Selasa, 25 Oktober 2016

Analisis Îmãn (10)


  1. Filsafat Macchiavelli
Nikolo Macchiavelli (1469 – 1527) adalah penulis dan negarawan Italia dan tokoh Renaissance terkemuka. Ia dikenal dunia sebagai orang yang mengembangkan prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Kepiawaiannya dalam ilmu sejarah dibuktikan melalui bukunya yang berisi kajian tentang sejarah Firenze, daerah tempat kelahirannya, yang ditulis secara ilmiah. Konon bukunya ini telah membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah.[1]
Macchiavelli secara sungguh-sungguh telah mengkaji sejarah dan filsafat Yunani serta Romawi, untuk selanjutnya berusaha mengorak kejumudan yang terdapat di zaman pertengahan; kejumudan yang menggejala di kalangan para pemikirnya. Beberapa konklusi dia peroleh dan rumusannya kemnudian menancapkan pengaruh yang begitu mendalam dalam Sejarah Pemikiran Politik.
Studi kesejarahan yang dilakukannya itu ternyata mempengaruhinya untuk mnengatakan, “Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami mati. Semua makhluk hidup ini berbuat sendiri-sendiri dan berjalan menurut jalurnya, sekali pun dalam banyak kali terjadi perbedaan antara sesamanya … Masa depan tidaklah dapat diramalkan, kecuali melalui penelitian akan masa lampau. Peristiwa-peristiwa yang terjadi disetiap generasi pasti serupa dengan peristiwa yang telah terjadi di masa yang lalu. Keserupaan ini disebabkan karena peristiwa-peristiwa termaksud timbul dari manusia yang sama-sama memiliki kesadaran dan kecenderungan yang serupa. Dengan demikian pasti mereka terkena pengaruh dan memiliki keinginan dan ambisi yang sama adanya; sama antara berbagai negeri, sama antara perseorangan, baik di zaman yang silam maupun di zaman yang akan datang.
Seluruh filsafat Maccheavelli berkisar di seputar manusia dengan segala kecenderungan dan wataknya. Oleh karena inilah dia menafsirkan semua peristiwa sejarah di bawah naungan watak manusia itu sendiri. “Ambisi selalu berada dalam diri manusia, dan karena itu mereka tidak pernah sunyi darinya, betapa pun mereka telah mencapai taraf kemajuan tertentu. Ini disebabkan karena manusia ini diciptakan untuk menyenangi segala dan untuk sekaligus tidak mampu mencapai kesegalaan yang dimaksud. Jiwa manusia senantiasa tidak puas dengan apa yang ada, karena ambisinya jauh lebih tinggi ketimbang kemampuan untuk bersikap rela dan puas. Inilah penyebab keruntuhan kerajaan demi kerajaan. Orang-orang kuatnya tidak puas dengan apa-apa yang telah dimiliki, sementara masyarakat yang lemah dan egois merasa gusar terhadap orang-orang kuat yang tak kunjung puas itu sambil menunggu-nunggu kejatuhannya. Baik kejatuhan orang-orang kuat dari kekuasaannya maupun kenaikan orang baru adalah dimotivasi oleh faktor ambisi yang sama.[2]
           
  1. Tinjauan
Berbagai teori tentang sejarah di atas secara keseluruhan mengarah kepada satu kesimpulan bahwa sejarah dalam pengertian mereka adalah “kisah hidup manusia dengan segala karakter (sifat, watak) dan sepak-terjangnya”. Secara keseluruhan bisa kita lihat bahwa mazhab-mazhab tersebut melihat sejarah seperti orang-orang buta menebak bentuk gajah.
Henry Ford, melalui teorinya, mewakili orang yang berkarakter liberal, yang ingin hidup dengan tidak dipengaruhi gagasan atau ajaran siapa pun. Tapi adakah manusia yang mampu hidup demikian? Adakah orang yang kebal dari pengaruh suatu gagasan  baik yang sudah ada di masa lalau maupun yang ada di sekelilingnya pada masa hidupnya?
Al-Qurãn menegaskan bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Hadits menambahkan bahwa setelah lahir peran ‘orangtua’ sangat menentukan perkembangan si anak berikutnya. Secara harfiah, orangtua ini berarti ibu dan ayah. Tapi secara situasional dan kondisional, yang berperan sebagai ‘orangtua’ bagi si anak tidak hanya ibu dan ayah. Ada kalanya seorang anak malah harus hidup tanpa ibu dan ayah biologis, tapi terpaksa hidup dengan ‘orangtua’ yang lain. Singkatnya, manusia hanya bisa hidup bila ada pasokan bagi kebutuhan moral dan materialnya. Biasanya kebutuhan itu ‘diberikan’ oleh lingkungan. Lingkungan adalah ‘orangtua’ yang sebenarnya bagi manusia.
Berdasar kenyataan itulah kita bisa membenarkan mazhab yang memandang bahwa karakter manusia dibentuk oleh alam fisik. Namun ini hanya benar sebagian. Seperti kata Dimont (Yahudi) tentang Yahudi, faktor geografis dapat memberikan banyak warna dan corak karakter manusia. tapi bila manusia hanya mengandalkan alam sebagai ‘guru’, maka ia tak akan bisa beranjak dari cara hidup primitif.
Teori Marxis menegaskan kenyataan itu. Manusia tidak bisa hidup (relatif) lebih baik dengan hanya mengandalkan hidangan alam fisik. Untuk itu manusia membutuhkan suatu gagasan revolusioner, mulai dari cara memproduksi barang (sistem ekonomi), yang selanjutnya akan merambah lembaga-lembaga kemasyarakatan, termasuk etika dan agamanya, yang bisa dan harus disesuaikan dengan sistem ekonomi yang baru.
Dengan demikian teori Freud hanya tampil sebagai tambahan, bahwa gagasan yang revolusioner itu harus dihadapkan pada diri manusia sendiri, khususnya alam bawah sadarnya yang dihuni berbagai nafsu jahat itu. Semakin canggih jenis nafsu yang ditaklukkannya, semakin mungkin bagi manusia untuk berperilaku lebih kreatif dan beradab! Sebenarnya teori Freud ini sangat hebat. Namun agaknya kurang dipahami banyak orang, termasuk Freud sendiri.
Dengan menggunakan teori Freud, kita bisa menerangkan pandangan mazhab Filosofis Spengler tentang perkembangan sejarah manusia. Timbulnya gagasan untuk melawan nafsu bawah sadar adalah musim semi (saat tumbuh) bagi sejarah peradaban manusia. Terus meningkat ke musim panas (saat manusia mencapai prestasi fisik dan intelektual), lalu memasuki musim gugur (saat prestasi intelektual menjadi mandek dan menurun), dan akhirnya memasuki musim dingin (saat kemunduran intelektual itu mencapai titik gawat dan kemudian mati).
Mazhab kultus individu, hanyalah menegaskan bahwa suatu gagasan biasanya dihidupkan oleh seorang manusia yang mampu tampil sebagai pemimpin. Bersamaan dengan itu juga mengisyaratkan bahwa manusia hanya bisa berarti bagi masyarakatnya bila ia didukung oleh suatu gagasan yang memang memenuhi hajat masyarakatnya.
Akhirnya, tentang mazhab religius, kita mempunyai kecurigaan yang kuat, bahwa pandangan yang diungkap Max I Dimont bukanlah gagasan yang berasal dari manusia, tapi merupakan adaptasai dari gagasan Tuhan.
Gagasan yang diungkap Dimont sangat mirip dengan gagasan yang kita temukan dalam Al-Qurãn “Tuhan memberi manusia kebebasan untuk bertindak. Manusia bebas untuk dekat atau jauh dengan Tuhan. Dalam pandangan Yahudi, sukses manusia adalah berkat usaha, bukan anugerah Tuhan. Seorang manusia bisa mendapatkan kekuasaan karena bebas bertindak sesuka hati. Sukses atau gagalnya manusia bukanlah tanggung-jawab Tuhan,” katanya.
Bandingkan perkataan Dimont tersebut dengan Surat al-Baqarah 256; al-Kahfi  29; Ar-Ra’du  11; dll.

[1] Ensiklopedi Umum, Kanisius, ed. Tahun 11990.
[2] Sejarah Islam dalam Sorotan, Muhammad Khair Abdul Qadir, terj. Nabhan Husein, Yayasan al-Amin, Jakarta, tt. Hal. 18-19.

Tidak ada komentar: