Kesenangan Berfantasi
Tiap-tiap bangsa,
betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng tahyul. Ada yang terjadi daripada kisah perintang
hari, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi daripada muslihat
mempertakuti anak-anak, supaya ia jangan nakal. Ada
pula yang karena keajaiban alam, yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu
orang menyangka alam ini penuh dengan dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya
yang bermacam-macam namanya demikianlah lama-kelamaan timbul berbagai fantasi, cetakan pikiran, yang menjadi
barang peradaban manusia bermula.
Fantasi itu tidak
ada batasnya, sebab ia tidak bersangkutan dengan yang lahir. Keadaannya tidak
dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fantasi itu menjadi pangkal juga daripada
perasaan yang indah-indah, pangkal dari pada seni, pangkal daripada
“pengetahuan” yang ajaib-ajaib. Fantasi membawa orang yang meminangnya ke
awang-awang, keluar daripada bumi dan alam tempat ia berdiri. Dengan fantasi
itu ia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Ia merasa dirinya bagian
daripada alam. Fantasi yang sampai ke sana
disebut juga extase.[2]
Orang yang
mengadakan fantasi tidak ingin mencari kebenaran buah fantasinya, karena
kesenangan ruhnya adalah terletak dalam fantasi itu, ada yang ingin hendak
mengetahui kebenarannya lebih jauh. Di
antaranya ada yang tidak lekas percaya, ada yang bersifat kritis, suka
membanding dan menguji. Demikianlah, dari fantasi itu timbul lama-kelamaan
keinginan akan kebenaran.
Dongeng dan tahyul
yang dipusakakan dari nenekmoyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup,
yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu
bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan
baru. Semuanya itu masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut
kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan.
Sebab itu “kata” dan “nasehat” orang
tua-tua sangan diindahkan.
Dongeng dan tahyul
serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara
orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh
dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya
dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebab, maka agama yang begitu murni
dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang
tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara
orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.
Juga orang Grik
dahulunya banyak mempunyai dongeng dan tahyul. Tetapi yang ajaib pada mereka
itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja,
dengan tiada nengharapkan keuntungan daripada itu. Ingin tahu menjadi ujud
sendirinya bagi mereka.
Berhadapan
senantiasa dengan alam yang begitu luas, yang sangat bagus dan ajaib tampaknya
pada malam hari, timbul di hatinya keinginan hendak mengetahui rahasia alam
itu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, dari mana datangnya alam ini, betapa
jadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya. Demikianlah beratus tahun
alam besar itu menjadi soal dan pertanyaan, yang memikat perhatian ahli-ahli
pikir Grik.
Tetapi kemudian di
sebelah soal alam besar itu, yang berada di luar dirinya, terdapat olehnya soal
alam kecil, yang berada di dalam dirinya. Alam ini tiada
terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasai saja. Lalu timbul pertanyaan
dalam hatinya: apa ujud lahirku, apa kewajiban hidupku? Betapa seharusnya
sikapku, dan di mana kudapat bahagia?
Begitulah jadinya
soal alam dalam pikiran: Di sebelah
soal kosmologi (kosmos= alam besar)
timbul keinsyafan dalam hati tentang kewajiban hidup, soal etik.
Di mana orang Grik dahulu kala semuanya itu satu soal
saja, satu pokoknya: satu kebenaran.
Sebab itu ilmunya cuma satu saja, yang kemudian diberi nama “philosophia” Philosophia
artinya “cinta akan pengetahuan”.
Uraian ini dibuat Mohammad
Hatta untuk menggambarkan
asal-usul timbulnya ilmu filsafat, yang dianggap sebagai induk segala ilmu,
yang katanya bermula dari khayal atau fantasi. Khayal atau fantasi ini kemudian
menjadi adat-istiadat, yang selanjutnya masuk ke dalam peradaban atau kultur
suatu bangsa, dan berpengaruh terhadap cara
orang memeluk agamanya. Agama yang datang belakangan(?) harus berhadapan dengan
berbagai kepercayaan yang begitu kuat bertahan. Cuma tidak dikatakan oleh Hatta
bahwa agama bukan cuma harus menghadapi berbagai kepercayaan tapi juga berbagai
filasafat. Bahkan dengan meluasnya pengaruh filsafat Yunani (yang merupakan
sumber kebudayaan Barat) di kalangan umat Islam, lahirlah berbagai aliran ilmu
Kalam yang meramaikan kancah perselisihan umat.
Filsafat dikatakan bertugas untuk seek out hidden meanings of thing
(mencari makna-makna yang tersembunyi di balik benda nyata). Dari
filsafat ilmu pengetahuan alam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pada abad
tujuhbelas, seperti kata Bierens
de Haar , seabad kemudian lahir
ilmu ekonomi, dan pada awal abad sembilanbelas lahir ilmu sosial.[3]
Filsafat sendiri akhirnya melahirkan berbagai cabang,
seperti dipaparkan Hunt dan Pudjawijatna:
Teka-teki
tentang asal mula serta perkembangan alam semesta dipelajari oleh kosmogoni.
Persoalan
tentang apakah alam semesta ini terdiri dari satu, dua atau banyak kenyataan (reality) dipelajari oleh ontologi. Jika terdapat anggapan bahwa
alam semesta ini terdiri dari satu kenyataaqn terdapatlah aliran monisme. Yang menganggap dua kenyataan
ialah dualisme, sedangkan pluralisme menganggap bahwa alam
semesta ini terdiri dari berbagai kenyataan.
Dualisme yang
menganggap bahwa ide lah yang primer, sedangkan materi sekunder adalah idealisme. Sebaliknya apabila materi
dianggap melahirkan ide, pandangan tersebut adalah pandangan penganut materialisme.
Persoalan
kemungkinan tentang ilmu pengetahuan manusia dipelajarui oleh epistemologi, persoalan tentang baik
atau jahat dipelajari oleh ethica,
persoalan indah dan buruk dipelajari oleh aestethica,
dan persoalan tentanag kebenaran dan kekeliruan dipelajari oleh logika (mantik).
Persoalan-persoalan
yang menyangkut alam ghaib, misalnya persoalan tentang hakekat Tuhan, hari
akhirat, kadar dan lain-lain dipelajari oleh metafisika.
Demikianlah dengan pola pikir yang menganggap bahwa
filsafat merupakan induk segala ilmu
(pengaruh Barat/Yunani lewat sekolah), dapat kita lihat
bahwa persoalan berkenaan dengan alam ghaib (Tuhan, akhirat, qadar dsb.) dimasukkan ke
dalam cabang fiulsafat yang bernama metafisika, yang berarti non-lahiriah atau
bukan benda, yang di Indonesia berarti kebatinan!
Paham bahwa filsafat merupakan induk segala ilmu,
kendati berasal dari Barat, kini telah menjadi paham manusia terpelajar
sedunia. Maka, seperti kata Mohammad Hatta, agama Islam yang datang belakangan,
harus berhadapan dengan kenyataan ini, dan akhirnya, mau tak mau, harus pula
masuk kotak metafisika alias kebatinan.
Kebatinan dalam ensiklopedi umum, terbitan Kanisius
didefinisikan sebagai: Suatu bentuk atau alam kepercayaan.
Dalam paham bangsa Indonesia umumnya kepercayaan atau
keyakinan adalah identik dengan agama, sehingga agama pun dapat didefinisikan
sebagai salah satu bentuk atau alam kepercayaan. Dengan demikian, jelaslah
bahwa agama adalah bagain dari kebatinan (metafisika).
Jadi, tidak perlu heran bila berbicara tentangt iman
sebagai bagian pokok dari agama, orang lantas sepakat mengatakan bahwa iman
adalah kepercayaan. Bukan hanya bangsa Indonesia yang mengatakan begitu,
tapi juga semua bangsa di dunia. Dalam bahasa Inggris misalnya, kepercayaan
disebut belief, yang artinya adalah:
menerima sesuatu sebagai kebenaran, meskipun kita tidak dapat memastikan bahwa
itu benar. Sedangkan iman dalam bahasa Inggris adalah faith, yang berarti: kepercayaan teguh akan sesuatu yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.[5]
Dalam Kamus al-Munjid
(yang bisa dikatakan mewakili pandangan Arab, iman dikatakan sebagai at-tashdiqu muthlaqan, kepercayaan
mutlak, atau pembenaran semata. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
pandangan Arab tentang iman sama dengan pandangan manusia-manusia lain di dunia
secara umum.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah:
-
Bagaimanakah
Allah melalui Rasul-Nya menjelaskan tentang iman?
-
Benarkah
iman termasuk dalam kelompok metafisika?
[1] Terbitan universitas indonesia (UI - Press), 1986.
[2] Extase (Latin, ecstasis) : pesona; in extase, terpesona, sehingga
lupa segala-galanya.
[3] Ilmu Flsafat Agama, Achmad Roestandi ,
SH, Yayasan lembaga Pengarang & Penerbit/ Yayasan Universitas Islam
Nusantara, bandung ,
1970 , hal. 32; 34.
[4] Ilmu Filsafat Agama, Achmad
Roestandi, SH., hal 35-37.
[5] Drs. Peter salim, Synonym Studies, Modern english Press, jakarta , 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar