuk Al-Qurãn (Allah) sendiri. Tentu saja ini bukan berarti tidak ada alternatif penafsiran. Alternatif untuk banyak model penafsiran terbuka lebar, dan itu sudah dilakukan banyak orang. Namun dengan hasil yang tidak pernah mampu mewujudkan kenyataan seperti yang pernah diwujudkan Rasulullah.

Asbabun-Nuzul
Kita memahami istialah asbabun-nuzul di sini tidak seperti yang dipahami kebanyakan orang, tapi dalam pengertian sebab-sebab serta tujuan diturunkannya Al-Qurãn kepada manusiaDalam berbagai ayat dinyatakan secara isyarat bahwa sebab penurunan Al-Qurãn adalah keadaan manusia yang telah hidup dalam azh-zhulumat (kegelapan), dan tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari kegelapan itu, hingga akhirnya hidup dalam kecerahan (an-nur). Dengan kata lain, Surat Ali-‘Imraan ayat 103, menegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan agar manusia bersatu-padu, saling kasih sayang, tidak berbaku-hantam.
Gambaran pragmatis ketika Al-Qurãn turun pada abad ke-7 M, dikemukakan Isa Bugis, sebagai berikut:

Kehidupan masnusia di belahan bumi bagian Barat, yaitu daerah-daerah Timur-Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika utara, berada dalam penjajahan Imperium Romawi. Sedangkan Kristenisme pada awal abad ke-7 M sudah menjadi alat Imperium Romawi sebagai akibat pembagian kekuasaan Kerajaan Langit dan Kerajaan Bumi. Sebelah Timur dari Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang sekarang disebut Iran, Irak, Afghanistan, dan Pakistan, berada dalam penjajahan Imperium Persia Baru. Di Jazirah Arab, sejak tahun 595 M kekuasaan nasional Quraisy menegakkan ajaran berdasar warisan nenek moyang. Sedangkan daerah Eropa Utara, Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan seluruh benua Amerika, kehiduapan manusia di sana masih biadab, dalam arti mereka masih berpakaian  ‘cawat’. Adapun kehidupan di benua Asia, termasuk Indonesia, bercokol kerajaan-kerajaan lokal yang memerintah berdasar ajaran Hindu/Budha, di mana raja-raja dinyatakan sebagai keturunan Dewa.[3]

Itulah gambaran seklias “kegelapan” yang dihadapi oleh Muhammad ketika ia menerima Al-Qurãn. Di mana-mana masnusia terjebak dalam sistem kehidupan  sosial-piramid, dengan berbagai versinya. Itulah yang menjadi alasan turunnya (asbabun-nuzul) Al-Qurãn, yakni seperti yang ditegaskan dalam Surat Ali-‘Imran ayat 103 tersebut, yaitu untuk menyelamatkan manusia dari jurang neraka hidup (di dunia ini).
Pada masanya nabi Muhammad, seperti juga nabi-nabi yang lain, mampu memimpin bangsanya untuk melaksanakan konsep Al-Qurãn. Tapi tak lama setelah ia wafat, bangsanya kembali ke dalam tradisi lama  mereka, sehingga situasi dunia pun kembali seperti saata sebelum Al-Qurãn turun.
Apakah hal itu terjadi karena Al-Qurãn lenyap,  naik kembali ke langit? Apakah Allah harus menurunkannya lagi seperti dulu?
Al-Qurãn maupun hadits menegaskan bahwa Muhammad adalah rasul Allah terakhir. Namun ini bukan berarti bahwa missi kerasulan sudah berakhir seiring dengan kematian Muhammad; karena missi tersebut hingga kini masih aman dalam kemasan Mushaf Al-Qurãn.
Mushaf Al-Qurãn masih ada di bumi. Konsepnyalah yang telah terbang kembali ke langit, atau terkubur dalam kelalaian manusia yang kembali asyik dalam ayunan sarang laba-laba. Dalam keadaan seperti ini, hanya mereka yang benar-benar hanif-lah yang akan merasa terpanggil untuk “menurunkan” Al-Qurãn kembali ke bumi.
Menurunkan Al-Qurãn kembali artinya adalah tindakan nyata dalam mengkaji ulang mushaf Al-Qurãn untuk menemukan maknanya yang murni. Untuk itu banyak sekali persiapan yang harus dilakukan si “Hanif”  ini. Salah satu di antaranya, ia harus mengkaji aspek kebahasaan Al-Qurãn. []






[1] Bhs. Inggris: reflexive, Arab in’ikasi
[2] kodifikasi: menyusun secara sistematis
[3] Pengantar Iman, salinan kelompok pengajian Bogor, 1981, dari naskah lebih awal.

Tidak ada komentar: