Selasa, 25 Oktober 2016

Analisis Îmãn (10)


  1. Filsafat Macchiavelli
Nikolo Macchiavelli (1469 – 1527) adalah penulis dan negarawan Italia dan tokoh Renaissance terkemuka. Ia dikenal dunia sebagai orang yang mengembangkan prinsip “tujuan menghalalkan cara”. Kepiawaiannya dalam ilmu sejarah dibuktikan melalui bukunya yang berisi kajian tentang sejarah Firenze, daerah tempat kelahirannya, yang ditulis secara ilmiah. Konon bukunya ini telah membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah.[1]
Macchiavelli secara sungguh-sungguh telah mengkaji sejarah dan filsafat Yunani serta Romawi, untuk selanjutnya berusaha mengorak kejumudan yang terdapat di zaman pertengahan; kejumudan yang menggejala di kalangan para pemikirnya. Beberapa konklusi dia peroleh dan rumusannya kemnudian menancapkan pengaruh yang begitu mendalam dalam Sejarah Pemikiran Politik.
Studi kesejarahan yang dilakukannya itu ternyata mempengaruhinya untuk mnengatakan, “Segala sesuatu yang hidup pasti mengalami mati. Semua makhluk hidup ini berbuat sendiri-sendiri dan berjalan menurut jalurnya, sekali pun dalam banyak kali terjadi perbedaan antara sesamanya … Masa depan tidaklah dapat diramalkan, kecuali melalui penelitian akan masa lampau. Peristiwa-peristiwa yang terjadi disetiap generasi pasti serupa dengan peristiwa yang telah terjadi di masa yang lalu. Keserupaan ini disebabkan karena peristiwa-peristiwa termaksud timbul dari manusia yang sama-sama memiliki kesadaran dan kecenderungan yang serupa. Dengan demikian pasti mereka terkena pengaruh dan memiliki keinginan dan ambisi yang sama adanya; sama antara berbagai negeri, sama antara perseorangan, baik di zaman yang silam maupun di zaman yang akan datang.
Seluruh filsafat Maccheavelli berkisar di seputar manusia dengan segala kecenderungan dan wataknya. Oleh karena inilah dia menafsirkan semua peristiwa sejarah di bawah naungan watak manusia itu sendiri. “Ambisi selalu berada dalam diri manusia, dan karena itu mereka tidak pernah sunyi darinya, betapa pun mereka telah mencapai taraf kemajuan tertentu. Ini disebabkan karena manusia ini diciptakan untuk menyenangi segala dan untuk sekaligus tidak mampu mencapai kesegalaan yang dimaksud. Jiwa manusia senantiasa tidak puas dengan apa yang ada, karena ambisinya jauh lebih tinggi ketimbang kemampuan untuk bersikap rela dan puas. Inilah penyebab keruntuhan kerajaan demi kerajaan. Orang-orang kuatnya tidak puas dengan apa-apa yang telah dimiliki, sementara masyarakat yang lemah dan egois merasa gusar terhadap orang-orang kuat yang tak kunjung puas itu sambil menunggu-nunggu kejatuhannya. Baik kejatuhan orang-orang kuat dari kekuasaannya maupun kenaikan orang baru adalah dimotivasi oleh faktor ambisi yang sama.[2]
           
  1. Tinjauan
Berbagai teori tentang sejarah di atas secara keseluruhan mengarah kepada satu kesimpulan bahwa sejarah dalam pengertian mereka adalah “kisah hidup manusia dengan segala karakter (sifat, watak) dan sepak-terjangnya”. Secara keseluruhan bisa kita lihat bahwa mazhab-mazhab tersebut melihat sejarah seperti orang-orang buta menebak bentuk gajah.
Henry Ford, melalui teorinya, mewakili orang yang berkarakter liberal, yang ingin hidup dengan tidak dipengaruhi gagasan atau ajaran siapa pun. Tapi adakah manusia yang mampu hidup demikian? Adakah orang yang kebal dari pengaruh suatu gagasan  baik yang sudah ada di masa lalau maupun yang ada di sekelilingnya pada masa hidupnya?
Al-Qurãn menegaskan bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Hadits menambahkan bahwa setelah lahir peran ‘orangtua’ sangat menentukan perkembangan si anak berikutnya. Secara harfiah, orangtua ini berarti ibu dan ayah. Tapi secara situasional dan kondisional, yang berperan sebagai ‘orangtua’ bagi si anak tidak hanya ibu dan ayah. Ada kalanya seorang anak malah harus hidup tanpa ibu dan ayah biologis, tapi terpaksa hidup dengan ‘orangtua’ yang lain. Singkatnya, manusia hanya bisa hidup bila ada pasokan bagi kebutuhan moral dan materialnya. Biasanya kebutuhan itu ‘diberikan’ oleh lingkungan. Lingkungan adalah ‘orangtua’ yang sebenarnya bagi manusia.
Berdasar kenyataan itulah kita bisa membenarkan mazhab yang memandang bahwa karakter manusia dibentuk oleh alam fisik. Namun ini hanya benar sebagian. Seperti kata Dimont (Yahudi) tentang Yahudi, faktor geografis dapat memberikan banyak warna dan corak karakter manusia. tapi bila manusia hanya mengandalkan alam sebagai ‘guru’, maka ia tak akan bisa beranjak dari cara hidup primitif.
Teori Marxis menegaskan kenyataan itu. Manusia tidak bisa hidup (relatif) lebih baik dengan hanya mengandalkan hidangan alam fisik. Untuk itu manusia membutuhkan suatu gagasan revolusioner, mulai dari cara memproduksi barang (sistem ekonomi), yang selanjutnya akan merambah lembaga-lembaga kemasyarakatan, termasuk etika dan agamanya, yang bisa dan harus disesuaikan dengan sistem ekonomi yang baru.
Dengan demikian teori Freud hanya tampil sebagai tambahan, bahwa gagasan yang revolusioner itu harus dihadapkan pada diri manusia sendiri, khususnya alam bawah sadarnya yang dihuni berbagai nafsu jahat itu. Semakin canggih jenis nafsu yang ditaklukkannya, semakin mungkin bagi manusia untuk berperilaku lebih kreatif dan beradab! Sebenarnya teori Freud ini sangat hebat. Namun agaknya kurang dipahami banyak orang, termasuk Freud sendiri.
Dengan menggunakan teori Freud, kita bisa menerangkan pandangan mazhab Filosofis Spengler tentang perkembangan sejarah manusia. Timbulnya gagasan untuk melawan nafsu bawah sadar adalah musim semi (saat tumbuh) bagi sejarah peradaban manusia. Terus meningkat ke musim panas (saat manusia mencapai prestasi fisik dan intelektual), lalu memasuki musim gugur (saat prestasi intelektual menjadi mandek dan menurun), dan akhirnya memasuki musim dingin (saat kemunduran intelektual itu mencapai titik gawat dan kemudian mati).
Mazhab kultus individu, hanyalah menegaskan bahwa suatu gagasan biasanya dihidupkan oleh seorang manusia yang mampu tampil sebagai pemimpin. Bersamaan dengan itu juga mengisyaratkan bahwa manusia hanya bisa berarti bagi masyarakatnya bila ia didukung oleh suatu gagasan yang memang memenuhi hajat masyarakatnya.
Akhirnya, tentang mazhab religius, kita mempunyai kecurigaan yang kuat, bahwa pandangan yang diungkap Max I Dimont bukanlah gagasan yang berasal dari manusia, tapi merupakan adaptasai dari gagasan Tuhan.
Gagasan yang diungkap Dimont sangat mirip dengan gagasan yang kita temukan dalam Al-Qurãn “Tuhan memberi manusia kebebasan untuk bertindak. Manusia bebas untuk dekat atau jauh dengan Tuhan. Dalam pandangan Yahudi, sukses manusia adalah berkat usaha, bukan anugerah Tuhan. Seorang manusia bisa mendapatkan kekuasaan karena bebas bertindak sesuka hati. Sukses atau gagalnya manusia bukanlah tanggung-jawab Tuhan,” katanya.
Bandingkan perkataan Dimont tersebut dengan Surat al-Baqarah 256; al-Kahfi  29; Ar-Ra’du  11; dll.

[1] Ensiklopedi Umum, Kanisius, ed. Tahun 11990.
[2] Sejarah Islam dalam Sorotan, Muhammad Khair Abdul Qadir, terj. Nabhan Husein, Yayasan al-Amin, Jakarta, tt. Hal. 18-19.

Senin, 24 Oktober 2016

Analisis Îmãn (9)


  1. SEJARAH IMAN
  1. Pandangan Dunia tentang Sejarah
“Sejarah Islam” telah banyak ditulis orang, tapi siapa yang pernah menengok “Sejarah Iman”? Orang mungkin akan mengatakan bahwa sejarah iman ini masuk bidang  kajian antropologi budaya, tapi apakah kajian mereka sudah memadai? Khususnya bagi para ahli sejarah Islam: sudahkah mereka menjadikan  Al-Qurãn sebagai salah satu rujukan kajian antropologi budaya? Kita akan coba merambah ke sana. Namun sebelum menukik sejarah Iman, kita akan menengok dulu bagaimana pandangan dunia tentang sejarah.
Dalam buku God, jews, and History[1] Max I. Dimont, mengajukan contoh delapan mazhab sejarah, yaitu:
  1. Mazhab Anarkis.
Aliran ini dipelopori oleh Henry Ford yang cenderung meremehkan sejarah. Semboyannya, history is bunk (sejarah itu sampah/omongkosong). Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Semua hanyalah ‘gado-gado’ dari tanggal-tanggal, nama-nama, pertempuran-pertempuran yang dari semua itu tak ada satu pun yang bisa dijadikan pelajaran atau bahan untuk meramalkan masa depan.
  1. Mazhab Politis
Aliran ini memandang sejarah sebagai peristiwa pergantian dinasti-dinasti, hukum, dan pertempuran-pertempuran. Ada para raja ayang kuat, ada pula yang lemah. Ada yang menang perang, ada yang kalah. Ada hukum yang baik, ada yang buruk. Kejadian demi kejadian berjalan sangat teratur dari A sampai Z, sejak tahun 2000 sebelum Masehi sampai 2000 Masehi. Inilah model pengajaran sejarah yang dilakukan di sekolah-sekolah.
  1. Mazhab Serba Alam.
Aliran yang berasal dari Yunani ini memandang bahwa iklim dan tanah menentukan bentuk karakter manusia. Cara ilmiah untuk mengenal lembaga-lembaga kemasyarakatan manusia harus dilakukan dengan mengkaji lingkungan fisiknya, seperti topografi[2], tanah, dan iklim.
Max I. Dimont membantah aliran ini dengan mengatakan bahwa bangsa Yahudi ternyata bisa hidup di berbagai iklim tanpa kehilangan ciri umum etnis dan budaya mereka. Bahkan ketika negara Israel terbentuk, orang Yahudi yang pulang merantau dari Arab, Afrika Utara, Eropa , dan Amerika, dalam waktu singkat telah mampu melebur menjadi satu bangsa yang utuh. Namun harus diakui juga, kata Dimont, bahwa faktor geografis telah memberikan banyak warna dan corak pada bangsa Yahudi.
  1. Mazhab Ekonomis
Dalam pandangan kaum Marxist (pengikut Karl Marx) sejarah ditentukan oleh cara memproduksi barang. Kita lihat, kata mereka, sistem ekonomi feodal digantikan sistem ekonomi  kapitalis. Cara-cara kapitalis memproduksi barang mengubah lembaga-lembaga sosial suatu negara, termasuk agamanya, etikanya, moralnya, dan sistem nilainya, demi mengesahkan dan menyetujui serta melembagakan sistem ekonominya yang baru. Hal yang sama juga akan terjadi bila masyarakat kapitalis digantikan masyarakat komunis. Secara otomatis lembaga-lembaga sosial dan budayanya akan berubah sesuai tuntutan prinsip baru, sampai prinsip tersebut menjadi bagian dari perilaku sehari-hari.
  1. Mazhab Psikoanalisis
Aliran ini lahir pada awal abad 20, mengikuti teori Profesor Sigmund Freud tentang penguraian jiwa (psychoanalitic). Menurut aliran ini, lembaga-lembaga sosial dan sejarah manusia adalah hasil dari suatu proses penindasan atas pemberontakan alam bawah sadar. Peradaban, kata mereka, terwujud karena manusia mengorbankan nafsu yang tinggal di alam bawah sadar, yaitu nafsu seks, nafsu membunuh, nafsu melakukan incest (bersetubuh dengan saudara), nafsu melakukan tindakan sadis, dan nafsu untuk berbuat kekerasan. Hanya dengan keberhasilan menguasai rangsangan nafsunyalah manusia bisa mengalihkan energinya ke saluran-saluran kreatif dan beradab. Jenis nafsu yang ditindasnya, sebaik apa menindasnya, dan metode apa yang digunakan, akan menentukan kebudayaan dan keseniannya.
  1. Mazhab Filosofis
Ada tiga tokoh yang amat termasyhur dalam aliran ini, yaitu (1) filsuf jerman Georg Wilhelm Friedric hegel, (2) Filsuf Prusia, Oswald Spengler, dan (3) sejarawan Inggris Arnold Toynbee.
Ketiganya mempunyai banyak perbedaan namun memiliki persamaan mendasar. Mereka memandang sejarah sebagai sesuatu yang mengalir terus-menerus. Setiap peradaban, kata mereka, berjalan mengikuti pola yang dapat diramalkan. Setiap peradaban tak ubahnya manusia, yang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan mati. Baik dan buruknya gagasan-gagasan dan etika yang menunjangnya, menentukan berapa lama suatu peradaban bertahan. Para filsuf aliran ini mengkaji sejarah untuk menemukan hal itu dalam semua peradaban, untuk menemukan ciri umumnya.
Menurut Spengler, semua peradaban akan mati. Setiap peradaban bermula dari musim semi (Spring), matang menjadi muslim panas (Summer) dengan terwujudnya prestasi fisik terbesarnya, terus memasuki Musim Gugur (Autumn) dengan dicapainya prestasi-prestasi intelektual, dan akhirnya mundur, memasuki Musim Dingin (Winter), lalu mati.
Spengler yang menulis pada tahun 1918, ketika Inggris sedang di puncak kejayaan, sedangkan Rusia dan Cina hanyalah menduduki ranking kelima di antara negara-negara adidaya, meramalkan dalam bukunya yang berjudul The Decline of The West, bahwa peradaban Barat sudah memasuki Musim Dingin, dan akan mati pada abad ke-23 . selanjutnya muncul peradaban Slavia (Rusia) atau Cina yang sedang memasuki Musim Semi, sebagai penggantinya. Aliran ini dinamakan aliran cyclic (siklus, putaran), karena setiap peradaban dikatakan mempunyai awal, pertengahan, dan akhir.
Toynbee, mengajukan teori yang dikenal dengan linier concept. Dalam bukunya yang masyhur A Study of History, ia mengatakan bahwa sebuah peradaban bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri secara utuh (an independent totality) tetapi suatu perkembangan atau kemajuan (progression) – suatu evolusi – dari peradaban yang rendah menjadi lebih tinggi. Peradaban Islam, katanya, tumbuh dari kebudayaan terdahulu yang lebih rendah, yaitu kebudayaan Iran dan Arab, yang lahir melalui masyarakat Syria. Jadi, peradaban Islam tidak perlu mati, bahkan bisa menjadi kebudayaan lebih tinggi, bila mampu menghadapi setiap tantangan yang terus-menerus datang.
  1. Mazhab Kultus Individualis
Aliran kultus individualis (cult of personality), alias penonjolan orang seorang, memandang bahwa setiap peristiwa terjadi karena peran daya dinamis orang-orang besar. Bila tidak ada George Washington, kata mereka, tidak akan terjadi revolusi Amerika. Revolusi Prancis juga terjadi karena Robespierre. Sedangkan revolusi Rusia terjadi karena Lenin. Bagi mereka manusia adalah pencipta peristiwa. Ini merupakan kebalikan dari aliran Marxis yang menganggap manusia diciptakan oleh peristiwa.
  1. Mazhab Religius
Max I. Dimont mengatakan bahwa aliran religius (keagamaan) ini adalah mazhab tertua sekaligus termuda. Ia menyebut Bible sebagai contoh penguraian sejarah religius yang ditulis pada masa lalu.
Aliran ini memandang setiap peristiwa sejarah sebagai pergumulan antara baik dan buruk, antara yang bermoral dan tidak bermoral.
Di zaman modern, aliran ini tidak laku; tapi kemudian dijajakan kembali oleh genre (aliran, jenis) penulis-penulis yang kemudian dikenal sebagai existential theologians seperti Jaques Maritain (Katolik Romawi), Nikolai Bardjaev (Katolik Ortodoks Rusia), Paul Tillich (Protestan), dan Martin Buber (Yahudi).
Pada dasarnya mereka berpandangan bahwa meskipun Tuhan tidak terlibat langsung dalam pembuatan sejarah, jelas hubungan manusia dengan Tuhan memegang peranan penting. Kata Dimont, “Sekarang kita begitu gandrung pada pemikiran bahwa yang bisa dianggap sah adalah fakta-fakta ilmiah (scientific facts). Kita cenderung melupakan bahwa manusia berpegang pada gagasan-gagasan  yang tidak ilmiah (unscientific), yang tidak bisa dibuktikan, (tapi) bisa lebih sering menjadi penentu jalan sejarah daraipada fakta-fakta rasional.
Dimont menyebut pandangan Martin Buber bahwa tema pokok yang berlaku dalam sejarah yahudi adalah “hubungan antara bangsa Yahudi dengan Tuhan mereka, Jehovah”. Dalam pandangan agama Yahudi, Tuhan memberi manusia kebebasan untuk bertindak. Manusia bebas untuk dekat atau jauh dengan Tuhan. Jadi, sejarah adalah segala yang terjadi di antara manusia dan Tuhan. Dalam pandangan Yahudi, manusia bisa mendapatkan kekuasaan karena bebas bertindak sesuka hati (unscrupulous), bukan dibimbing Tuhan. Dengan demikian, sukses atau gagalnya manusia bukanlah tanggung-jawab Tuhan.
Menurut Dimont, pandangan itulah yang membedakan Yahudi dari bangsa Pagan (pemuja berhala) selama 4000 tahun. Pandangan Pagan tentang Tuhan menyebabkan manusia terikat pada Tuhan-tuhan  (dewa/dewi) mereka. Konsep Yahudi tentang hubungan manusia dengan Tuhan menyebabkan Tahudi mempunyai kebebasan bertindak. Bangsa Barat ternyata baru mencapai kesadaran demikian setelah zaman Reformasi, yaitu ketika Martin Luther menentang Kepausan, dan kemudian mendirikan aliran (Kristen) Protestan. Selanjutnya Martin pun mengajak Yahudi masuk Protestan, karena antara agama Yahudi dan Protestan sudah tak ada perbedaan lagi.
Setelah menjejerkan mazhab-mazhab sejarah tersebut, Dimont menyimpulkan bahwa berbagai pandangan tentang sejarah itu akhirnya membentuk suatu siklus (lingkaran) yang utuh:
  1. Aliran religius yang merupakan aliran tertua, memandang Tuhan sebagai Pencipta sejarah. Selanjutnya manusia menemukan penjelasan sendiuri dengan berbagai cara.
  2. Mazhab Anarkis memandang sejarah sebagai rangkaian peristiwa buta.
  3. Aliran Filosofis memandang sejarah sebagai rangkaian peristiwa bermakna.
  4. Aliran Ekonomis, memandang sejarah ditentukan metode-metode produksi barang
  5. Aliran Psikoanalisis (Freudian) memandang sejarah sebagai berkat dari dorongan bawah sadar.
  6. Aliran Kultus Individualis memandang manusia sebagai penentu sejarah.,
  7. Terakhir, kembali kepada konsep tertua sekaligus termuda, aliran Religius yang memandang sejarah terjadi karena adanya hubungan manusia dengan Tuhan.[3]
[1] Signet Book, New York, 1962, hal. 18-22
[2] Pemetaan; keadaan suatu daerah dilihat dari posisinya di antara daerah-daerah lain.
[3] Mazhab Politis dan Serba Alam tidak dimasukkan Dimont ke dalam rangkaian ini.

Minggu, 23 Oktober 2016

Analisis Îmãn (8)



H. Definisi Iman
Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa iman adalah hasil abstraksi (pemahaman) kalbu, yang membentuk pola ucapan dan mengarahkan segala tindakan. Dengan demikian, iman bisa disebut sebagai pandangan dan sikap hidup, atau bisa disingkat menjadi hidup saja, atau secara psikologi adalah kepribadian.
Pandangan dan sikap hidup atau kepribadian, selanjutnya melahirkan gaya hidup atau akhlaq.
Telah diuraikan pula bahwa iman mempunyai ruang-lingkup yang mutlak harus mencakup tiga wilayah, yaitu wilayah kejiwaan (kalbu), wilayah kebahasaan (lisan), dan wilayah perilaku (amal).
Iman juga mempunyai nilai (kemampuan) yang pasti dan menuntut harga (alat tukar) yang mutlak, tidak bisa ditawar.
Nilai iman sangat ditentukan oleh konsep (ajaran, teori) yang menjadi landasannya. Bila konsepnya berasal dari Allah, nilainya pasti, obyektif (haq). Bila bukan dari Allah, nilainya pasti subyektif dan otomatis negatif (bathil).
Berdasar kenyataan-kenyataan di atas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa definisi iman adalah:

1.               Iman secara umum berarti “pandangan dan sikap hidup/kepribadian” berdasar konsep yang haq/atau bathil. (Dalam pengertian ini, semua manusia adalah mumin).
2.               Iman secara khusus berarti “pandangan dan sikap hidup/kepribadian “ berdasar konsep yang haq (dari Allah). Pelakunya disebut “mu’min haq” atau singkatnyamu’min” saja.
3.               Pelaksana konsep bathil disebut “mu’min bathil” alias “kafir.”

I. Alam Pikiran Mukmin dan Kafir
            Agar lebih gamblang, definisi iman di atas, kita bentangkan menjadi sebuah ‘peta’ alam pikiran mukmin dan kafir yang berbentuk sebagai berikut:

  1. Mu’min adalah orang (pribadi; indiuvidu) yang berpikir bahwa:
    1. Allah adalah pencipta dan perancang (konseptor) kehidupan; baik kehidupan biologis maupun budaya.
b.      Allah menurunkan (mengajarkan) Al-Qurãn sebagai konsep (petunjuk; pedoman) bagi manusia, untuk membangun kehidupan budaya (kebudayaan) menurutNya.
c.       Al-Qurãn secara teknis diajarkan pertama kali kepada Muhammad, untuk diajarkan kembali kepada manusia. Dengan demikian Muhammad berkedudukan sebagai nabi (pembawa berita dari Allah) dan rasul (pembawa risalah/missi dari Allah), dan sekaligus sebagai uswah  (contoh; teladan) dalam mementaskan ajaran Allah (Al-Qurãn).
d.      Dengan demikian, mu’min adalah pelaku atau pelaksana (fã’il) Al-Qurãn berdasar uswah rasul. Dengan kata lain, mu’min adalah orang yang hidup alias berkepribadian Al-Qurãn menurut uswah rasul.
e.       Dengan demikian, mu’min yakin (tahu pasti melalui informasi Al-Qurãn) bahwa alam semesta adalah makhluk yang tunduk patuh pada hukum Allah (sunnatulah).
f.        Di lain pihak, selain mengutus rasul pembawa risalah, Allah juga ‘melepaskan’ saithan (setan) sebagai ‘rasul laknat’, yang dibiarkan mengajarkan risalah bãthil.[1]
g.       Kafir adalah pelaksana atau pelaku konsep batil (ajaran setan), yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu:
                                                               i.      Ãmanû bil-Jibti (idealis).
                                                             ii.      Ãmanû bith-Thaghut (naturalis).

Allah sebagai Konseptor (Perancang) kehidupan adalah Penguasa Tunggal atas seluruh makhluk-Nya. Makhluk-makhluk Allah, baik yang ada di langit maupun di bumi, semua patuh pada Sunnah-Nya (Sunatullah) secara pasif, kecuali manusia.
            Manusia adalah makhluk Allah yang dirancang untuk membangun kehidupan kreatif, namun masih dalam batas-batas kepatuhan terhadap-Nya. Kata Allah dalam Surat al-A’raaf 7: 10:

Jelas sekali bahwa Kami menempatkan kalian di bumi dengan menyediakan di dalamnya berbagai sarana kehidupan. (Tapi) sedikit sekali di antara kalian yang bersyukur (berbuat sesuai rancangan).

Untuk menjadi makhluk yang bersyukur (hidup sesuai rancangan Allah), manusia membutuhkan ilmu. Allah mengajarkan ilmu tersebut melalui malaikat, kepada seseorang manusia yang dipilih menjadi Nabi atau Rasul. Tapi setiap Nabi harus menjalankan tugas mereka dengan susah-payah, karena:

Maka begitulah kenyataannya; Kami hadapkan setiap nabi dengan musuhnya, (yaitu) para pendosa (penentang misinya). Namun cukuplah bimbingan Tuhanmu sebagai petunjuk hidup yang menyelamatkan.

Biang dari musuh para Nabi adalah Iblis alias Setan, yang dengan tegas mengatakan:

Maka karena Anda telah menvonisku sesat, akan kubuat mereka menentang jalan hidup Anda yang lurus. Seterusnya aku akan ‘gempur’ mereka dari depan, dari belakang, dari kiri, dan dari kanan mereka, sehingga Anda lihat nanti kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang kufur (al-A’raaf 7: 16-17)

Setan dibebaskan oleh Allah menjadi ‘rasul’ kaum Kafir (Surat Maryam 83), sehingga dengan demikian otomatis setan pun membangun sunnah (jalan hidup) sendiri, untuk menandingi sunnah Rasulullah. Manusia dibebaskan untuk memilih salah satu di antara kedua sunnah tersebut. Firman Allah dalam Surat al-Balaad 90: 8-10)

Bukankah Kami melengkapinya (manusia) dengan dua mata, satu lidah, dan dua bibir, serta Kami bentangkan baginya dua jalan kehidupan (haq dan bathil)?

           

Tidak ada pemaksaan dalam mengikuti din ini (Islam), (karena) telah jelas (mana) din yang Benar dan yang Salah. Maka siapa pun yang menentang (din)
            Kenyataan Hidup Bathil
Bathil adalah lawan dari haq. Pengertiannya secara harfiah adalah: tak berguna, sia-sia, palsu, tidak benar; ganjil, tak berdasar, tak bernilai; cacat, tidak sah; penipuan, dusta, kepalsuan, dsb.[2]
Kenyataan hidup bathil adalah hasil dari iman bathil (pandangan dan sikap hidup berdasasr ajaran bathil). Ini merupakan “taqdir syarr”, sebagai resiko dari pilihan atas najdu-sarr, yaitu pandun atau pola hidup yang buruk. Kenyataan hidup demikian dalam Qur’an sering disebut dengan istilah nãr, neraka. Surat al-Hijr 15: 43-44, menggambarkan neraka demikian:

Maka (bagi para pengikut Iblis) Jahanam menjadi suatu risiko yang pasti bagi mereka semua. Di dalamnya ada tujuh kelompok. Dalam tiap kjelompok ada pecahan kelompok tertentu.
           
            Apakah ayat-ayat tersebut merupakan gambaran neraka di alam akhirat nanti? Surat al-Baqarah 2: 201 mengisyaratkan suatu jawaban:

Di antara mereka (“jama’ah haji”) ada yang berdoa: “Wahai pembimbing kami, perkenankanlah kami menikmati hasanah di dunia ini dan di akhirat nanti; serta lindungi kami dari azab neraka.”

            Ayat di atas jelas menyebut hasanah (kehidupan yang baik) sebagai lawan dari nar (neraka, kehidupan yang buruk). Dengan demikian hasanah adalah sinonim dari jannah, yang biasa kita artikan surga. Bila surga ada dua, tentu nereka pun ada dua pula.
Dalam sebuah Hadits diceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah menegaskan; baiti jannati (rumahtanggaku adalah surgaku). Hadits ini menegaskan bahwa salah satu perwujudan dari ‘surga dunia’ adalah keadaan rumahtangga Rasulullah. Karena cara hidup Rasulullah diteladani oleh para sahabatnya, yaitu kaum mumin, maka otomatis kenyataan hidup mumin secara keseluruhan, secara sosial dan budaya, adalah ‘surga dunia’. Sebaliknya otomatis kenyataan sosial-budaya kaum kafir adalah ‘neraka dunia’.
Bagaimanakah gambaran konkrit neraka dunia itu?

Setiap manusia dewasa ini dihadapkan kepada kenyataan sosial dalam bentuk sosial-piramid. Yaitu gambaran keadaan di mana di atas pundak si tidak punya (buruh) duduk lah si berpunya, dan di atas si berpunya duduklah golongan yang berkuasa, dan di atas segala-galanya duduklah seorang manusia yang mahakuasa – suatu gambaran exploitation of man by man. Keadaan yang demikian berlaku di seantero permukaan bumi ini, semenjak zaman (pra) sejarah sampai sekarang ini, di dalam benteng Dunia Merdeka, di belakang Tirai Besi, dan di setiap kehidupan nasional, di mana setiap manusia di abad ke-20 ini dengan harap-harap cemas mengidam-idamkan perbaikan dan penyelesaian.[3]

      Bila dituang ke dalam sketsa segitiga ABC maka gambaran kehidupan sosial-piramid tersebut nampak seperti berikut ini:


Angka tujuh dalam ayat di atas hanyalah lambang bagi bilangan yang banyak. Dalam kenyataan tingkatan atau pengelompokan itu tidak harus persis berjumlah tujuh. Agama Hindu, misalnya membagi manusia ke dalam 5 kasta, yaitu: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, Paria.
Dalam kehidupan nasional Indonesia, berdasar status ekonomi, bangsa Indonesia terbagi menjadi 5 kelas pula, yaitu: kelas atas, kelas menengah ke atas, kelas menengah, kelas menengah ke bawah, kelas bawah.
Hirarki kekuasaan presiden Marcos digambarkan istrinya, Imelda Marcos dalam bentuk piramida bertingkat sembilan:


1.      President
2.      PM + 30 ministers
3.      77 Governors
4.      200 Parliamentarians
5.      1700 Mayors
6.      4200 Barangay Captains
7.      900.000 barangay Brigades
8.      27. 000.000 Brigade members      
9.      50 Milions Filipinos

Vladimir Kvint, seorang ahli ekonomi Uni Soviet, yang telah mengkaji susunan kekuasaan politik di negara-negara sosialis, menyimpulkan bahwa The hierarchy of despotic power is in the shape of a triangle. Only one person can make things happen – the man at the top. (hierarki kekuasaan dzalim selalu berbentuk segitiga –piramida. Hanya satu orang yang dapat membuat sesuatu terjadi – yaitu  orang yang di puncak kekuasaan).[4]
Itulah Towering Inferno. Sebuah ‘neraka’ yang berujud bangunan (struktur) yang menjulang tinggi. Itulah bentuk kehidupan yang dalam Surat al-Baqarah 36 dan al-A’raaf 7:24 disebut sebagai ba’dhukum li ba’dhin ‘aduwwun (satu sama lain saling bermusuhan, bersaing tidak sehat, berbaku-hantam). Surat al-Baqarah 85 memberikan gambaran lebih tegas, demikian:

85. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.[5]

… segolongan kalian membunuh segolongan yang lain, segolongan menggusur golongan yang lain dari kampung mereka dengan melontarakan tuduhan bahwa mereka berkomplot dalam kejahatan dan permusuhahn. Bila mereka menjadi tawanan, kalian meminta tebusan.  Padahal (dalam kitan ditegaskan bahwa) pengusiran atas mereka itu terlarang. Apakah kalian akan terus melaksanakan sebagian isi Kitab sambil mengabaikan bagian yang lainnya? Maka ganjaran bagi kalian yang berbuat demikian hanyalah kehidupan nista di sepenjuru dunia, sampai pada saat tegaknya hukum Allah nanti dijerumuskan ke dalam siksaan paling berat. Camkanlah bahwa Allah samasekali tidak pernah mengabaikan tindak-tanduk kalian.

            Dalam soal pembagian rezeki, dalam Surat an-Nahl 16:71 Allah mengungkapkan pelanggaran mereka atas peraturannya:
           
Allah melebihkan segolongan kalian atas segolongan yang lain dalam pendapatan rezeki (sesuai posisi masing-masing). Tapi mereka yang mendapatkan lebih (para boss) tidak mau berbagi dengan orang-orang yang jadi tanggungan mereka (buruh, orang miskin) demi merasakan kenikmatan yang sama. Apakah kalian hendak menyangkal bahwa yang kalian dapatkan itu hanyalah anugerah Allah?





[1] Rasul adalah kata benda yang dibentuk dari kata kerja arsala, yang bisa berati mengutus atau melepaskan. Lihat surat Maryam ayat 83.
[2] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic.
[3] Menuju al-Madinatul Munawwarah, Isa Bugis, 1960.
[4]Majalah Vanity Fair, 1990.
[5]Ayat ini berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, Maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Analisis Îmãn (7)

F. Nilai iman
Telah disebutkan bahwa etika dalam bahasa Arab disebut qawã’idul-akhlãq (kaidah-kaidah akhlak). Berdasar hadits riwayat Muslim yang beresumber dari Aisyah, yang menegaskan bahwa nabi Muhammad berakhlak al-Qur’an, dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an adalah salah satu sumber etika. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq minallahi (kaidah-kaidah akhlak dari Allah). Sedangkan selain al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq min duunillahi (kaidah-kaidah akhlak dari selain Allah) atau etika yang tidak berasal dari Allah.
Namun perlu dicatat bahwa baik etika yang diajarkan Allah maupun etika-etika yang lain, semua mempunyai nilai dan harga yang mutlak.
Istilah nilai disini dengan kata lain adalah sifat atau potensi (kemampuan), atau fitrah untuk mewujudkan sesuatu. Nilai ini mutlak adanya, dan pasti berlaku bila tidak ada hambatan. Kemutlakannya sama seperti api yang mampu membakar setiap benda yang ada didekatnya. Surat al-Ankabut 52, mengungkapkan bahwa etika Allah adalah haq, sedangkan selainnya adalah bãthil:

Tegaskanlah (Muhammad/Mumin): Cukuplah ajaran Allah sebagai pembuktian (siapa yang benar dan siapa yang salah) di antara aku dan kalian. Dia (Allah) menata segala yang di langit dan di bumi dengan ilmu-Nya. (Sepantasnya manusia pun menata hidup dengan ilmu Allah). Maka orang-orang yang beriman dengan ajaran bathil, yang berarti kafir terhadap ajaran Allah, mereka adalah para perusak  kehidupan.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa nilai etika menentukan nilai iman. Orang-orang yang memilih etika yang haq berarti ãmanû billah, dan yang memilik etika yang bãthil berarti ãmanû bil-bãthil. Maka golongan pertama adalah “mu’min Haq(mu’min yang benar) dan golongan kedua “mu’min bãthil(mu’min yang salah).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa etika Allah mempunyai nilai (kemampuan) mewujudkan fi dun-ya hasanah wa fil-akhiraati hasanah, yaitu kehidupan yang “baik” di dunia dan [hingga] di akhirat). Surat al-Baqarah 2:25 menggambarkan dengan bahasa demikian:

Maka sampaikan kabar gembira bagi orang-orang beriman, yakni mereka yang berperilaku tepat (sesuai ajaran Allah), bahwa mereka layak menikmati taman rindang yang dialiri ‘sungai’ (irigasi). Setiap muncul buah-buahan sebagai anugerah dari upaya mereka, mereka mengatakan, “inilah yang dulu dianugerahkan kepada kami, yaitu disampaikan (diajarkan) kepada kami dalam bahasa perumpamaan.” Di situ mereka hidup bersama para pendamping yang suci, tinggal kekal selama-lamanya.

Sedangkan etika yang bathil pada hakikatnya hanyalah kreasi orang-orang kafir yang melakukan ‘pembatalan’ atau sabotase atas konsep Allah. Dan kemampuannya hanyalah menimbulkan bencana dalam kehidupann manusia:

Allah dengan tegas memberikan gambaran melalui nyamuk, sampai yang lebih (besar) darinya (yaitu gambaran kehidupan makhluk penghisap). Maka orang-orang beriman pasti tahu bahwa ini merupakan ajaran yang benar dari pembimbing mereka. Sedangkan orang-orang kafir malah terus menyoal, “Apa sih maunya Allah dengan perumpamaan ini?”  (maka) banyaklah orang yang sesat karenanya, dan banyak pula yang menjadikannya petunjuk. Tentu saja yang sesat karenanya hanyalah orang-orang yang fasyiq.

(Yaitu) mereka yang mencabik-cabik konsep Allah yang telah dibuat layak menjadi ikatan hidup, dengan cara memutus apa yang Allah suruh untuk disambung.[1] Dengan cara itulah mereka menimbulkan bencana di dunia. Merekalah sumber segala kesialan (al-Baqarah 2: 26-27)

      Surat an-Nisaa’ 51 menegaskan bahwa sumber bencana yang mereka ciptakan itu berwujud “kitab”:

kamu perhatikan bagaimana nasib mereka yang termakan kitab (para kutu Tidakkah buku)? Mereka berpandangan dan bersikap hidup dengan konsep Jibti (dukun, sihir, takhyul) dan Thaghut (berhala, syetan, biang kesesatan), seraya berkoar kepada (sesama) kaum kafir, “Inilah konsep-konsep yang cemerlang dibandingkan dengan konsep kaum mu’min”
           
Tentu saja kaum mumin juga beriman dengan Kitab. Bedanya, kitab yang mereka gunakan adalah kitab(-kitab) karangan manusia, sedangkan yang digunakan mumin adalah kitabullah. Kitab-kitab karangan manusia (khususnya hasil karya kaum kafir serta antek-antek mereka yang mengaku mumin) jelas bernilai bathil. Akibatnya:

… segala hasil karya kaum Kafir itu tidak ubahnya fatamorgana di gurun pasir. Orang yang kehausan mengira fatamorgana itu air. Kemudian ketika mendatanginya, ia tidak menemukan apa pun (yang dibayangkannya) …


G. Harga Iman
            Harga yang dimaksud di sini adalah alat tukar. Yaitu alat tukar yang built-in (terpasang) mutlak bersama nilai sesuatu, dan merupakan harga mati, sehingga otomatis tidak bisa ditawar.
Konsep Allah dijamin mampu mewujudkan jannah, namun peminatnya pun harus sanggup membayar tunai harganya. Surat at-Taubah 111 menegaskan dalam ungkapan bahasa perang demikian:

Allah mengajak kaum mumin untuk melakukan ‘barter’ diri dan harta mereka dengan jannah. (Praktiknya adalah) mereka selalu siap ‘berperang’ demi agama Allah, sehingga mereka tak segan membunuh dan tak gentar dibunuh. Ini merupakan perjanjian yang haq (obyektif, tidaka main-main), yang (antara lain) tercantum di dalam Taurat dan Injil, dan (kini terdapat dalam) Al-Qurãn. Siapakah, selain Allah, yang mengungguli-Nya dalam menepati janji? Maka bersemangatlah kalian (kaum mu’min) dalam ‘bisnis’ yang kalian jalankan ini. Karena inilah  (cara mencapai) kejayaan yang agung.

Sesuai dengan fitrahnya, masnusia memang tak sungkan untuk mengorbankan apa saja demi membela kepentingannya. Untuk itu manusia tidak hanya siap mengorbankan waktu, harta, dan tenaga, tapi juga tak segan-segan menjadi predator (pemangsa) bagi sesamanya. Dengan kata lain, demi membela kepentingannya, manusia rela menjadi “babi buta” yang siap menyeruduk apa saja, walau akhirnya kepalnya harus pecah atau tubuhnya jatuh ke jurang.
Ayat di atas menegaskan bahwa kaum mumin tidak boleh kalah semangat oleh mereka yang giat membela konsep yang tidak benar. Bila ada orang yang begitu berani membela konsep yang salah, yang hanya bernilai ‘neraka’, tentu ada pula yang tidak takut membela konsep yang benar.




[1] Mungkin seperti memutus kabel, yang membuat listrik mati, telepon tak berfungsi, kendaraan tak berjalan. Ayat ini menggambarkan orang-orang fasyiq golongan manusia yang membuat ajaran Allah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Analisis Îmãn (6)



E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut “bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya. Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya, kemunkaran  pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin yang  tinggal di tempat terpencil karena tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
            … iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat.[1]
E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut “bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya. Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya, kemunkaran  pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin yang  tinggal di tempat terpencil karena tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
            … iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat.[2]
Kalimat yang terakhir (tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat), misalnya, sangat bertentangan dengan sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang kafir secara terang-terangan”! (Man tarakash-shalata faqad kafara jiharan)!



[1] Aqidah-Akhlak jilid 2 untuk Madrasah Aliyah Keas II, departemen Agama RI. Hal. 12.
[2] Aqidah-Akhlak jilid 2 untuk Madrasah Aliyah Keas II, departemen Agama RI. Hal. 12.

Kamis, 20 Oktober 2016

Analisis Îmãn (5)

Analisis Îmãn (5)

Seperti Komputer
Ibarat komputer, otak membutuhkan dua jenis ‘makanan’ untuk bisa hidup. Makanan komputer yang pertama adalah listrik, yang kedua adalah sistem operasi. Dengan hanya diberi aliran tenaga listrik, komputer hidup. Tapi belum bisa bekerja. Karena baru bisa menarik input dan menghasilkan output yang amat sederhana. Ia baru bisa bekerja setelah diberi sistem operasi. Sistem operasi (operating system) inilah yang merupakan ‘program yang mengatur fungsi internal komputer dan mengendalikan operasi komputer.”[1] Setelah diberi sistem operasi, barulah komputer bisa menerima program-rogram yang lain, yang membuatnya bisa dugunakan untuk menulis, berhitung, menggambar, dan lain-lain. Sebelum diberi sistem operasi, komputer ibarat manusia yang baru lahir, yang bisa melihat dan mendengar, namun belum bisa memahami segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya.
Sistem operasi komputer adalah program dasar yang berfungsi sebagai ‘penerjemah’ program-program yang lain. Pada otak manusia program dasar ini adalah bahasa. Bahasalah yang membuat otak manusia bisa berpikir, mampu menyerap ilmu, apa pun jenisnya, sehingga manusia bisa bergaul dengan lingkungannya.
Iman, seperti yang dapat kita pelajari dalam Hadits Jibril, pada hakikatnya adalah sebuah ‘program’ yang diajarkan Allah melalui malaikat dan rasul, lalu dibukukan menjadi sebuah kitab, yang diserap (dipahami) manusia melalui proses belajar, dengan bahasa sebagai alat utamanya.
Jadi bila sebuah hadits mengatakan: al-iiman ‘aqdun bil qalbi wa iqrarun bil-lisaani wa ‘amalun bil-arkaani, maka perlu diingat bahwa hadits ini tidak bisa diterjemahkan secara harfiuah, sebab cuma akan menghasilkan pemahaman yang dangkal dan melenceng dari tujuan.
Perlu diperhatikan bahwa ‘aqdun yang berkedudukan sebagai kata benda pada hakikatnya adalah hasil kerja al-qalbu. Bentuk kata kerjanya adalah ‘aqada yang secara harfiah berarti mengikat, merajut, melekatkan, dan sebagainya. Dalam ayat di atas (Al-Hujarat/49:14), iman disebut sebagai sesuatu yang ‘masuk’ (yadkhulu) ke dalam kalbu. Dengan demikian iman adalah:
Hasil abstraksi (pemahaman) kalbu, yang membentuk pola ucapan, dan mengarahkan segala tindakan (pada tujuan tertentu).

Atau, dalam bahasa Isa Bugis yang lebih ringkas, berdasar pemahaman atas hadits tersebut, iman adalah pandangan dan sikap hidup, dan lebih ringkasnya lagi, iman adalah hidup.
Sedangkan dalam istilah psikologi, iman pada hakikatnya adalah kepribadian.
Baik “pandangan dan sikap hidup”  maupun “kepribadian”, pada hakikatnya adalah hasil dari proses pemahaman atau proses belajar-mengajar (pendidikan) yang terus-menerus, proses pengulangan yang terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah suatu pola tertentu baik dalam gaya bicara maupun bertindak.
Bila pola tertentu itu menjadi ciri umum suatu masyarakat, apalagi bila diwariskan secara terus-menerus, maka pola itu pun menjadi kebudayaan dan atau peradaban. Dengan kata lain, kebudayaan dan atau peradaban adalah iman dalam skala besar dan luas.
   
D. Iman Sebagai gaya Hidup
Bagian permukaan dari iman (segi kebahasaandan perilaku) melahirkan gaya hidup, yang dalam bahasa Latin disebut ethos.
Ethos dibentuk oleh etika, yang dalam bahasa Inggris disebut ethics dan dalam bahasa Arab disebut qawaa’idul-akhlaaq. Maka bagi yang memahami bahasa Arab, akan semakin jelas bahwa gaya hidup adalah suatu “hasil bentukan”, bukan sesuatu yang built-in (terpasang) sejak “dari sononya”, bukan “bakat semula jadi” ; karena dalam bahasa Arab gaya hidup itu disebut akhlãq, suatu istilah yang berpangkal dari kata khalaqa (menciptakan, menjadikan, membentuk, mengadakan, dsb.).

Berpangkal Etika
Etika adalah : Suatu sistem peraturan tentang apa yang benar atau salah secara moral, khususnya peraturan yang diikuti kelompok penganut agama atau orang-orang yang tergabung dalam kelompok profesi.[2] Dalam kaitan dengan penganut agama, etika Kristen tertentu berbeda dengan etika Islam. Dalam kaitan dengan kelompok profesi, kita mengenal apa yang disebut “kode etik” (code of ethics), yaitu etika yang mengikat setiap kelompok profesi. Dalam dunia kedokteran ada “kode etik kedokteran”, dalam dunia kewartawanan ada “kode etik jurnalistik” , dan seterusnya.
Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, yang konon lahir karena manusia merenungkan sifat dan kelakuannya, sehingga akhirnya berkembanglah pengertian tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi karena pemikiran manusia begitu beragam, maka lahirlah berbagai aliran etika, namun intinya terbagi menjadi dua aliran:

1.      Aliran Intuisionisme yang mempercayai adanya bisikan hati atau ilham. Bagi mereka, pandangan tentang baik dan buruk itu merupakan bawaan (bakat), yang terpasang dalam perasaan manusia.
2.      Aliran Empirisme, yang mengajarkan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.

Kedua aliran itu kemudian ribut soal mana yang disebut baik mutlak dan mana yang nisbi. Di antara mereka ada yang menjadikan agama sebagai ukuran, ada yang mengajarkan bahwa yang paling banyaklah yang paling baik, ada pula yang meyakini bahwa individu adalah penentu kebenaran.
Mana yang harus dipilih? Kita bisa mengatakan bahwa kebenaran individu itu nisbi (relatif) dan karena individu itu kecil bila dibandingkan dengan masyarakat, maka kebenaran individu itu dapat dikalahkan oleh kebenaran masyarakat. Kemudian, bila kita gunakan agama sebagai tolok ukur, bisa jadi satu individu dikatakan benar karena ia mematuhi agama.
Tapi bukankah jumlah agama juga tidak hanya satu? Selain itu, dalam satu agama juga terdapat aliran-aliran, yang memusingkan kita untuk menunjuk mana yang benar.
Al-Qurãn mengajukan satu rumusan bahwa konsep yang benar itu berasal dari Allah. Bila manusia tidak menyetujui konsep Allah, silakan membuat konsep sendiri. Tapi menurut Al-Qurãn pula, manusia tak akan mampu membuat konsep yang setara dengan konsep Allah meskipun bekerja sama dengan jin (Al-Baqarah 2:23-24; Al-Israa’ 17:88). Dengan kata lain, konsep yang benar adalah konsep yang paling siap menghadapi tantangan. Selain itu, Al-Qurãn juga menegaskan bahwa konsep yang benar itu harus sesuai dengan fitrah (nature) manusia, dan harus mampu menjamin manusia bebas dari ketakutan serta duka-ciata.




[1] Byran Pfaffenberger, Ph.D., Kamus Komputer Andalan QUE, Dinastindo, 1994.
[2] Longman Language Activator.