Ukuran bebas masalah
Ukuran apakah yang dapat digunakan untuk membuktikan
bahwa para
calon pelaku rattil telah bebas dari
maslah-masalah tersebut? Ukuran pertama, tentu saja berupa bebasnya mereka dari segala
pengaruh budaya, isme, atau idealisme apapun, sehingga ketika berhadapan dengan
Al-Qurãn
tidak membawa bekal pra-konsepsi
(pemikiran awal) apa pun, kecuali keinginan untuk
mengetahui isi Al-Qurãn secara apa adanya (obyektif).
Ukuran berikutnya adalah penguasaan ‘ilmu alat’ yang bersiat filosofis (ilmiah), yaitu metodologi, sistematika, analitika, dan obyektifita Al-Qurãn (yang nanti akan
dibahas).
Ukuran Sukses Rattil
Rattil (sstudi Al-Qurãn adalah sebuah upaya yang mutlak harus dilakukan demi memungsikan Al-Qurãn sebagai hudan lil-nas wa bayyinatin min al-huda
wal-furqan (petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya terdapat
penjelasan tentang sang petunjuk itu sendiri, yang dapat memilah antara yang haq dan bathil).
Para pelaku rattil adalah orang-orang yang membutuhkan
jawaban dari berbagai pertanyaan yang mengganggu, yang membuat gelisah, ragu,
dan penasaran. Kegiatan rattil
dilakukan demi mengubah ragu menjadi yakin, dan penasaran menjadi puas. Dengan
kata lain, bila mereka bisa menemukan jawaban yang jelas dan tegas dari setiap pertanyaan,
sehingga mereka yakin mana yang haq dan
mana yang bathil, itulah tanda bahwa mereka telah sukses dalam
rattil.
Jaminan setelah Rattil
Sukses rattil adalah sukses
intelektual-kognitif. Sukses rattil bukanlah jaminan bahwa pelakuknya akan menjadi mu’min. Jaminan yang
diberikan oleh hasil rattil hanyalah kepastian bahwa pelakunya akan mengetahui haq dan bathil secara obyektif, dan pengetahuan itu jadi meyakinkan karena ditemukan dengan
jerih-payah.
selanjutnya, bagi mereka terbuka dua kemungkinan, atau dihidangkan dua tawaran, yakni:
a.
Menjadi mu’min objektif, atau
b.
Menjadi kafir objektif
Kedua pilihan itu, baik menjadi mu’min objektif maupun kafir objektif, akan dipilihnya
berdasar keyakinan, yaitu berdasar pengetahuan yang pasti tentang nilai dan
harga setiap pilihan, bukan berdasar sikap asal-asalan (spekulasi) atau
ikut-ikutan (latah). (Periksa Surat
al-Kahfi ayat 27-43).
b. Shalat : Sarana
Pembinaan Iman
Secara
pragmatis, dalam kaitannya dengan pembinaan (pembangunan) iman, shalat (ritual) mempunyai fungsi
teknis, yakni
sebagai sarana atau alat untuk membangun iman. Hal ini diisyaratkan dalam satu hadits yang berbunyi: ash-shalatu mi’rajul-mu’minin (Shalat adalah sarana/tehnik
untuk mencapai derajat mu’min)
Bila
kita gunakan tinjauan psikologis pendidikan, rattil adalah suatu kegiatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan kognitif, yaitu kebutuhan untuk mengenali atau
memahami sesuatu secara intelektual. Sedangkan shalat adalah kegiatan dalam
rangka memenuhi kebutuahan afektif, yaitu dalam rangka membuat sesuatu yang
sudah diketahui secara intelektual itu meresap ke dalam perasaan, sampai
akhirnya pengetahuan itu menyatu dengan diri sang pelaku rattil dan shalat.
Bagi yang memutuskan untuk menjadi mu’min obyektif, rattil dan shalat adalah dua hal yang
tak terpisahkan. Rattil adalah ibarat
mengumpulkan (uang) recehan demi
recehan, dan shalat adalah usaha untuk memasukkan recehan demi recehan ke dalam
tabungan kesadaran. Dengan demikian, rattil
tanpa shalat berarti membiarkan uang bercereran, dan shalat tanpa rattil berarti mengisi tabungan dengan
angin. Keduanya sama-sama menghasilkan kerugian.
Banyaknya macam shalat adalah penegasan bahwa
pembangunan kesadaran Al-Qurãn bukan sesuatu yang mudah. Salah satu hal yang sangat perlu
diperhatikan dalam shalat adalah rutinitasnya. Rutinitas adalah sesuatu yang
tidak disukai para ‘petualang’ yang memang cenderung berjalan sesuka hati.
Padahal kenyataannya hidup ini hanya dapat berjalan dengan baik bila rutinitasnya
terjaga. Bayangkanlah apa yang akan terjadi bila benda-benda angkasa (matahari,
bumi, bulan, dll.) mogok melakukan rutinitas! Alam semesta akan berantakan.
Bahkan manusia yang tidak menjaga rutinitas makan, terbukti bisa kena sakit mag.
Dan ternyata sakit mag pun terjadi karena tubuh kita setia melakukan rutinitas, antara
lain memproduksi zat asam lambung. Jelasnya, rutinitas tubuh memproduksi zat asam lambung
tidak disambut dengan rutinitas sang pemegang amanat tubuh memasukkan makanan.
Terjadilah kerusakan pada dinding lambung.
Sedangkan tentang shalat, Nabi pun
mengatakan: ash-shalatu imaduddun; man
aqamaha faqad aqama-din wa man tarakaha faqad hadama-din (Shalat itu adalah
tiang agama, siapa pun yang menegakkannya maka berarti ia menegakkan agama (dalam
dirinya),. Dan siapa pun yang mengabaikannya, maka
berarti dia merusak agama)
c. Pendidikan Menuju Siap
Rattil
Pendidikan di sini adalah terjemahan dari da’wah. Tujuan dak’ah adalah melahirkan
kemandirian, dalam arti membebaskan setiap pribadi muslim dari ketergantungan
terhadap siapa pun kecuali Allah. Ini harus dibuktikan dengan kemampuan setiap
pribadi untuk menjadikan ajaran Allah (Al-Qurãn) sebagai rujukan atau kamus hidup.
Terbentuknya kemampuan ini erat kaitannya dengan terbentuknya lima kemampuan
yang harus dimiliki oleh orang yang normal, yaitu:
1.
Kemampuan
Berpikir
2.
Kemampuan
Mendengar
3.
Kemampuan
Berbicara
4.
Kemampuan
Membaca
5.
Kemampuan
Menulis
1.
Kemampuan Berpikir
Seperti kata para ahli, kemampuan berpikir adalah
satu-satunya ciri yang membedakan manusia dari hewan. Tanpa kemampuan berpikir,
manusia tidak berbeda dengan hewan. Dengan kemampuan berpikir, secara biologis
manusia tetap sama dengan hewan, tapi sebutannya sudah berubah menjadi hayawanu-natiq, alias hewan berpikir,
yang dalam bahasa Latin disebut homo
sapiens.
Tapi para ilmuwan juga membagi manusia menjadi dua,
yaitu (1) homo sapiens, dan (2) homo sapiens sapiens. Yang pertama,
hanya sedikit berbeda dari hewan, karena mempunyai pikiran. Dalam kenyataan
hidup ia masih belum banyak berubah dari cara hidup hewan, karena masih tinggal
di goa, berkumpul dengan kelompok kecil, selalu berperang dengan
kelompok-kelompok lain, tidak berpakaian, dan boleh dikatakan tidak mempunyai
peralatan. Sedangkan yang kedua, homo
sapiens sapiens, sudah berbeda
jauh dari hewan, karena bukan hanya punya pikiran tapi juga sudah menggunakan
pikirannya. Bukti bahwa dia sudah menggunakan pikirannya adalah: sudah mampu
bikin rumah, bergaul dengan kelompok-kelompok lain, menutup aurat dengan
pakaian dan menciptakan peralatan.
Demikian bila kita memandang manusia dari sudut
pandang ilmu tentang perkembangan manusia (antropologi). Tapi bagaimana bila
kita menggunakan sudut pandang Al-Qurãn?
Konsep Al-Qurãn tentang manusia ternyata mirip dengan konsep antropologi. Tentang
kemiripan itu, tinggal kita kaji saja, mana yang lebih dulu ada, Al-Qurãn atau antropologi?
Tapi di samping kemiripan, tentu ada perbedaan. Bila dalam teori antropologi
manusia disebut homo sapiens karena
mempunyai pikiran, meskipun masih primitif, dan disebut homo sapiens sapiens setelah menggunakan pikirannya untuk
menciptakan kebudayaan, dalam Al-Qurãn keduanya tetap disebut (bagai) hewan, bahkan lebih konyol dari
hewan, bila belum menggunakan pikirannya untuk menanggapi ajaran Allah secara
positif (al-A’raf ayat 179).
Jadi dalam konsep Al-Qurãn kemampuan berpikir saja belum cukup untuk
membuat manusia disebut manusia. Ia harus menggunakan pikirannya untuk memahami
ajaran Allah, dan kemudian memungsikan ajaran Allah itu sebagai pedoman hidupnya.
Sebab bila tidak demikian, dengan kemampuan akalnya menciptakan kebudayaan yang
paling canggih sekali pun, manusia tetap akan saling baku-hantam dengan
sesamanya. Tetap akan timbul masalah-masalah. Karena itulah Allah mengadakan
Rasul, yang menawarkan rumus pemecah masalah (basyiran) dan penolak bala (nadziran),
mengajak manusia mematuhi Allah, demi mencapai kehidupan cemerlang (Surat
al-Ahzab ayat
41-48).
Dengan demikian, kemampuan berpikir dalam konsep Al-Qurãn adalah kemampuan
memungsikan pikiran (otak) untuk menghayati ajaran Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar