Pergeseran iman
Sejarah membuktikan bahwa tak lama setelah Nabi wafat,
selagi jasadnya belum dikubur, kaum
Muhajirin dan Anshar nyaris saling
baku-hantam memperebutkan kekuasaan. Muhajirin
merasa layak berkuasa karena mereka
pemeluk Islam pertama dan tentu
mempunyai 'hubungan darah'
dengan Muhammad, karena mereka
adalah orang-orang Quraisy. Sebaliknya kaum Anshar pun merasa
patut memegang tampuk kekuasaan, karena merekalah yang
menjadi 'penyelamat' bagi
Rasulullah serta para pengikut
awal itu (Muhajirin). Seandainya tak ada
Umar dan Abu Bakar yang dihormati kedua belah pihak, pertumpahan darah di
kalangan ummat Islam pasti terjadi
mendahului penguburan jenazah Nabi!
Ketika
Abu Bakar tampil sebagai pemimpin,
timbul berbagai
pem-berontakan, yang antara lain
dipimpin Musallamah Al-Kadzab, Aswad Al-Annas, dll.
Selanjutnya, terjadilah pembunuhan atas Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.
Perang
Shiffin yang terjadi pada tahun
655 Masehi adalah
puncak dari segala pemberontakan yang ditujukan kepada para pendukung ajaran Rasulullah. Pihak
pemberontak dipimpin Muawiyah bin Abu
Sufyan, pihak yang bertahan dipimpin Ali bin Abu Thalib. ... Kemenangan dalam
perang telah tampak berada di pihak Ali. Untuk menghindari kekalahan,
Mu'awiyah, atas prakarsa Amr bin Ash,
memerintahkan supaya mushaf-mushaf Al-Qurãn
diangkat di ujung tombak-tombak, dengan seruan agar kedua
belah pihak berhukum kepada Al-Qurãn. Ali
mengetahui bahwa apa yang dilakukan Mu'awiyah
itu hanya taktik dan tipu
muslihat, untuk menghindari kekalahan. Oleh karena itu, ia menolak gencatan senjata, dan menyerukan pengikutnya
agar meneruskan peperangan. Namun mayoritas pengikutnya menolak diteruskannya
peperangan, dan menyeru gencatan senjata, untuk memberi peluang diadakannya
arbitrasi. ...[1]
Arbitrasi alias
tahkim itu berlangsung di Daumatu-Jandal, dengan kesepakatan awal bahwa
kedua khalifah yang bertikai, Muariyah
dan Ali, akan diturunkan dari kekuasaan, untuk
selanjutnya dipilih seorang khalifah baru yang disetujui semua golongan.
Tapi ternyata kesempatan ini dimanfaatkan
Muawiyah dan antek-anteknya untuk
melumpuhkan Ali secara licik. Abu Musa Al-Asy'ari yang mewakili pihak Ali dipersilakan untuk tampil
di mimbar, mengumumkan bahwa Ali pada saat itu dicopot dari jabatannya. Setelah
itu diharapkan wakil pihak Muawiyah, Amru bin Ash,
tampil pula untuk meme-cat Muawiyah. Tapi apa yang terjadi? Setelah Abu
Musa turun dari mimbar, Amru bin Ash naik mimbar justru untuk
mengatakan, "Karena Ali sudah dipecat, maka sekarang satu-satunya
khalifah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan."
Mengapa
hal itu bisa terjadi? Jawabannya adalah seperti diungkapkan surat Al-Furqan
ayat 30 di atas. Umat Islam sudah
meninggalkan Al-Qurãn. Mereka tidak lagi menjadikan Allah
sebagai pemimpin tapi sudah beralih pada figur-figur yang
berpengaruh dalam masyarakat, antara lain Muawiyah dan Ali. Muawiyah mempelopori tegaknya kembali sistem
kerajaan di jazirah Arab (sejak tahun 622 M). Boleh dikatakan dialah
pula yang mempelopori tumbuhnya
imperialisme versi Arab, dengan prinsip tu'minuna bi ba'dhin tak takfuruna bi ba'dhin; yaitu "sebagian ajaran Allah (Al-Qurãn)
diputar-balik dan sebagian dimusnahkan".
Pada masa Muawiyah itulah pengertian iman dinyatakan
sebagai aqdun bil-qalbi faqath (percaya dalam hati saja); yang jelas merupakan
pengebirian atas definisi Nabi bahwa iman mencakup aspek kalbu, lisan, dan perbuatan.
Mu’awiyyah
didukung oleh mazhab Murji’ah, yang semula bersikap netral terhadap perselisihan antara Muawiyah
dan Ali,
tapi selanjutnya menjadi pendukung diam-diam, dan akhirnya
menjadi pembelanya, karena bagi
mereka Mu’awiyah adalah ulul-amri yang patut ditaati seperti Allah dan Rasul!
Dukungan Murji’ah itu
semula merupakan reaksi mereka atas
sikap kaum Khawarij (pasukan Ali yang keluar setelah peristiwa tahkim tersebut), yang terus
menghujat Muawiyah yang mementaskan gaya
hidup mewah di istananya di Damaskus, sementara
rakyatnya hidup dalam keadaan hina-papa. Bila Khawarij yang keras
langsung memvonis Mu’awiyyah sebagai kafir, Murji’ah memilih bersikap ‘menunda’
dalam arti menyerahkan penghakiman terhadap Allah. Sikap inilah yang akhirnya
membuat Murjiah menjadi pendukung Mu’awiyyah.
Kemudian, dengan dalih
mengislamkan bangsa-bangsa lain, Mua-
wiyah memelopori ‘penjajahan’ versi Arab. Imperium
Arab mulai bergerak ke timur,
menaklukkan India, merambah Tiongkok, dan
akhirnya Indonesia. Di sebelah barat mereka menaklukkan bangsa-bangsa di Afrika Utara, sampai Eropa Selatan. Di
sebelah utara, mereka taklukkan bangsa-bangsa di Rusia
Selatan.
Islam
Indonesia
Semula para ahli menyebutkan bahwa Islam masuk
ke Indonesia pada
abad ke-13 M. Belakangan mereka menyatakan hal itu terjadi
pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi. Ada pula yang memastikan bahwa Islam mulai merambah Indonesia pada
tahun 717 M. Jangan dilupakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia
itu, bila terjadi pada tahun 717
M (abad ke-8), ada kemungkinan yang
masuk adalah Islam yang sudah diputar-balik oleh Muawiyah dan antek-anteknya.
Satu hal
yang jelas, Islam Indonesia bisa ditandai dengan sumber-sumber keadatangannya,
yaitu dari (1). Arab, (2). India, (3). Persia (Iran), dan kemungkinan besar
juga dari (4). Cina.
Lebih
lanjut, mari kita perhatikan ciri-ciri yang mereka bawa:
1.
Dari Arab: menonjolkan peran para habib yang diklaim
sebagai keturunan Nabi, pemakaian gelar sayyid (tuan) dan sayyidah. Nabi
Muhammad disebut sayyidî (tuanku), Khadijah disebut sayyidatî (yang
kemudian berubah menjadi siti).
2.
Persia: pemujaan terhadap Hasan dan Husein (dua putera
Ali), yang menjadi ciri Syi’ah. Pemahaman tentang shiratul-mustaqim yang
miripdengan konsep agama Zoroaster tentang Chinvanto Peretav, dll.
3.
India: berbaurnya ajaran Islam dengan
Hinduisme/Buddhisme, dll.
4.
Cina: pemujaan terhadap ruh nenek-moyang, yang bersumber
dari ajaran Konghucu, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar