Senin, 17 Oktober 2016

Analisis Îmãn (2)

Kesenangan Berfantasi

      Mohammad Hatta menulis dalam bukunya yang terkenal, Alam Pikiran Yunbani[1], bab Pendahuluan, hal. 1-3:

            Tiap-tiap bangsa, betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng tahyul. Ada yang terjadi daripada kisah perintang hari, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi daripada muslihat mempertakuti anak-anak, supaya ia jangan nakal. Ada pula yang karena keajaiban alam, yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka alam ini penuh dengan dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang bermacam-macam namanya demikianlah lama-kelamaan timbul berbagai fantasi, cetakan pikiran, yang menjadi barang peradaban manusia bermula.
            Fantasi itu tidak ada batasnya, sebab ia tidak bersangkutan dengan yang lahir. Keadaannya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fantasi itu menjadi pangkal juga daripada perasaan yang indah-indah, pangkal dari pada seni, pangkal daripada “pengetahuan” yang ajaib-ajaib. Fantasi membawa orang yang meminangnya ke awang-awang, keluar daripada bumi dan alam tempat ia berdiri. Dengan fantasi itu ia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Ia merasa dirinya bagian daripada alam. Fantasi yang sampai ke sana disebut juga extase.[2]
            Orang yang mengadakan fantasi tidak ingin mencari kebenaran buah fantasinya, karena kesenangan ruhnya adalah terletak dalam fantasi itu, ada yang ingin hendak mengetahui kebenarannya lebih jauh. Di antaranya ada yang tidak lekas percaya, ada yang bersifat kritis, suka membanding dan menguji. Demikianlah, dari fantasi itu timbul lama-kelamaan keinginan akan kebenaran.
            Dongeng dan tahyul yang dipusakakan dari nenekmoyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu “kata” dan “nasehat”  orang tua-tua sangan diindahkan.
            Dongeng dan tahyul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebab, maka agama yang begitu murni dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.
            Juga orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan tahyul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada nengharapkan keuntungan daripada itu. Ingin tahu menjadi ujud sendirinya bagi mereka.
            Berhadapan senantiasa dengan alam yang begitu luas, yang sangat bagus dan ajaib tampaknya pada malam hari, timbul di hatinya keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, dari mana datangnya alam ini, betapa jadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya. Demikianlah beratus tahun alam besar itu menjadi soal dan pertanyaan, yang memikat perhatian ahli-ahli pikir Grik.
            Tetapi kemudian di sebelah soal alam besar itu, yang berada di luar dirinya, terdapat olehnya soal alam kecil, yang berada di dalam dirinya. Alam ini tiada terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasai saja. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya: apa ujud lahirku, apa kewajiban hidupku? Betapa seharusnya sikapku, dan di mana kudapat bahagia?
            Begitulah jadinya soal alam dalam pikiran: Di sebelah soal kosmologi (kosmos= alam besar) timbul keinsyafan dalam hati tentang kewajiban hidup, soal etik.
Di mana orang Grik dahulu kala semuanya itu satu soal saja, satu pokoknya: satu kebenaran. Sebab itu ilmunya cuma satu saja, yang kemudian diberi nama “philosophia” Philosophia artinya “cinta akan pengetahuan”.

Uraian ini dibuat Mohammad Hatta untuk menggambarkan asal-usul timbulnya ilmu filsafat, yang dianggap sebagai induk segala ilmu, yang katanya bermula dari khayal atau fantasi. Khayal atau fantasi ini kemudian menjadi adat-istiadat, yang selanjutnya masuk ke dalam peradaban atau kultur suatu bangsa, dan berpengaruh terhadap cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang belakangan(?) harus berhadapan dengan berbagai kepercayaan yang begitu kuat bertahan. Cuma tidak dikatakan oleh Hatta bahwa agama bukan cuma harus menghadapi berbagai kepercayaan tapi juga berbagai filasafat. Bahkan dengan meluasnya pengaruh filsafat Yunani (yang merupakan sumber kebudayaan Barat) di kalangan umat Islam, lahirlah berbagai aliran ilmu Kalam yang meramaikan kancah perselisihan umat.

Filsafat dikatakan bertugas untuk seek out hidden meanings of thing  (mencari makna-makna yang tersembunyi di balik benda nyata). Dari filsafat ilmu pengetahuan alam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pada abad tujuhbelas, seperti kata Bierens de Haar, seabad kemudian lahir ilmu ekonomi, dan pada awal abad sembilanbelas lahir ilmu sosial.[3]
Filsafat sendiri akhirnya melahirkan berbagai cabang, seperti dipaparkan Hunt dan Pudjawijatna:
Teka-teki tentang asal mula serta perkembangan alam semesta dipelajari oleh kosmogoni.
Persoalan tentang apakah alam semesta ini terdiri dari satu, dua atau banyak kenyataan (reality) dipelajari oleh ontologi. Jika terdapat anggapan bahwa alam semesta ini terdiri dari satu kenyataaqn terdapatlah aliran monisme. Yang menganggap dua kenyataan ialah dualisme, sedangkan pluralisme menganggap bahwa alam semesta ini terdiri dari berbagai kenyataan.
Dualisme yang menganggap bahwa ide lah yang primer, sedangkan materi sekunder adalah idealisme. Sebaliknya apabila materi dianggap melahirkan ide, pandangan tersebut adalah pandangan penganut materialisme.
Persoalan kemungkinan tentang ilmu pengetahuan manusia dipelajarui oleh epistemologi, persoalan tentang baik atau jahat dipelajari oleh ethica, persoalan indah dan buruk dipelajari oleh aestethica, dan persoalan tentanag kebenaran dan kekeliruan dipelajari oleh logika (mantik).
Persoalan-persoalan yang menyangkut alam ghaib, misalnya persoalan tentang hakekat Tuhan, hari akhirat, kadar dan lain-lain dipelajari oleh metafisika.
Di Indonesia metafisika biasa diterjemahkan dengan kebatinan.[4] 
           
Demikianlah dengan pola pikir yang menganggap bahwa filsafat merupakan induk segala ilmu (pengaruh Barat/Yunani lewat sekolah), dapat kita lihat bahwa persoalan berkenaan dengan alam ghaib (Tuhan, akhirat, qadar dsb.) dimasukkan ke dalam cabang fiulsafat yang bernama metafisika, yang berarti non-lahiriah atau bukan benda, yang di Indonesia berarti kebatinan!
Paham bahwa filsafat merupakan induk segala ilmu, kendati berasal dari Barat, kini telah menjadi paham manusia terpelajar sedunia. Maka, seperti kata Mohammad Hatta, agama Islam yang datang belakangan, harus berhadapan dengan kenyataan ini, dan akhirnya, mau tak mau, harus pula masuk kotak metafisika alias kebatinan.
Kebatinan dalam ensiklopedi umum, terbitan Kanisius didefinisikan sebagai: Suatu bentuk atau alam kepercayaan.
Dalam paham bangsa Indonesia umumnya kepercayaan atau keyakinan adalah identik dengan agama, sehingga agama pun dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk atau alam kepercayaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa agama adalah bagain dari kebatinan (metafisika).
Jadi, tidak perlu heran bila berbicara tentangt iman sebagai bagian pokok dari agama, orang lantas sepakat mengatakan bahwa iman adalah kepercayaan. Bukan hanya bangsa Indonesia yang mengatakan begitu, tapi juga semua bangsa di dunia. Dalam bahasa Inggris misalnya, kepercayaan disebut belief, yang artinya adalah: menerima sesuatu sebagai kebenaran, meskipun kita tidak dapat memastikan bahwa itu benar. Sedangkan iman dalam bahasa Inggris adalah faith, yang berarti: kepercayaan teguh akan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.[5] Dalam Kamus al-Munjid (yang bisa dikatakan mewakili pandangan Arab, iman dikatakan sebagai at-tashdiqu muthlaqan, kepercayaan mutlak, atau pembenaran semata. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pandangan Arab tentang iman sama dengan pandangan manusia-manusia lain di dunia secara umum.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah:
-         Bagaimanakah Allah melalui Rasul-Nya menjelaskan tentang iman?
-         Benarkah iman termasuk dalam kelompok metafisika?




[1] Terbitan universitas indonesia (UI - Press), 1986.
[2] Extase (Latin, ecstasis) : pesona; in extase, terpesona, sehingga lupa segala-galanya.

[3] Ilmu Flsafat Agama, Achmad Roestandi, SH, Yayasan lembaga Pengarang & Penerbit/ Yayasan Universitas Islam Nusantara, bandung, 1970 , hal. 32; 34.
[4] Ilmu Filsafat Agama, Achmad Roestandi, SH., hal 35-37.
[5] Drs. Peter salim, Synonym Studies, Modern english Press, jakarta, 1982.

Tidak ada komentar: