Al-Qurãn : Imam dalam Rattil
Secara umum, Al-Qurãn adalah imam dalam segala segi kehidupan mu’min. Secara khusus ia
juga merupakan imam dalam mengkaji (rattil)
dirinya sendiri. Pemahaman ini dapat kita simpulkan misalnya dari Suarat al-Baqarah
ayat 185,
yang antara lain menegaskan bahwa Al-Qurãn
hudan li l-nasi wa
bayyinatin min al-huda wa l-furqan.
Dalam penggalan ayat
tersebut di atas tersirat keterangan demikian:
- Al-Qurãn secara keseluruhan adalah pedoman bagi seluruh umat manusia. Pedoman bagi manusia (hudan lin-nasi ) ini selanjutnya disebut sebagai al-Huda saja. Dengan kata lain al-huda adalah sebutan bagi Al-Qurãn sesuai dengan fungsi umumnya sebagai pedoman hidup manusia.
- Sebagai suatu pedoman umum kehidupan (sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya), Al-Qurãn juga mengandung pedoman yang bersifat teknis, yaitu penjelasan-penjelasan tentang bagaimana cara mengkajinya, yang dalam ayat tersebut disebut dengan bayyinatin min al-huda atau al-Furqan.
Bayyinatin min
al-huda secara harfiah berarti
“penjelasan-penjelasan mengenai al-huda (Al-Qurãn)”. Dan makna ini dipertegas dengan istilah al-Furqan.
Furqan adalah bentuk masdhar dari faraqa,
yang artinya sama dengan fashala,
yaitu membagi, memisahkan, memilah, dan sebagainya. Tapi bila kita kaitkan
dengan Al-Qurãn sebagai suatu teks, maka dapat dikatakan bahwa fashala ini berarti : “membagi menjadi berpasal-pasal.” Dengan kata lain, sebagai sebuah ‘buku’, Al-Qurãn
itu terbagi menjadi sejumlah fasal atau bab, dan dengan sendirinya, setiap
fasal tentu mengandung tema-tema yang berbeda.
Kemudian, bila dikaitkan dengan
suatu urusan, maka faraqa bisa
berarti wadhiha/tawadhaha/ittadhaha, atau
bayyana, yaitu memberikan penjelasan
sejelas-jelasnya, termasuk memberikan pembuktian yang berkaitan dengan urusan
tersebut.
Ayat di atas jelas menggunakan kata bayyinat (jamak dari bayyinah) sebagai padanan untuk al-furqan, yang keduanya digunakan
dengan qarinah makna refleksif[1] yaitu memantul ke dalam diri sendiri. dengan
demikian jelaslah bahwa di dalam Al-Qurãn terdapat penjelasan mengenai
hal-ihwal dirinya sendiri, termasuk penjelasan tentang bagaimana cara
memahaminya. Hal ini juga secara jelas digambarkan
dalam Surat al-Qiyamah ayat 17-19 sebagaia berikut:
Kami lah (Allah) yang berwenang melakukan kodifikasinya[2]
serta tehnik pengkajiannya.
Maka bila telah Kami tetapkan tehnik pengkajiannya, ikutilah oleh mu
tehnik pengkajian itu.
Selanjutnya, Kami pula lah yang berwenang memberikan
penjelasan-(tafsir)nya.
Beberapa Hadits menguatkan keterangan-keterangan di
atas, antara lain ada yang mengatakan bahwa: Inna l-qur’aana yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (sebenarnya Al-Qurãn itu terdiri dari
bagian-bagian yang satu sama lain saling menafsirkan).
Singkatnya, kesepakatan bahwa Al-Qurãn adalah pedoman
hidup menuntut adanya kesepakatan yang lain; yaitu bahwa pengkajian Al-Qurãn mutlak harus
dilakukan; dengan penegasan bahwa hal itu pun mutlak harus dilakukan berdasar
petunjuk Al-Qurãn (Allah) sendiri. Tentu saja ini bukan
berarti tidak ada alternatif penafsiran. Alternatif untuk banyak model
penafsiran terbuka lebar, dan itu sudah dilakukan banyak orang. Namun dengan
hasil yang tidak pernah mampu mewujudkan kenyataan seperti yang pernah
diwujudkan Rasulullah.
Asbabun-Nuzul
Kita memahami istialah asbabun-nuzul di sini tidak seperti yang dipahami kebanyakan orang, tapi dalam
pengertian sebab-sebab serta tujuan
diturunkannya Al-Qurãn kepada manusia. Dalam berbagai ayat
dinyatakan secara isyarat bahwa sebab penurunan Al-Qurãn
adalah keadaan manusia yang telah hidup dalam azh-zhulumat (kegelapan), dan tujuannya adalah
untuk membebaskan manusia dari kegelapan itu, hingga akhirnya hidup dalam
kecerahan (an-nur). Dengan kata lain,
Surat Ali-‘Imraan ayat 103, menegaskan bahwa Al-Qurãn
diturunkan agar manusia bersatu-padu, saling kasih sayang,
tidak berbaku-hantam.
Gambaran pragmatis ketika Al-Qurãn turun pada abad
ke-7 M, dikemukakan Isa Bugis, sebagai berikut:
Kehidupan masnusia di belahan bumi bagian Barat,
yaitu daerah-daerah Timur-Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika utara, berada dalam
penjajahan Imperium Romawi. Sedangkan Kristenisme pada awal abad ke-7 M sudah
menjadi alat Imperium Romawi sebagai akibat pembagian kekuasaan Kerajaan Langit
dan Kerajaan Bumi. Sebelah Timur dari Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang sekarang
disebut Iran, Irak, Afghanistan, dan Pakistan, berada dalam penjajahan Imperium
Persia Baru. Di Jazirah Arab, sejak tahun 595 M kekuasaan nasional Quraisy
menegakkan ajaran berdasar warisan nenek moyang. Sedangkan daerah Eropa Utara,
Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan seluruh benua Amerika, kehiduapan manusia di
sana masih biadab, dalam arti mereka masih berpakaian ‘cawat’. Adapun kehidupan di benua Asia,
termasuk Indonesia, bercokol kerajaan-kerajaan lokal yang memerintah berdasar
ajaran Hindu/Budha, di mana raja-raja dinyatakan sebagai keturunan Dewa.[3]
Itulah gambaran seklias “kegelapan” yang dihadapi oleh
Muhammad ketika ia menerima Al-Qurãn. Di mana-mana masnusia terjebak dalam sistem kehidupan sosial-piramid, dengan berbagai versinya.
Itulah yang menjadi alasan turunnya (asbabun-nuzul) Al-Qurãn, yakni seperti yang ditegaskan dalam Surat
Ali-‘Imran ayat 103 tersebut, yaitu untuk menyelamatkan manusia dari jurang neraka hidup (di dunia ini).
Pada masanya nabi Muhammad, seperti juga nabi-nabi
yang lain, mampu memimpin bangsanya untuk melaksanakan konsep Al-Qurãn. Tapi tak lama
setelah ia wafat, bangsanya kembali ke dalam tradisi lama mereka, sehingga situasi dunia pun kembali
seperti saata sebelum Al-Qurãn turun.
Apakah hal itu terjadi karena Al-Qurãn lenyap, naik kembali ke langit? Apakah Allah harus
menurunkannya lagi seperti dulu?
Al-Qurãn
maupun hadits
menegaskan bahwa Muhammad adalah rasul Allah terakhir. Namun ini bukan berarti
bahwa missi kerasulan sudah berakhir seiring dengan kematian Muhammad; karena missi
tersebut hingga kini masih aman dalam kemasan Mushaf Al-Qurãn.
Mushaf Al-Qurãn masih ada di bumi. Konsepnyalah yang telah terbang kembali ke
langit, atau terkubur dalam kelalaian manusia yang kembali asyik dalam ayunan
sarang laba-laba. Dalam keadaan seperti ini, hanya mereka yang benar-benar hanif-lah yang akan merasa terpanggil
untuk “menurunkan” Al-Qurãn kembali ke bumi.
Menurunkan Al-Qurãn kembali artinya adalah
tindakan nyata dalam mengkaji ulang mushaf Al-Qurãn untuk menemukan maknanya yang murni. Untuk itu banyak sekali
persiapan yang harus dilakukan si “Hanif” ini. Salah satu di antaranya, ia harus
mengkaji aspek kebahasaan Al-Qurãn. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar