Sabtu, 22 Oktober 2016

Analisis Îmãn (7)

F. Nilai iman
Telah disebutkan bahwa etika dalam bahasa Arab disebut qawã’idul-akhlãq (kaidah-kaidah akhlak). Berdasar hadits riwayat Muslim yang beresumber dari Aisyah, yang menegaskan bahwa nabi Muhammad berakhlak al-Qur’an, dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an adalah salah satu sumber etika. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq minallahi (kaidah-kaidah akhlak dari Allah). Sedangkan selain al-Qur’an adalah qawã’idul-akhlãq min duunillahi (kaidah-kaidah akhlak dari selain Allah) atau etika yang tidak berasal dari Allah.
Namun perlu dicatat bahwa baik etika yang diajarkan Allah maupun etika-etika yang lain, semua mempunyai nilai dan harga yang mutlak.
Istilah nilai disini dengan kata lain adalah sifat atau potensi (kemampuan), atau fitrah untuk mewujudkan sesuatu. Nilai ini mutlak adanya, dan pasti berlaku bila tidak ada hambatan. Kemutlakannya sama seperti api yang mampu membakar setiap benda yang ada didekatnya. Surat al-Ankabut 52, mengungkapkan bahwa etika Allah adalah haq, sedangkan selainnya adalah bãthil:

Tegaskanlah (Muhammad/Mumin): Cukuplah ajaran Allah sebagai pembuktian (siapa yang benar dan siapa yang salah) di antara aku dan kalian. Dia (Allah) menata segala yang di langit dan di bumi dengan ilmu-Nya. (Sepantasnya manusia pun menata hidup dengan ilmu Allah). Maka orang-orang yang beriman dengan ajaran bathil, yang berarti kafir terhadap ajaran Allah, mereka adalah para perusak  kehidupan.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa nilai etika menentukan nilai iman. Orang-orang yang memilih etika yang haq berarti ãmanû billah, dan yang memilik etika yang bãthil berarti ãmanû bil-bãthil. Maka golongan pertama adalah “mu’min Haq(mu’min yang benar) dan golongan kedua “mu’min bãthil(mu’min yang salah).
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa etika Allah mempunyai nilai (kemampuan) mewujudkan fi dun-ya hasanah wa fil-akhiraati hasanah, yaitu kehidupan yang “baik” di dunia dan [hingga] di akhirat). Surat al-Baqarah 2:25 menggambarkan dengan bahasa demikian:

Maka sampaikan kabar gembira bagi orang-orang beriman, yakni mereka yang berperilaku tepat (sesuai ajaran Allah), bahwa mereka layak menikmati taman rindang yang dialiri ‘sungai’ (irigasi). Setiap muncul buah-buahan sebagai anugerah dari upaya mereka, mereka mengatakan, “inilah yang dulu dianugerahkan kepada kami, yaitu disampaikan (diajarkan) kepada kami dalam bahasa perumpamaan.” Di situ mereka hidup bersama para pendamping yang suci, tinggal kekal selama-lamanya.

Sedangkan etika yang bathil pada hakikatnya hanyalah kreasi orang-orang kafir yang melakukan ‘pembatalan’ atau sabotase atas konsep Allah. Dan kemampuannya hanyalah menimbulkan bencana dalam kehidupann manusia:

Allah dengan tegas memberikan gambaran melalui nyamuk, sampai yang lebih (besar) darinya (yaitu gambaran kehidupan makhluk penghisap). Maka orang-orang beriman pasti tahu bahwa ini merupakan ajaran yang benar dari pembimbing mereka. Sedangkan orang-orang kafir malah terus menyoal, “Apa sih maunya Allah dengan perumpamaan ini?”  (maka) banyaklah orang yang sesat karenanya, dan banyak pula yang menjadikannya petunjuk. Tentu saja yang sesat karenanya hanyalah orang-orang yang fasyiq.

(Yaitu) mereka yang mencabik-cabik konsep Allah yang telah dibuat layak menjadi ikatan hidup, dengan cara memutus apa yang Allah suruh untuk disambung.[1] Dengan cara itulah mereka menimbulkan bencana di dunia. Merekalah sumber segala kesialan (al-Baqarah 2: 26-27)

      Surat an-Nisaa’ 51 menegaskan bahwa sumber bencana yang mereka ciptakan itu berwujud “kitab”:

kamu perhatikan bagaimana nasib mereka yang termakan kitab (para kutu Tidakkah buku)? Mereka berpandangan dan bersikap hidup dengan konsep Jibti (dukun, sihir, takhyul) dan Thaghut (berhala, syetan, biang kesesatan), seraya berkoar kepada (sesama) kaum kafir, “Inilah konsep-konsep yang cemerlang dibandingkan dengan konsep kaum mu’min”
           
Tentu saja kaum mumin juga beriman dengan Kitab. Bedanya, kitab yang mereka gunakan adalah kitab(-kitab) karangan manusia, sedangkan yang digunakan mumin adalah kitabullah. Kitab-kitab karangan manusia (khususnya hasil karya kaum kafir serta antek-antek mereka yang mengaku mumin) jelas bernilai bathil. Akibatnya:

… segala hasil karya kaum Kafir itu tidak ubahnya fatamorgana di gurun pasir. Orang yang kehausan mengira fatamorgana itu air. Kemudian ketika mendatanginya, ia tidak menemukan apa pun (yang dibayangkannya) …


G. Harga Iman
            Harga yang dimaksud di sini adalah alat tukar. Yaitu alat tukar yang built-in (terpasang) mutlak bersama nilai sesuatu, dan merupakan harga mati, sehingga otomatis tidak bisa ditawar.
Konsep Allah dijamin mampu mewujudkan jannah, namun peminatnya pun harus sanggup membayar tunai harganya. Surat at-Taubah 111 menegaskan dalam ungkapan bahasa perang demikian:

Allah mengajak kaum mumin untuk melakukan ‘barter’ diri dan harta mereka dengan jannah. (Praktiknya adalah) mereka selalu siap ‘berperang’ demi agama Allah, sehingga mereka tak segan membunuh dan tak gentar dibunuh. Ini merupakan perjanjian yang haq (obyektif, tidaka main-main), yang (antara lain) tercantum di dalam Taurat dan Injil, dan (kini terdapat dalam) Al-Qurãn. Siapakah, selain Allah, yang mengungguli-Nya dalam menepati janji? Maka bersemangatlah kalian (kaum mu’min) dalam ‘bisnis’ yang kalian jalankan ini. Karena inilah  (cara mencapai) kejayaan yang agung.

Sesuai dengan fitrahnya, masnusia memang tak sungkan untuk mengorbankan apa saja demi membela kepentingannya. Untuk itu manusia tidak hanya siap mengorbankan waktu, harta, dan tenaga, tapi juga tak segan-segan menjadi predator (pemangsa) bagi sesamanya. Dengan kata lain, demi membela kepentingannya, manusia rela menjadi “babi buta” yang siap menyeruduk apa saja, walau akhirnya kepalnya harus pecah atau tubuhnya jatuh ke jurang.
Ayat di atas menegaskan bahwa kaum mumin tidak boleh kalah semangat oleh mereka yang giat membela konsep yang tidak benar. Bila ada orang yang begitu berani membela konsep yang salah, yang hanya bernilai ‘neraka’, tentu ada pula yang tidak takut membela konsep yang benar.




[1] Mungkin seperti memutus kabel, yang membuat listrik mati, telepon tak berfungsi, kendaraan tak berjalan. Ayat ini menggambarkan orang-orang fasyiq golongan manusia yang membuat ajaran Allah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar: