Kamis, 03 November 2016

Analisis Îmãn (17)



4. Kemampuan Membaca
Sama dengan mendengar, membaca pun merupakan sarana input. Namun membaca memerlukan konsentrasi lebih banyak daripada mendengar, terutama karena ketika membaca telinga tetap bisa mendengar, dan mata bisa tergoda melihat pemandangan yang lain. Karena itu, untuk dapat membaca dengan baik, ada kalanya dibutuhkan situasi dan kondisi yang khusus. Surat Al-Muzzammil, misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa waktu yang sangat cocok untuk membaca (Al-Qurãn) adalah malam hari. Karena waktu malam itu asyaddu wath’an wa aqwamu qîlan (lebih potensial menancapkan dan mengokohkan kata-kata – ilmu).
Membaca sebagai prosedur input tentu bukan hanya membunyikan huruf-huruf tapi melakukan transfer (pemindahan) ilmu dari tulisan ke dalam otak.
Di satu segi, membaca berarti berusaha memahami isi suatu tulisan. Di segi yang lain, membaca juga merupakan usaha untuk membentuk pandangan hidup. Kegiatan membaca yang dilakukan untuk membentuk pandangan hidup otomatis akan membuat seseorang bersikap selektif (teliti) dalam menentukan bacaan. Bila ia ingin membentuk pandangan hidup dengan Al-Qurãn, maka Al-Qurãn akan menjadi bacaan utamanya. Bacaan-bacaan yang lain hanya akan dibacanya bila akan membantunya dalam meresapkan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, kemampuan membaca pada hakikatnya adalah kemampuan menyerap informasi dari bahan bacaan. Kemampuan ini tumbuh dengan bantuan kemampuan berpikir, mendengar, dan melihat. Dengan kata lain, kemampuan membaca adalah hasil dari suatu proses pendidikan dan latihan, bukan sesuatu yang timbul secara mendadak. Bahkan kemampuan dan kemauan umat Islam untuk membaca adalah salah satu hasil dari pergaulannya dengan Al-Qurãn. Bila umat Islam sekarang kebanyakan malas membaca, mungkin karena mereka tidak akrab dengan Al-Qurãn. Jelasnya, kegiatan membaca Al-Qurãn yang mereka lakukan baru sampai pada taraf membaca secara ritual, bukan membaca untuk menyerap informasi. Karena dengan membaca Al-Qurãn mereka tidak mendapat informasi, maka selanjutnya, sadar atau tidak, mereka menganggap bahwa membaca adalah pekerjaan yang tidak bermanfaat.

Kemampuan Menulis
Menulis sama dengan berbicara, yaitu sebagai sarana untuk melahirkan output atau berproduksi. Namun menulis lebih membutuhkan pengerahan daya otak daripada berbicara. Menulis bahkan boleh dikatakan sebagai sarana ujian tertinggi untuk menilai kemampuan berpikir seseorang. Mungkin karena itulah kebanyakan orang beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan istimewa, sehingga tidak bisa dilakukan sembarang orang. Ini adalah  pandangan keliru. Karena, seperti halnya berpikir, mendengar, bicara, dan membaca, menulis juga akan terasa gampang bila dibiasakan dengan sering melakukan latihan.
Latihan menulis pun tidak perlu dengan membuat tulisan-tulisan semacam artikel koran atau makalah ilmiah, tapi cukup diamulai dengan membuat catatan-catatan kecil, yang berisi kutipan-kutipan, rumus-rumus, ringkasan pelajaran, dan sebagainya. Namun dengan penekanan bahwa catatan-catatan itu harus ditulis dengan bahasa yang jelas, teratur, dan tidak bertele-tele. Di Indonesia rangsangan untuk menulis sangat kurang, sehingga para sarjana pun kebanyakan tidak mempunyai kemampuan menulis yang memadai. Sedangkan di negara-negara maju kegiatan menulis, terutama di sekolah-sekolah, sangat didorong, sehingga para pelajarnya pun rata-rata mampu melahirkan gagasan dalam tulisan yang cukup baik.
Kebiasaan menulis sangat diperlukan untuk mengasah otak, melatih bersikap teliti, dan mengungkap gagasan dengan rujukan yang jelas.
Kemampuan menulis sangat menunjang proses dawah, karena dengan tulisan ilmu dilestarikan, dan disebarkan ke berbagai tempat. Berbagai kitab tafsir yang umumnya tebal, buku-buku  sejarah, pelajaran bahasa, dan lain-lain, juga lahir karena para orang alim tempo dulu itu ternyata piawai dalam menulis.
Yang terpenting, kemampuan berpikir, mendengar, bicara, membaca, dan menulis, bagi si Mumin semua harus berporos pada Al-Qurãn sehingga semua kemampuan itu baginya hanyalah sekadar untuk membuktikan bahwa ia hamba Allah yang butuh, yang patut diandalkan, yang dengan semua kemampuannya itu ia tidak mungkin membuat ajaran Allah jadi kabur atau menyimpang.


E. Tata-Tertib Rattil
Rattil (studi Al-Qurãn) sebagai upaya yang dilakukan dalam rangka pembangunan iman, adalah sebuah tawaran dari Allah yang di dalamnya terdapat nilai (kemampuan) dan harga[1] (pengorbanan, resiko) untuk mendapatkannya.
Nilai di sini berarti: rattil adalah sesuatu yang menjanjikan sebuah hasil, yaitu pengetahuan obyektif tentang Al-Qurãn.
Sedangkan harga berarti: untuk mengenal Al-Qurãn  secara obyektif kita harus rela mengorbankan segala yang perlu, dan harus sanggup menghadapai risiko apa pun yang menagancam.
      Untuk jelasnya, marilah kita kaji Surat Al-Muzzammil dengan bantuan terjemahan berikut ini. Tentu saja bukan terjemahan sempurna. Di dalamnya pasti ada kekeliruan dan kesalahan. Namun anda tak akan pernah tahu pasti bila tidak melakukan rattil.

Terjemahan Surat al-Muzzammil:

1.      Hai Muzzammil!
2.      Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit (boleh tidur).
3.      (Bangunlah!) setengah malam atau kurangi dari setengahnya;
4.      atau lebihkan dari setengahnya. Lalu kajilah Al-Qurãn setertib-tertibnya!
5.      pasti (bila pengkajian demikian dilakukan) Kami akan resapkan suatu konsep/pedoman hidup yang mahaberbobot.
6.      Sungguh suasana malam benar-benar sangat cocok untuk menancapkan, dalam arti lebih memantapkan tertanamnya perkataan (ajaran).
7.      Sedangkan pada siang hari kamu dibebani kewajiban untuk melakukan banyak kesibukan.
8.      maka (pada malam hari) tancapkan ilmu Rabb-mu ke dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanyan sekuat-kuatnya.
9.      (Dialah, Allah) Penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya Dia yang layak dijadikan Ilah (penggerak kehidupan). Maka jadikanlah Dia (ajarannya) sebagai satu satu-satunya andalan.
10.  Selanjutnya, teguh bertahanlah menghadapi ocehan[2] mereka (para penentang Al-Qurãn), serta ‘singkirkan’ mereka dengan cara sebaik-baiknya.
11.  Selebihnya (yang di luar kemampuan kalian), yaitu para Mukadzdzibin (perusak peradaban; perusak ajaran Allah) yang menguasai sumber-sumber kekayaan (perekonomian), serahkan saja kepadaKu. Biarkan mereka merasakan kesenangan semu sesaat.
12.  Sebenarnya Kami pastikan bagi mereka belenggu dan penjara kehidupan  – karena pilihan demikian;
13.  serta hidangan (buah usaha) yang menyesakkan, yang menyebabkan penderitaan luar biasa.

***
14.   Suatu masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga gunung-gunung pun rontok (longsor) seperti seonggok pasir.[3]
15.  Jelas sekali bahwa kami mengutus kepada kalian seorang Rasul (Muhammad) sebagai figur nyata bagi kalian; sebagaimana dulu pernah Kami utus seorang Rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan rakyat Mesir).
16.  Maka Fir’aun pun menentang sang Rasul, sehingga Kami timpakan kepadanya siksa mahakeras.

***
( 14. Suatu masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga gunung-gunung pun seperti longsor seperti seonggok pasir).[4]
17.   Bagaimanakah cara kalian menyelamatkan diri, bila kalian mengabaikan (tidak mau tahu; kufur) – informasi tentang – suatu masa (pergiliran sejarah), yang akan mengubah ‘bayi’ (segala yang dilahirkan) menjadi ‘orang tua beruban’  (menghadapi ambang kematian)?[5]
18.  (Perubahan itu menyebabkan) as-sama’[6] (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan rumusan-Nya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
19.  Sungguh ini adalah peringatan; sehingga siapa pun yang suka (maka ia akan menempuh jalan (perjuangan) yang mengarahkan pada kepatuhan terhadap Tuhannya.
20.  Maka Rabbmu mengajarkan agar kamu (Muhammad dan pengikutnya) memilih waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga, setengah, dan sepertiga malam; yakni (agar) segolongan orang yang (mau melakukan hal yang sama) mengikuti dirimu (dipersilakan memilih waktu yang cocok). Allah selalu memelihara kepastian pergiliran malam dan siang. Dia (Allah) tahu bahwa (pengaturan waktu belajar malam itu) tak akan pernah terlintas perhitungan (pikiran) kalian, sehingga Ia memberikan rujukan (keterangan) kepada kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara pembagian waktu itu), kajilah Al-Qurãn mulai dari yang Dia mudahkan (berdasar kemampuan kalian). Ia (Allah) mengetahui bahwa di antara kalian akan ada yang sakit (namun ia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya) sementara yang lainnya sibuk bertebaran di seantero bumi mencari rezeki yang diridhai Allah (namun dia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi menegakkan ajaran Allah (tapi ia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya). (Justru karena itulah) maka kajilah dengan memilih yang Dia mudahkan darinya (Al-Qurãn), lalu lakukan shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan dan penghayatan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan zakat (sebagai gerakan permbersihan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau dengan kata lain) angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu dengan cara mengangsur (mencicil; melakukan tahap demi tahap) yang sebaik-baiknya. Karena kebaikan apa pun yang kalian segerakan (demi mematuhi Allah), akan kalian dapati sebagai kebaikan yang bernilai di mata Allah, dalam arti mendatangkan keuntungan lebih besar. Maka bangunlah kerinduan untuk melakukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah. Karena Allah (dengan ajaran-Nya) adalah pelaku perbaikan serta pewujud kehidupan kasih-sayang sejitu-jitunya.

Penjelasan
            Istilah al-Muzzaammil biasa diterjemahkan secara harfiah sebagai “orang berselimut”, dan yang disebut sebagai “orang berselimut” itu adalah nabi Muhammad. Dengan demikian timbul pemahaman bahwa Surat ini (seperti juga surat Al-Mudatstsir) diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad.
Salah satu dalil yang digunakan adalah hadits bernomor 133 adalah Shahih Muslim yang mengungkapkan kisah demikian:

      Dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari ra. (seorang sahabat Rasulullah saw.), katanya Rasulullah pernah menceritakan tentang putusnya wahyu. Sabda beliau, “Pada suatu ketika, sedang aku berjalan tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Karena itu kuangkat pandanganku (ke arah suara tersebut), maka tampak olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira, sedang duduk di kursi antara langit dan bumi.” Sabda Rasulullah saw. selanjutnya, “Dengan perasaan terkejut bercampur takut, aku segera pulang. Sesampai di rumah, aku berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah pun segera menyelimutiku. Sedang aku berselimut itu, Allah Tabaraka wa ta’ala menurunkan ayat, “Hai, orang yang berselimut! Bangunlah, dan berikan  peringatan! Dan Tuhan engkau Agungkanlah! Dan pakaian engkau bersihkanlah (sucikanlah)! Dan perbuatan dosa jauhi lah! (Al-Mudatstsir 1-5) Sesudah itu wahyu turun berturut-turut.[7]

      Tentang nilai hadits ini, shahih atau tidak, biarlah kita serahkan kepada ahlinya. Namun bila Surat Muzzammil dan Mudatstsir dikatakan sebagai Surat-surat yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad tentu patut dipertanyakan, kenapa sekarang kita harus mengkajinya? Hanya untuk mengenang cerita sejarah, atau memang surat-surat tersebut juga dihidangkan kepada kita semua?




[1] I(ngat kembali pembahasan tentang Nilai dan Harga Iman.
[2] Propaganda, provokasi, fitnah, ejekan, dsb.
[3] Istilah bumi dan gunung-gunung bisa jadi merupakan ungkapan untuk menyebut masyarakat dan tokoh-tokohnya yang mendukung ajaran batil.
[4] Sengaja diulang untuk mengingatkan bahwa alinea (ayat) 17 harus dikaitkan dengan alinea ke 14 ini
[5] Ayat ini mengingatkan tentang waktu yang terus berjalan, ‘menghanyutkan’ kejadian demi kejadian, yang pada gilirannya memunculkan peristiwa besar. Sehingga terjadilah perubahan yang mengagetkan. Kata wildan jamak dari walid secara harfiah berarti al-maulud (yang dilahirkan) atau ash-shobiyy (anak kecil) atau al-‘abdu (budak, hamba). Dalam ayat ini diungkapkan bahwa pada suatu masa al-wildan (para bayi) berubah menjadi syiban (kakek/nenek); sebagai ungkapan bahwa yang lahir, berkembang, jadi dewasa, akhirnya harus menemui saat akhir, yaitu kematian.
[6] As-sama’ secara harfiah berarti langit, surga dan segala penghuninya; sesuatu yang di atas; sesuatu yang menjulang tinggi. Makna-makna tersebut tidak bisa masuk ke dalam ayat ini, karena ada qarinah-qarinah yang mengisyaratkan makna lain, yaitu kalimat kana wa’duhu maf’ulan. Secara harfiah kalimat ini berarti: “dahulu ‘janji’-nya telah dilaksanakan. Hubungkan dengan kedua ayat sebelumnya (15-16), yang menyebutkan pengutusan Rasul kepada kita dan Fir’aun. Fir’aun menentang rasul, lalu mendapat bencana. Kerajaannya hancur, dan dia sendiri binasa. Jadi kata as-sama’ dalam ayat ini jelas berkaitan dengan sejarah Fir’aun; sehingga maknanya yang baligh (kena, jitu) adalah: tatanan kehidupan, atau struktur masyarakat. Jelasnya, fir’aun dengan segala kekuasaannya menjadikan kerajaannya demikian ‘tinggi menjulang’ dan dia sendiri menjadi sangat berkuasa, sampai memandang dirinya sebagai Tuhan. Tentu saja dalam suatu tatanan atau struktur tertentu, yang – nota benne – menyengsarakan rakyat. Tapi kata Allah, tatanan demikian itu akan mencapai usia tuanya, alias akan tiba pada masa kebangkrutannya. Ini sudah merupakan wa’dullah (konsep/rumusan Allah). Tidak ada sesuatu yang tidak akan termakan oleh waktu! 
[7] Terjemah Hadits Shahih Muslim, Ma’mur Daud, cet. II, Widjaya, Jakarta, 1986.

Tidak ada komentar: