Selasa, 01 November 2016

Analisis Îmãn (15)



Ukuran bebas masalah
Ukuran apakah yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa para calon pelaku rattil telah bebas dari maslah-masalah tersebut? Ukuran pertama, tentu saja berupa bebasnya mereka dari segala pengaruh budaya, isme, atau idealisme apapun, sehingga ketika berhadapan dengan Al-Qurãn tidak membawa bekal pra-konsepsi (pemikiran awal) apa pun, kecuali keinginan untuk mengetahui isi Al-Qurãn secara apa adanya (obyektif).
Ukuran berikutnya adalah penguasaan ‘ilmu alat’ yang bersiat filosofis (ilmiah), yaitu metodologi, sistematika, analitika, dan obyektifita Al-Qurãn (yang nanti akan dibahas).

Ukuran Sukses Rattil
Rattil (sstudi Al-Qurãn adalah sebuah upaya yang mutlak harus dilakukan demi memungsikan Al-Qurãn sebagai hudan lil-nas wa bayyinatin min al-huda wal-furqan (petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang sang petunjuk itu sendiri, yang dapat memilah antara yang haq dan bathil).
Para pelaku rattil adalah orang-orang yang membutuhkan jawaban dari berbagai pertanyaan yang mengganggu, yang membuat gelisah, ragu, dan penasaran. Kegiatan rattil dilakukan demi mengubah ragu menjadi yakin, dan penasaran menjadi puas. Dengan kata lain, bila mereka bisa menemukan jawaban yang jelas dan tegas dari setiap pertanyaan, sehingga mereka yakin mana yang haq dan mana yang bathil, itulah tanda bahwa mereka telah sukses dalam rattil.

Jaminan setelah Rattil
Sukses rattil adalah sukses intelektual-kognitif. Sukses rattil bukanlah jaminan bahwa pelakuknya akan menjadi mumin. Jaminan yang diberikan oleh hasil rattil hanyalah kepastian bahwa pelakunya akan mengetahui haq dan bathil secara obyektif, dan pengetahuan itu jadi meyakinkan karena ditemukan dengan jerih-payah. selanjutnya, bagi mereka terbuka dua kemungkinan, atau dihidangkan dua tawaran, yakni:

a.       Menjadi mumin objektif, atau
b.      Menjadi kafir objektif

Kedua pilihan itu, baik menjadi mumin objektif maupun kafir objektif, akan dipilihnya berdasar keyakinan, yaitu berdasar pengetahuan yang pasti tentang nilai dan harga setiap pilihan, bukan berdasar sikap asal-asalan (spekulasi) atau ikut-ikutan (latah). (Periksa  Surat al-Kahfi  ayat 27-43).

b. Shalat : Sarana Pembinaan Iman
         Secara pragmatis, dalam kaitannya dengan pembinaan (pembangunan) iman, shalat (ritual) mempunyai fungsi teknis, yakni sebagai sarana atau alat untuk membangun iman. Hal ini diisyaratkan dalam satu hadits yang berbunyi: ash-shalatu mi’rajul-mu’minin (Shalat adalah sarana/tehnik untuk mencapai derajat mumin)
         Bila kita gunakan tinjauan psikologis pendidikan, rattil adalah suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan kognitif, yaitu kebutuhan untuk mengenali atau memahami sesuatu secara intelektual. Sedangkan shalat adalah kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuahan afektif, yaitu dalam rangka membuat sesuatu yang sudah diketahui secara intelektual itu meresap ke dalam perasaan, sampai akhirnya pengetahuan itu menyatu dengan diri sang pelaku rattil dan shalat.
Bagi yang memutuskan untuk menjadi mumin obyektif, rattil dan shalat adalah dua hal yang tak terpisahkan. Rattil adalah ibarat mengumpulkan (uang) recehan  demi recehan, dan shalat adalah usaha untuk memasukkan recehan demi recehan ke dalam tabungan kesadaran. Dengan demikian, rattil tanpa shalat berarti membiarkan uang bercereran, dan shalat tanpa rattil berarti mengisi tabungan dengan angin. Keduanya sama-sama menghasilkan kerugian.
Banyaknya macam shalat adalah penegasan bahwa pembangunan kesadaran Al-Qurãn bukan sesuatu yang mudah. Salah satu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam shalat adalah rutinitasnya. Rutinitas adalah sesuatu yang tidak disukai para ‘petualang’ yang memang cenderung berjalan sesuka hati. Padahal kenyataannya hidup ini hanya dapat berjalan dengan baik bila rutinitasnya terjaga. Bayangkanlah apa yang akan terjadi bila benda-benda angkasa (matahari, bumi, bulan, dll.) mogok melakukan rutinitas! Alam semesta akan berantakan. Bahkan manusia yang tidak menjaga rutinitas makan, terbukti bisa kena sakit mag. Dan ternyata sakit mag pun terjadi karena tubuh kita setia melakukan rutinitas, antara lain memproduksi zat asam lambung. Jelasnya, rutinitas tubuh memproduksi zat asam lambung tidak disambut dengan rutinitas sang pemegang amanat tubuh memasukkan makanan. Terjadilah kerusakan pada dinding lambung.
Sedangkan tentang shalat, Nabi pun mengatakan: ash-shalatu imaduddun; man aqamaha faqad aqama-din wa man tarakaha faqad hadama-din (Shalat itu adalah tiang agama, siapa pun yang menegakkannya maka berarti ia menegakkan agama (dalam dirinya),. Dan siapa pun yang mengabaikannya, maka berarti dia merusak agama)

c. Pendidikan Menuju Siap Rattil
Pendidikan di sini adalah terjemahan dari dawah. Tujuan dakah adalah melahirkan kemandirian, dalam arti membebaskan setiap pribadi muslim dari ketergantungan terhadap siapa pun kecuali Allah. Ini harus dibuktikan dengan kemampuan setiap pribadi untuk menjadikan ajaran Allah (Al-Qurãn) sebagai rujukan atau kamus hidup. Terbentuknya kemampuan ini erat kaitannya dengan terbentuknya lima kemampuan yang harus dimiliki oleh orang yang normal, yaitu:
1.      Kemampuan Berpikir
2.      Kemampuan Mendengar
3.      Kemampuan Berbicara
4.      Kemampuan Membaca
5.      Kemampuan Menulis

1.      Kemampuan Berpikir
Seperti kata para ahli, kemampuan berpikir adalah satu-satunya ciri yang membedakan manusia dari hewan. Tanpa kemampuan berpikir, manusia tidak berbeda dengan hewan. Dengan kemampuan berpikir, secara biologis manusia tetap sama dengan hewan, tapi sebutannya sudah berubah menjadi hayawanu-natiq, alias hewan berpikir, yang dalam bahasa Latin disebut homo sapiens.
Tapi para ilmuwan juga membagi manusia menjadi dua, yaitu (1) homo sapiens, dan (2) homo sapiens sapiens. Yang pertama, hanya sedikit berbeda dari hewan, karena mempunyai pikiran. Dalam kenyataan hidup ia masih belum banyak berubah dari cara hidup hewan, karena masih tinggal di goa, berkumpul dengan kelompok kecil, selalu berperang dengan kelompok-kelompok lain, tidak berpakaian, dan boleh dikatakan tidak mempunyai peralatan. Sedangkan yang kedua, homo sapiens sapiens, sudah berbeda jauh dari hewan, karena bukan hanya punya pikiran tapi juga sudah menggunakan pikirannya. Bukti bahwa dia sudah menggunakan pikirannya adalah: sudah mampu bikin rumah, bergaul dengan kelompok-kelompok lain, menutup aurat dengan pakaian dan menciptakan peralatan.
Demikian bila kita memandang manusia dari sudut pandang ilmu tentang perkembangan manusia (antropologi). Tapi bagaimana bila kita menggunakan sudut pandang Al-Qurãn?
Konsep Al-Qurãn tentang manusia ternyata mirip dengan konsep antropologi. Tentang kemiripan itu, tinggal kita kaji saja, mana yang lebih dulu ada, Al-Qurãn atau antropologi? Tapi di samping kemiripan, tentu ada perbedaan. Bila dalam teori antropologi manusia disebut homo sapiens karena mempunyai pikiran, meskipun masih primitif, dan disebut homo sapiens sapiens setelah menggunakan pikirannya untuk menciptakan kebudayaan, dalam Al-Qurãn keduanya tetap disebut (bagai) hewan, bahkan lebih konyol dari hewan, bila belum menggunakan pikirannya untuk menanggapi ajaran Allah secara positif (al-A’raf ayat 179).
Jadi dalam konsep Al-Qurãn kemampuan berpikir saja belum cukup untuk membuat manusia disebut manusia. Ia harus menggunakan pikirannya untuk memahami ajaran Allah, dan kemudian memungsikan ajaran Allah itu sebagai pedoman hidupnya. Sebab bila tidak demikian, dengan kemampuan akalnya menciptakan kebudayaan yang paling canggih sekali pun, manusia tetap akan saling baku-hantam dengan sesamanya. Tetap akan timbul masalah-masalah. Karena itulah Allah mengadakan Rasul, yang menawarkan rumus pemecah masalah (basyiran) dan penolak bala (nadziran), mengajak manusia mematuhi Allah, demi mencapai kehidupan cemerlang (Surat al-Ahzab ayat 41-48).
Dengan demikian, kemampuan berpikir dalam konsep Al-Qurãn adalah kemampuan memungsikan pikiran (otak) untuk menghayati ajaran Allah.



Tidak ada komentar: