F. Nilai
iman
Telah disebutkan bahwa etika dalam bahasa Arab
disebut qawã’idul-akhlãq (kaidah-kaidah akhlak).
Berdasar hadits riwayat Muslim yang beresumber dari Aisyah, yang menegaskan
bahwa nabi Muhammad berakhlak al-Qur’an, dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an
adalah salah satu sumber etika. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq minallahi (kaidah-kaidah akhlak dari Allah). Sedangkan selain al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq min duunillahi (kaidah-kaidah akhlak dari selain Allah) atau
etika yang tidak berasal dari Allah.
Namun perlu dicatat bahwa baik
etika yang diajarkan Allah maupun etika-etika yang lain, semua mempunyai nilai
dan harga yang mutlak.
Istilah nilai disini dengan kata lain adalah sifat
atau potensi (kemampuan), atau fitrah untuk mewujudkan sesuatu. Nilai ini
mutlak adanya, dan pasti berlaku bila tidak ada hambatan. Kemutlakannya sama
seperti api yang mampu membakar setiap benda yang ada didekatnya. Surat
al-Ankabut 52, mengungkapkan bahwa etika Allah adalah haq, sedangkan selainnya adalah bãthil:
Tegaskanlah
(Muhammad/Mu’min):
Cukuplah ajaran Allah sebagai pembuktian (siapa yang benar dan siapa yang
salah) di antara aku dan kalian. Dia (Allah) menata segala yang di langit dan di bumi dengan ilmu-Nya. (Sepantasnya manusia pun menata hidup dengan
ilmu Allah). Maka orang-orang yang beriman dengan ajaran bathil, yang berarti
kafir terhadap ajaran Allah, mereka adalah para perusak kehidupan.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa nilai etika
menentukan nilai iman. Orang-orang
yang memilih etika yang haq berarti ãmanû billah, dan yang memilik etika
yang bãthil berarti ãmanû bil-bãthil. Maka golongan pertama adalah “mu’min Haq” (mu’min yang benar) dan
golongan kedua “mu’min bãthil” (mu’min yang salah).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa etika
Allah mempunyai nilai (kemampuan) mewujudkan fi dun-ya
hasanah wa fil-akhiraati hasanah, yaitu kehidupan
yang “baik” di dunia dan [hingga] di akhirat). Surat al-Baqarah 2:25
menggambarkan dengan bahasa demikian:
Maka
sampaikan kabar gembira bagi orang-orang beriman, yakni mereka yang berperilaku
tepat (sesuai ajaran Allah), bahwa mereka layak menikmati taman rindang yang
dialiri ‘sungai’ (irigasi). Setiap muncul buah-buahan sebagai anugerah
dari upaya mereka, mereka mengatakan, “inilah yang dulu dianugerahkan kepada
kami, yaitu disampaikan (diajarkan) kepada kami dalam bahasa perumpamaan.” Di situ
mereka hidup bersama para pendamping yang suci, tinggal kekal selama-lamanya.
Sedangkan etika yang bathil pada hakikatnya
hanyalah kreasi orang-orang kafir yang melakukan ‘pembatalan’ atau sabotase atas konsep Allah. Dan
kemampuannya hanyalah menimbulkan bencana dalam kehidupann manusia:
Allah
dengan tegas memberikan gambaran melalui nyamuk, sampai yang lebih (besar)
darinya (yaitu gambaran kehidupan makhluk penghisap). Maka orang-orang beriman
pasti tahu bahwa ini merupakan ajaran yang benar dari pembimbing mereka.
Sedangkan orang-orang kafir malah terus menyoal, “Apa sih maunya Allah dengan
perumpamaan ini?” (maka) banyaklah orang
yang sesat karenanya, dan banyak pula yang menjadikannya petunjuk. Tentu saja
yang sesat karenanya hanyalah orang-orang yang fasyiq.
(Yaitu)
mereka yang mencabik-cabik konsep Allah yang telah dibuat layak menjadi ikatan
hidup, dengan cara memutus apa yang Allah suruh untuk disambung.[1]
Dengan cara itulah mereka menimbulkan bencana di dunia. Merekalah sumber segala
kesialan (al-Baqarah 2: 26-27)
Surat an-Nisaa’ 51 menegaskan bahwa sumber
bencana yang mereka ciptakan itu berwujud “kitab”:
kamu
perhatikan bagaimana nasib mereka yang termakan kitab (para kutu Tidakkah buku)?
Mereka berpandangan dan bersikap hidup dengan konsep Jibti (dukun, sihir,
takhyul) dan Thaghut (berhala, syetan, biang kesesatan), seraya berkoar kepada
(sesama) kaum kafir, “Inilah konsep-konsep yang cemerlang dibandingkan dengan
konsep kaum mu’min”
Tentu saja kaum mu’min juga beriman dengan Kitab. Bedanya, kitab
yang mereka gunakan adalah kitab(-kitab) karangan manusia, sedangkan yang
digunakan mu’min
adalah kitabullah. Kitab-kitab
karangan manusia (khususnya hasil karya kaum kafir
serta antek-antek mereka yang mengaku mu’min)
jelas bernilai bathil. Akibatnya:
… segala
hasil karya kaum Kafir itu tidak ubahnya fatamorgana di gurun pasir. Orang yang
kehausan mengira fatamorgana itu air. Kemudian ketika mendatanginya, ia tidak
menemukan apa pun (yang dibayangkannya) …
G. Harga
Iman
Harga
yang dimaksud di sini adalah alat tukar. Yaitu alat tukar yang built-in
(terpasang) mutlak bersama nilai sesuatu, dan
merupakan harga mati, sehingga otomatis tidak bisa ditawar.
Konsep Allah dijamin mampu mewujudkan jannah,
namun peminatnya pun harus sanggup membayar tunai harganya. Surat at-Taubah 111
menegaskan dalam ungkapan bahasa perang demikian:
Allah
mengajak kaum mu’min
untuk melakukan
‘barter’ diri dan harta mereka dengan jannah. (Praktiknya adalah) mereka selalu
siap ‘berperang’ demi agama Allah, sehingga mereka tak segan membunuh dan tak
gentar dibunuh. Ini merupakan perjanjian yang haq (obyektif, tidaka main-main),
yang (antara lain) tercantum di dalam Taurat dan Injil, dan (kini terdapat
dalam) Al-Qurãn.
Siapakah, selain Allah, yang
mengungguli-Nya dalam menepati janji? Maka bersemangatlah kalian (kaum mu’min) dalam ‘bisnis’ yang kalian jalankan ini.
Karena inilah (cara mencapai) kejayaan
yang agung.
Sesuai dengan fitrahnya, masnusia memang tak
sungkan untuk mengorbankan apa saja demi membela kepentingannya. Untuk itu
manusia tidak hanya siap mengorbankan waktu, harta, dan tenaga, tapi juga tak
segan-segan menjadi predator (pemangsa) bagi sesamanya. Dengan kata lain, demi
membela kepentingannya, manusia rela menjadi “babi buta” yang siap menyeruduk
apa saja, walau akhirnya kepalnya harus pecah atau tubuhnya jatuh ke jurang.
Ayat di atas menegaskan bahwa kaum mu’min tidak boleh kalah semangat oleh mereka yang
giat membela konsep yang tidak benar. Bila ada orang yang begitu berani membela
konsep yang salah, yang hanya bernilai ‘neraka’, tentu ada pula yang tidak takut membela konsep yang benar.
[1] Mungkin seperti memutus kabel, yang membuat listrik mati, telepon
tak berfungsi, kendaraan tak berjalan. Ayat ini menggambarkan orang-orang fasyiq golongan manusia yang membuat
ajaran Allah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar