4. Kemampuan Membaca
Sama dengan mendengar, membaca pun merupakan sarana
input. Namun membaca memerlukan konsentrasi lebih banyak daripada mendengar, terutama
karena ketika membaca telinga tetap bisa mendengar, dan mata bisa tergoda
melihat pemandangan yang lain. Karena itu, untuk dapat membaca dengan baik, ada
kalanya dibutuhkan situasi dan kondisi yang khusus. Surat Al-Muzzammil, misalnya, secara
tegas menyebutkan bahwa waktu yang sangat cocok untuk membaca (Al-Qurãn) adalah malam
hari. Karena waktu malam itu asyaddu
wath’an wa aqwamu qîlan (lebih potensial menancapkan dan mengokohkan
kata-kata – ilmu).
Membaca sebagai prosedur input tentu bukan hanya
membunyikan huruf-huruf tapi melakukan transfer
(pemindahan) ilmu dari tulisan ke dalam otak.
Di satu segi, membaca berarti berusaha memahami isi
suatu tulisan. Di segi yang lain, membaca juga merupakan usaha untuk membentuk
pandangan hidup. Kegiatan membaca yang dilakukan untuk membentuk pandangan
hidup otomatis akan membuat seseorang bersikap selektif (teliti) dalam
menentukan bacaan. Bila ia ingin membentuk pandangan hidup dengan Al-Qurãn, maka Al-Qurãn akan menjadi
bacaan utamanya. Bacaan-bacaan yang lain hanya akan dibacanya bila akan
membantunya dalam meresapkan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, kemampuan membaca pada hakikatnya
adalah kemampuan menyerap informasi dari bahan bacaan. Kemampuan ini tumbuh
dengan bantuan kemampuan berpikir, mendengar, dan melihat. Dengan kata lain,
kemampuan membaca adalah hasil dari suatu proses pendidikan dan latihan, bukan
sesuatu yang timbul secara mendadak. Bahkan kemampuan dan kemauan umat Islam
untuk membaca adalah salah satu hasil dari pergaulannya dengan Al-Qurãn. Bila umat Islam
sekarang kebanyakan malas membaca, mungkin karena mereka tidak akrab dengan Al-Qurãn. Jelasnya, kegiatan membaca
Al-Qurãn yang
mereka lakukan baru sampai pada taraf membaca secara ritual, bukan membaca untuk menyerap
informasi. Karena dengan membaca Al-Qurãn mereka tidak mendapat informasi, maka selanjutnya, sadar atau
tidak, mereka menganggap bahwa membaca adalah pekerjaan yang tidak bermanfaat.
Kemampuan
Menulis
Menulis sama dengan berbicara, yaitu sebagai sarana
untuk melahirkan output atau
berproduksi. Namun menulis lebih membutuhkan pengerahan daya otak daripada
berbicara. Menulis bahkan boleh dikatakan sebagai sarana ujian tertinggi untuk
menilai kemampuan berpikir seseorang. Mungkin karena itulah kebanyakan orang
beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan istimewa, sehingga tidak bisa
dilakukan sembarang orang. Ini adalah
pandangan keliru. Karena, seperti halnya berpikir, mendengar, bicara,
dan membaca, menulis juga akan terasa gampang bila dibiasakan dengan sering
melakukan latihan.
Latihan menulis pun tidak perlu dengan membuat
tulisan-tulisan semacam artikel koran atau makalah ilmiah, tapi cukup diamulai
dengan membuat catatan-catatan kecil, yang berisi kutipan-kutipan, rumus-rumus,
ringkasan pelajaran, dan sebagainya. Namun dengan penekanan bahwa catatan-catatan
itu harus ditulis dengan bahasa yang jelas, teratur, dan tidak bertele-tele. Di
Indonesia rangsangan untuk menulis sangat kurang, sehingga para sarjana pun
kebanyakan tidak mempunyai kemampuan menulis yang memadai. Sedangkan di
negara-negara maju kegiatan menulis, terutama di sekolah-sekolah, sangat
didorong, sehingga para pelajarnya pun rata-rata mampu melahirkan gagasan dalam
tulisan yang cukup baik.
Kebiasaan menulis sangat diperlukan untuk mengasah
otak, melatih bersikap teliti, dan mengungkap gagasan dengan rujukan yang
jelas.
Kemampuan menulis sangat menunjang proses da’wah, karena dengan
tulisan ilmu dilestarikan, dan disebarkan ke berbagai tempat. Berbagai kitab
tafsir yang umumnya tebal, buku-buku
sejarah, pelajaran bahasa, dan lain-lain, juga lahir karena para orang
alim tempo dulu itu ternyata piawai dalam menulis.
Yang terpenting, kemampuan berpikir, mendengar,
bicara, membaca, dan menulis, bagi si Mu’min semua harus berporos pada Al-Qurãn sehingga semua
kemampuan itu baginya hanyalah sekadar untuk membuktikan bahwa ia hamba Allah
yang butuh, yang patut diandalkan, yang dengan semua kemampuannya itu ia tidak mungkin membuat ajaran
Allah jadi kabur atau menyimpang.
E. Tata-Tertib Rattil
Rattil (studi
Al-Qurãn)
sebagai upaya yang dilakukan dalam rangka pembangunan iman, adalah sebuah
tawaran dari Allah yang di dalamnya terdapat nilai (kemampuan) dan harga[1]
(pengorbanan, resiko) untuk mendapatkannya.
Nilai di sini berarti: rattil
adalah sesuatu yang menjanjikan sebuah hasil, yaitu pengetahuan obyektif
tentang Al-Qurãn.
Sedangkan harga berarti: untuk mengenal Al-Qurãn secara obyektif kita harus rela mengorbankan
segala yang perlu, dan harus sanggup menghadapai risiko apa pun yang
menagancam.
Untuk jelasnya, marilah
kita kaji Surat Al-Muzzammil dengan bantuan terjemahan berikut ini. Tentu saja bukan
terjemahan sempurna. Di dalamnya pasti ada kekeliruan dan kesalahan. Namun anda
tak akan pernah tahu pasti bila tidak melakukan rattil.
Terjemahan Surat al-Muzzammil:
1.
Hai Muzzammil!
2.
Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit (boleh tidur).
3.
(Bangunlah!)
setengah malam atau kurangi dari setengahnya;
4.
atau
lebihkan dari setengahnya. Lalu kajilah Al-Qurãn setertib-tertibnya!
5.
pasti
(bila pengkajian demikian dilakukan) Kami akan resapkan suatu konsep/pedoman
hidup yang mahaberbobot.
6.
Sungguh suasana malam
benar-benar sangat cocok untuk
menancapkan, dalam arti lebih memantapkan tertanamnya perkataan (ajaran).
7.
Sedangkan pada siang hari kamu dibebani kewajiban
untuk melakukan banyak kesibukan.
8.
maka (pada
malam hari) tancapkan ilmu Rabb-mu ke
dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanyan sekuat-kuatnya.
9.
(Dialah,
Allah) Penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya Dia yang layak dijadikan Ilah (penggerak kehidupan). Maka jadikanlah Dia
(ajarannya) sebagai satu satu-satunya andalan.
10.
Selanjutnya,
teguh bertahanlah menghadapi ocehan[2]
mereka (para penentang Al-Qurãn), serta ‘singkirkan’ mereka dengan cara sebaik-baiknya.
11. Selebihnya (yang di luar kemampuan kalian), yaitu para Mukadzdzibin (perusak peradaban; perusak ajaran Allah)
yang menguasai sumber-sumber kekayaan (perekonomian), serahkan saja kepadaKu. Biarkan mereka
merasakan kesenangan semu sesaat.
12. Sebenarnya Kami pastikan bagi mereka belenggu
dan penjara kehidupan – karena pilihan demikian;
13. serta hidangan (buah usaha) yang menyesakkan,
yang menyebabkan penderitaan luar biasa.
***
14. Suatu
masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga gunung-gunung
pun rontok (longsor) seperti seonggok pasir.[3]
15. Jelas sekali bahwa kami mengutus kepada kalian
seorang Rasul (Muhammad) sebagai figur
nyata bagi kalian; sebagaimana dulu pernah Kami utus
seorang Rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan rakyat Mesir).
16. Maka Fir’aun pun menentang sang Rasul, sehingga
Kami timpakan kepadanya siksa mahakeras.
***
( 14. Suatu masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung
berguncang, sehingga gunung-gunung pun seperti longsor seperti seonggok pasir).[4]
17. Bagaimanakah cara kalian menyelamatkan diri,
bila kalian mengabaikan (tidak mau
tahu; kufur) – informasi tentang – suatu masa
(pergiliran sejarah), yang akan mengubah ‘bayi’ (segala yang dilahirkan) menjadi ‘orang tua beruban’ (menghadapi ambang kematian)?[5]
18. (Perubahan itu menyebabkan) as-sama’[6]
(tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan
rumusan-Nya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
19. Sungguh ini adalah peringatan; sehingga siapa pun yang suka (maka ia akan menempuh
jalan (perjuangan) yang mengarahkan pada kepatuhan terhadap Tuhannya.
20. Maka Rabbmu mengajarkan agar kamu (Muhammad dan
pengikutnya) memilih waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga,
setengah, dan sepertiga malam; yakni (agar) segolongan orang yang (mau melakukan hal yang sama) mengikuti
dirimu (dipersilakan memilih waktu yang cocok). Allah selalu memelihara
kepastian pergiliran malam dan siang. Dia (Allah) tahu bahwa (pengaturan waktu
belajar malam itu) tak akan pernah terlintas perhitungan (pikiran) kalian, sehingga Ia
memberikan rujukan (keterangan) kepada kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara
pembagian waktu itu), kajilah Al-Qurãn mulai dari yang Dia mudahkan (berdasar
kemampuan kalian). Ia (Allah) mengetahui bahwa di
antara kalian akan ada yang sakit (namun ia tetap bisa menggunakan waktu malam
untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya) sementara yang lainnya sibuk bertebaran di seantero
bumi mencari rezeki yang diridhai Allah (namun dia tetap bisa menggunakan waktu
malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi
menegakkan ajaran Allah (tapi ia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk
mengkaji Al-Qurãn semampunya). (Justru karena itulah) maka kajilah dengan memilih yang Dia mudahkan darinya (Al-Qurãn), lalu lakukan shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan dan
penghayatan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan zakat (sebagai
gerakan permbersihan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau dengan kata lain)
angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu dengan cara mengangsur (mencicil; melakukan tahap demi tahap) yang sebaik-baiknya. Karena
kebaikan apa pun yang kalian segerakan (demi mematuhi Allah), akan kalian
dapati sebagai kebaikan yang bernilai di mata Allah, dalam arti mendatangkan
keuntungan lebih besar. Maka bangunlah kerinduan untuk
melakukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah. Karena Allah (dengan ajaran-Nya)
adalah pelaku perbaikan serta pewujud kehidupan kasih-sayang sejitu-jitunya.
Penjelasan
Istilah al-Muzzaammil biasa diterjemahkan secara
harfiah sebagai “orang berselimut”, dan yang disebut sebagai “orang berselimut”
itu adalah nabi Muhammad. Dengan demikian timbul pemahaman bahwa Surat ini
(seperti juga surat Al-Mudatstsir) diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad.
Salah satu dalil yang digunakan adalah hadits bernomor 133 adalah
Shahih Muslim yang mengungkapkan kisah demikian:
Dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari ra. (seorang
sahabat Rasulullah saw.), katanya Rasulullah pernah menceritakan tentang
putusnya wahyu. Sabda beliau, “Pada suatu ketika, sedang aku berjalan tiba-tiba
aku mendengar suara dari langit. Karena itu kuangkat pandanganku (ke arah suara
tersebut), maka tampak olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira,
sedang duduk di kursi antara langit dan bumi.” Sabda Rasulullah saw.
selanjutnya, “Dengan perasaan terkejut bercampur takut, aku segera pulang.
Sesampai di rumah, aku berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku! Selimuti aku!”
Khadijah pun segera menyelimutiku. Sedang aku berselimut itu, Allah Tabaraka wa
ta’ala menurunkan ayat, “Hai, orang yang berselimut! Bangunlah, dan
berikan peringatan! Dan Tuhan engkau
Agungkanlah! Dan pakaian engkau bersihkanlah (sucikanlah)! Dan perbuatan dosa
jauhi lah! (Al-Mudatstsir
1-5) Sesudah itu wahyu turun berturut-turut.[7]
Tentang nilai hadits ini, shahih atau tidak, biarlah
kita serahkan kepada ahlinya. Namun bila Surat Muzzammil dan Mudatstsir
dikatakan sebagai Surat-surat yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad tentu
patut dipertanyakan, kenapa sekarang
kita harus mengkajinya? Hanya untuk mengenang cerita sejarah, atau memang
surat-surat tersebut juga dihidangkan kepada kita semua?
[1] I(ngat kembali pembahasan tentang Nilai dan Harga Iman.
[2] Propaganda, provokasi, fitnah, ejekan, dsb.
[3] Istilah bumi dan
gunung-gunung bisa jadi merupakan ungkapan untuk menyebut masyarakat dan
tokoh-tokohnya yang mendukung ajaran batil.
[4] Sengaja diulang untuk mengingatkan bahwa alinea (ayat) 17 harus
dikaitkan dengan alinea ke 14 ini
[5] Ayat ini mengingatkan tentang waktu yang terus berjalan,
‘menghanyutkan’ kejadian demi kejadian, yang pada gilirannya memunculkan
peristiwa besar. Sehingga terjadilah perubahan yang mengagetkan. Kata wildan jamak dari walid secara harfiah berarti al-maulud
(yang dilahirkan) atau ash-shobiyy (anak kecil) atau al-‘abdu (budak, hamba). Dalam ayat ini
diungkapkan bahwa pada suatu masa al-wildan
(para bayi) berubah menjadi syiban
(kakek/nenek); sebagai ungkapan bahwa yang lahir, berkembang, jadi dewasa,
akhirnya harus menemui saat akhir, yaitu kematian.
[6] As-sama’ secara harfiah
berarti langit, surga dan segala penghuninya; sesuatu yang di atas; sesuatu
yang menjulang tinggi. Makna-makna tersebut tidak bisa masuk ke dalam ayat ini,
karena ada qarinah-qarinah yang mengisyaratkan makna lain, yaitu kalimat kana wa’duhu maf’ulan. Secara harfiah
kalimat ini berarti: “dahulu ‘janji’-nya telah dilaksanakan. Hubungkan dengan kedua
ayat sebelumnya (15-16), yang menyebutkan pengutusan Rasul kepada kita dan
Fir’aun. Fir’aun menentang rasul, lalu mendapat bencana. Kerajaannya hancur,
dan dia sendiri binasa. Jadi kata as-sama’
dalam ayat ini jelas berkaitan dengan sejarah Fir’aun; sehingga maknanya yang baligh (kena, jitu) adalah: tatanan
kehidupan, atau struktur masyarakat. Jelasnya, fir’aun dengan segala
kekuasaannya menjadikan kerajaannya demikian ‘tinggi menjulang’ dan dia sendiri
menjadi sangat berkuasa, sampai memandang dirinya sebagai Tuhan. Tentu saja
dalam suatu tatanan atau struktur tertentu, yang – nota benne – menyengsarakan rakyat. Tapi kata Allah, tatanan
demikian itu akan mencapai usia tuanya, alias akan tiba pada masa
kebangkrutannya. Ini sudah merupakan wa’dullah
(konsep/rumusan Allah). Tidak ada sesuatu yang tidak akan termakan oleh waktu!
[7] Terjemah Hadits Shahih Muslim,
Ma’mur Daud, cet. II, Widjaya, Jakarta ,
1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar