Kamis, 17 November 2016

Analisis Îmãn (20)


BAHASA ALLAH DAN NABI
Suatu hari di tempat pengajian, saya mendapat pertanyaan yang sangat menarik dari seorang peserta, “Di antara banyak ragam dan dialek bahasa Arab yang ada sekarang, bahasa Arab manakah yang dulu digunakan oleh Nabi Muhammad dalam pergaulan sehari-hari?”
“Pertanyaan bagus!” saya bilang. “Dan jawabannya adalah: tentu saja yang beliau gunakan bukanlah bahasa seperti yang tertulis di dalam mushhaf Al-Qurãn sekarang. ...”
“Jadi, bahasa Al-Qurãn itu bukan bahasa percakapan Nabi Muhammad dan bangsanya pada waktu itu?” Dia mengejar.
“Bukan!”, kata saya. “Bahkan bahasa Al-Qurãn, bukanlah bahasa percakapan Nabi Muhammad dengan umat Islam sendiri.”
“Jadi, beliau berbicara dengan bahasa apa?”
Saya tertawa, lalu balik bertanya, “Menurut anda, beliau bicara dengan bahasa apa?”
“Dengan bahasa Arab tentunya. Tapi yang belum jelas bagi saya adalah bahsa Arab yang mana? Karena seperti yang Bapak sebutkan, di Timur Tengah sekarang ada banyak macam logat bahasa Arab. Dan di antara semua itu, saya bertanya, bahasa Arab negara manakah, atau suku apakah, yang dulu digunakan Nabi Muhammad?”
Saya balik bertanya,“Ingatkah anda bahwa Nabi Muhammad itu orang Quraisy?”
“Ya, ya, tentu saja saya ingat.”
“Nah, dengan demikian, bukankah bisa kita simpulkan bahwa beliau menggunakan logat bahasa Arab Quraisy?”
“Ya, betul. Saya pun berpikir demikian. Tapi masalahnya, apakah suku Quraisy itu sekarang masih ada?”
“Masih,” kata saya. “Bahkan ada yang menetap di Indonesia, yaitu Quraish Shihab!”
“Bapak bisa aja! Tapi beliau kan berbicara dengan bahasa Indonesia!”
“Betul, betul, betul. Dan saya juga memang bertanya seperti pertanyaan anda. Masih adakah suku Quraisy di Timur Tengah, dan masihkah mereka menggunakan bahasa yang sama seperti di zaman Nabi Muhammad?”
“Waduh, pertanyaan sulit ya, Pak?”
“Saya kira tidak sulit. Dan tidak harus mencari-cari orang Quraisy. Sangat mudah. Begini. Sekarang ini di hadapan kita kan ada dua teks Islam yang kedua-duanya diakui sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Nah, bukankah kita tahu bahwa Al-Qurãn berisi kata-kata (firman) Allah, dan hadis, antara lain, berisi kata-kata (sabda) Nabi Muhammad. Tidakkah kita bisa menyimpulkan bahwa bahasa yang digunakan Nabi Muhammad dulu adalah seperti yang terekam di dalam teks hadis?”
Sang penanya dan para hadirin terdiam, dan saya pun gembira menemukan jawaban itu.
Persoalan berikutnya, kita bicara bahasa di sini adalah tentang bahasa sehari-hari Nabi Muhammad, yang tentu tidak sama dengan yang terdapat di dalam teks Al-Qurãn; tapi diduga keras (dan siapa bisa membantah?) bahwa beliau menggunakan bahasa seperti yang terdapat di dalam hadis.
Pertanyaan lebih lanjut,  bahasa apakah gerangan nama kedua bahasa yang terdapat dalam Al-Qurãn dan hadis?
Bahasa Arab!
Lalu, dialek-dialek yang digunakan di Mesir, Maroko, Saudi Arabia, dan lain-lain itu, bahasa
Apa?
Bahasa Arab.
Isa Bugis, dengan teori ya nisbah dan teori antropologinya, pada akhirnya menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (dialek?) Quraisy, yaitu bahasa yang katanya  digunakan oleh para nabi, dari Adam sampai Muhammad; yang berarti juga terekam dalam kitab Zabur Daud, Taurat Musa, Injil Isa, sampai Al-Qurãn Muhammad. Bahasa para nabi itulah yang oleh Isa Bugis disebut sebagai Bahasa Nur, dan selainnya adalah Bahasa Zhulumat.
Dan, ketika menyebut Quraisy, Isa bugis menyimpulkan bahwa suku Arab Quraisy adalah pengguna Bahasa Nur, tapi berkesadaran Zhulumat. Dengan kata lain, bila bahasa diibaratkan kemasan, maka Quraisy mengemas “bentuk kesadaran” Zhulumat dengan Bahasa Nur!
Selanjutnya, melalui teori nisbahnya yang lemah, dan teori antropologi bahasanya, Isa Bugis menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn “serumpun” dengan bahasa Arab.
Perhatikanlah! Bila bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (suku) Quraisy, dan suku-suku Arab lain mempunyai (dialek) bahasa Arab yang berbeda, dan itu semua oleh Isa Bugis disebut serumpun, maka dari rumpun apakah bahasa-bahasa (dialek-dialek) itu terlahir?
Bila kita perhatikan teori Isa Bugis, semua lahir dari Bahasa Nur, alias bahasa para nabi. Lalu, bila dikaitkan dengan teori yang ada, bahasa para nabi itu bahasa apa? Ternyata Isa Bugis mengarah pada kesimpulan bahwa Bahasa Nur itu adalah Bahasa Semite, yang secara antropologi berpangkal pada anak Nabi Nuh, yaitu Sam bin Nuh; sehingga kata Semite itu dalam ejaan Arabnya adalah Samyah (?). Isa Bugis bahkan membuat pemetaan demikian:
Bahasa Nur adalah bahasa pertama, yang selanjutnya melahirkan bahasa-bahasa:
1.      Rumpun Eropa
2.      Rumpun Mongol
3.      Rumputn Indo Semite
4.      Rumpun Arya
Kita tahu bahwa dari semua bahasa yang ada, yang paling mirip dengan bahasa Al-Qurãn adalah bahasa rumpun Semite, yang diakui Isa Bugis berasal dari bahasa Sam bin Nuh. Sedangkan bahasa-bahasa lain, yang berbeda jauh dari bahasa Semite, entah bagaimana bisa dikatakan bersumber dari Bahasa Nur (?).
Namun, pendapat adalah pendapat. Dia akan hidup sepanjang ada para pendukungnya. Tapi ingatlah bahwa “setiap kata harus ada pembuktian”. Pembuktianlah, dan bukan pendapat (asumsi) yang akan memastikan apakah sebuah pendapat mempunyai kekuatan nyata atau hanya khayalan sang narasumber dan para pendukungnya.
Fakta
Fakta berbicara bahwa kita hanya bisa menemukan dua teks yang dianggap dokumen-dokumen otentik sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Dengan catatan bahwa kedua-duanya menggunakan bahasa Arab, dan perbedaan bahasa keduanya bukalah karena ‘serumpun’ apalagi berbeda rumpun, misalnya seperti bahasa Mongol dan Eropa.
Penentu perbedaan bahasa Al-Qurãn dan bahasa hadis, bukanlah karena keduanya menggunakan jenis bahasa yang satu sama lain berbeda, tapi perbedaan itu hanya terletak pada “gaya bahasa”, atau uslub, seperti kata para ahli Bahasa Arab, atau style dalam istilah Bahasa Inggris.
Gaya bahasa ditentukan oleh para pengguna. Di Indonesia, misalnya, jelas bangsa Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia; tapi Bahasa Jurnalistik tentu berbeda dengan Bahasa Sastra, atau Bahasa Preman. Dan letak perbedaannya bukan pada jenis bahasanya, tapi pada gaya. Bahasa jurnalistik adalah tetap Bahasa Indonesia. Demikian juga bahasa sastra dan bahasa preman. Sekali lagi, jenis bahasa ketiganya tetap sama-sama Bahasa Indonesia, tapi gaya bahasa ketigiganya berbeda. Bahasa jurnaklistik adalah bahasa para wartawan. Cirinya ringkas, langsung, tidak berlebihan. Bahasa sastra adalah bahasa para sastrawan, yaitu bahasa yang digunakan para penulis novel, cerpen, puisi, yang cirinya adalah indah menurut persepsi individual mereka. Sedangkan bahasa preman adalah bahasa yang digunakan ‘anak-anak jalanan’, yang cirinya ‘kasar’, bersifat plesetan, dan sesuka mereka. Sering kali mereka tak peduli dengan tata bahasa.
Kembali pada bahasa Al-Qurãn dan hadis, dan bahasa Arab bangsa Arab sekarang, yang faktanya adalah Bahasa Arab. Perbedaan ketiganya hanya pada gaya bahasa, bukan pada jenis bahasa. Dan gaya bahasa itu ditentukan oleh pengguna.

Jadi, bahasa Al-Qurãn, faktanya, adalah susunan kosakata Bahasa Arab, yang digukanan oleh Allah dengan gaya Allah. Bahasa hadis adalah susunan kosakata Bahasa Arab yang, anta lain, digukanan oleh Nabi Muhammad, dengan gaya Nabi Muhammad, bila hadisnya berisi ucapan Nabi Muhammad. Dan bahasa bangsa arab adalah susunan kosakata Bahasa Arab yang digunakan dengan gaya (dialek) mereka masing-masing.

Tidak ada komentar: