I. TINJAUAN HARFIAH
A. Pandangan Dunia tentang Iman
Secara umum orang mengatakan
bahwa iman terletak di hati, sehingga dengan demikian iman adalah urusan hati;
dan karena fungsi hati adalah untuk mempercayai, maka iman adalah soal kepercayaan.
Perhatikanlah
doktrin berikut ini, yang dikemukakan para pakar agama Islam kepada para
mahasiswa perguruan tinggi umum:
Iman mempunyai 2 (dua) arti: percaya dan kepercayaan.
Arti yang pertama menggambarkan tentang sikap mental atau jiwa dari seseorang
yang mempercayai dan meyakini sesuatu, sedang arti yang kedua menunjuk kepada
sesuatu yang dipercayai itu. Kepercayaan dalam Islam tersimpul dalam rukun Iman
yang enam, yaitu: Percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhirat dan Qadha’-Qadar-Nya.
Iman ialah masalah ghaib yang tidak dapat
dijangkau dengan akal dan pengalaman empiris. Ia hanya dapat diyakini dengan
hati atau rasa dan bukan dengan rasio/otak. Namun demikian rasio atau akal
dapat dijadikan sarana untuk mencapai iman dan memperteguh iman, misalnya
dengan melalui pemikiran-pemikiran filosofis terhadap alam semesta termasuk
manusia.
Sikap iman adalah sikap menerima tanpa reserve,
tanpa tanya dan tanpa ragu, serta memiliki sikap penyerahan diri dan kerelaan
berkorban sebagai konseksuensi dari imannya. Oleh sebab itu sikap iman adalah
perlambang dari kebaikan yang sangat tinggi dan pertanda dari keutuhan pribadi
manusia.[1]
Perhatikan betapa
kontradiktifnya pernyataan-pernyataan di atas! Dikatakan bahwa iman tidak dapat
dijangkau dengan akal dan pengalaman empiris, tapi dikatakan pula bahwa rasio
atau akal dapat dijadikan sarana untuk mencapai dan memperteguh iman. Bukankah
penggunaan rasio atau akal sebagai sarana itu berarti melibatkan rasio dan akal
dalam suatu peristiwa empiris?
Selain itu benarkah sikap
iman adalah perlambang dari kebaikan yang sangat tinggi dan pertanda dari
keutuhan pribadi manusia? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang disebut di
dalam Al-Qurãn “beriman dengan yang bãthil?”
Apakah mereka juga mela-kukan kebaikan yang sangat tinggi dan mempunyai
kepribadian yang utuh? Kita tidak berani mengatakan bahwa para pakar terse-but
tak pernah membaca Al-Qurãn, tetapi rupanya mereka lupa atau entah mengapa.
DR. Quraish Shihab, ahli ilmu-ilmu
Al-Qurãn lulusan Univer-sitas al-Azhar,
Mesir (1982) menulis dalam harian Pelita tanggal 29 Januari 1992:
… akal seringkali memunculkan aneka
pertanyaan yang dapat menghadang kemantapan iman. Tentu ada yang puas dengan
satu jawaban, tetapi bagaimana yang tidak puas? Apakah iman harus terus
dipertahankan? Dengan kata lain, apakah yang diimani harus dipahami?
Kemudian ia mengutip dalil
Soren Aabye Kierkegaard filsuf Denmark
yang mengatakan: Anda harus percaya bukan
karena tahu, tapi karena tidak tahu.
Kalau
begitu, kita ajukan pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bila yang kita imani
tidak perlu dipahami, beranikah kita mengatakan bahwa Al-Qurãn itu tidak perlu dipahami tapi cukup dipercaya
saja?
2. Dalam kehidupan
sehari-hari, bisakah kita mempraktikkan prinsip bahwa “kita percaya bukan
karena tahu tapi karena tidak tahu?” Bisakah – misalnya – kita mempercayai orang yang baru kita temui
di jalan, lalu menyuruhnya mengan-tarkan uang ke bank?
Bila pertanyaan pertama
dijawab dengan “ya”, maka Al-Qurãn itu bukan
petunjuk, bukan pedoman hidup, tapi cuma semacam jimat. Bila kenyataannya
demikian, maka pantaslah orang-orang yang mengaku Mu’min/Muslim itu kebanyakan
tidak mengenal ajaran agama mereka. Pantaslah bila pengakuan mereka tidak sama
dengan kelakuan dan perlakuan mereka. Lalu apakah yang bisa diharapkan dari
mereka? Akibat yang akan timbul adalah seperti yang dikatakan oleh nabi
Muhammad: Islam hanya tinggal nama, Al-Qurãn hanya tinggal tulisannya,
masjid-masjid ramai tapi sepi dari petunjuk.”
Bagaimana
pula bila pertanyaan kedua dijawab dengan “ya”? memang bisa saja kita
mempercayai sesuatu yang tidak kita ketahui. Misalnya, kita percaya bahwa bumi
ini bulat dan berputar mengelilingi matahari. Tapi kepercayaan ini tidak timbul
secara mendadak. Kita percaya karena pernah sekolah, mendengar keterangan darai
guru, membaca buku-buku, melihat gambar-gambar, dan banyak lagi masukan yang
akhirnya membentuk kepercayaan, membentuk opini. Alhasil, kepercayaan kita
tentang bumi itu bisa dikatakan karena tahu juga, meskipun tidak tahu secara
langsung.
Kita
tidak bisa percaya tanpa syarat. Tidak bisa percaya tanpa minta pembuktian,
baik pembuktian langsung atau melalui perantara. Misalnya, kita percasya
tentang adanya Allah, karena melihat bukti-bukti berupa segala hasil
ciptaan-Nya.
Quraish
Shihab juga mengutip gambaran hakikat iman dari seorang pakar bernama Al-Aqqad,
yang mengatakan: “Hakikat iman berbeda dengan hakikat pengetahuan. Iman
mempunyai kesamaan dengan rasa kagum … keduanya bersumber dari hati manusia.
Dua orang yang setingkat pengetahuannya dapat berbeda tingkat kekagumannya
terhadap satu obyek yang sama mereka ketahui, yang pertama mungkin mengaguminya
dan yang lain menilainya bioasa-biasa saja. Seorang awam boleh jadi tingkat keimanannya melebihi tingkat
keimanan seorang filsuf walaupun ia lebih dalam pengetahuannya.”
Bila
demikian, mengapa iman tidak disamakan pula dengan kekafiran, yang juga
bersumber dari hati manusia? (Perhatikan Surat al-Baqarah ayat 6-10). Dua orang
yang berpengetahuan setingkat dapat berbeda tingkat kekagumannya pada suatu
obyek yang mereka ketahui, karena kagum adalah soal selera. Dua orang yang
berpengetahuan sama belum tentu mempunyai pengetahuan yang sama tentang obyek
tyersebut. Yang satu mungkin mem-punyai pengetahuan yang luas dan mendalam,
yang lain mungkin hanya tahu sedikit saja. Malah bisa kita katakan bahwa rasa
kagum, juga “rasa-rasa” yang lain, seringkali tidak mempunyai landasan
pengetahuan obyektif.
Kenyataannya
memang demikianlah keadaan iman manusia pada umumnya: tanpa landasan
pengetahuan obyektif! Padahal Rasulullah menegaskan bahwa orang yang lebih
berpengetahuan justru lebih potensial untuk memiliki iman yang mantap. Dalam
suatu Hadits, misalnya, dikatakan bahwa ada enam golongan manusia masuk neraka
karena enam sebab; di antaranya adalah orang-orang dusun, yang masuk neraka
karena kebodohan mereka. Mereka menjadi (tetap) bodoh tentu karena malas
menuntut ilmu (Periksa Surat az-Zumar ayat 9)
Bahkan (dalam Surat Ali Imran
ayat 7) Allah menegaskan bahwa pernyataan “Kami beriman (terhadap Al-Qurãn)”
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Surat al-Isrã’ ayat 36, juga menegaskan bahwa
ilmu harus didahulukan dari sikap ikut-ikutan (percaya sebelum tahu). Ayat ini
bahkan bertentangan dengan pernyataan Quraish Shihab dalam tulisannya tersebut
bahwa “akal dapat mengetahui fenomena, dapat pula menciptakan pengetahuan,
tetapi tidak mampu menciptakan iman.” Bila per-nyataan Quraish Shihab ini
benar, tentu kita tidak perlu memiliki akal untuk beriman. Tapi itu mustahil
sekali. Karena, bukankah bila tanpa akal manusia sama dengan hewan?
Memang aneh,
mengapa begitu banyak orang yang mengesam-pingkan peran akal ketika berbicara
tentang iman? Padahal Al-Qurãn sendiri menyebutkan akal dengan berbagai bentuk
mor-fologinya paling sedikit dalam 23 Surat .
Mengapa kita seperti ingin menceraikan akal dengan iman, sedangkan sang
Pencipta sendiri menjadikan keduanya berpasangan?
Anda
khawatir kebebasan akal akan merusak iman, dan meng-ancam keberadaan agama?
Kekhawatiran itu hanya boleh ditujukan kepada agama tidak yang sesuai dengan
fitrah manusia. Akal yang bebas, bila yang dicarinya memang kebenaran, pasti
dapat mene-rima kebenaran agama yang benar. Akal yang bebas tidak bisa
ikut-ikutan untuk percaya asal percaya. Sebab kata Ibrahim al-Laqani dalam Nazham Jauharah at-Tauhid, “Orang yang
bertauhid hanya ikut-ikutan, imannya tidak akan bebas dari keguncangan.” (Idz kullu man qallada fï tawhidi imãnuhu lam
yakhlu min tardïd).[2]
Al-Qurãn,
sumber iman yang hakiki, adalah sebuah kitab yang berasal dari Pencipta
manusia, yang paling tahu kemampuan akal manusia, sehingga ia adalah Kitab yang
dapat dipahami oleh akal manusia. Karena Allah tidak membebani manusia dengan
beban yang tidak bisa dipikulnya (al-Baqarah ayat 286). Karena Islam adalah
agama yang sesuai dengan fitrah manusia (Ar-Rum ayat 30). Tidak ada yang tidak
masuk akal atau tidak bisa dipahami akal dalam agama ini, dalam kitab sucinya
(an-Nisa’ ayat 82). Kalau selama ini kita berpandangan sebaliknya, mungkin
karena kita tidak mengkajinya sesuai petunjuk-Nya, tapi mengikuti selera
masing-masing (Al-Jatsiyah ayat 23).
Dengan
doktrin yang mengatakan bahwa agama adalah urusan hati, dan bukan urusan akal,
kita dipaksa untuk percaya saja pada pernyataan yang paling ganjil pun. Kita
diharuskan membiarkan akal meronta seperti cacing kepanasan sampai ia mati.
Padahal konon agama diturunkan untuk petunjuk, bukan untuk jadi teka-teki yang
cuma bisa dijawab oleh Allah sendiri.
Karena
akalnya tidak mendapat jawaban dari agama, ada sebagian orang menuduh agama
sebagai candu atau penjara bagi akal manusia. Salahkah mereka? Barangkali di
antara mereka ada beberapa gelintir orang yang jujur, ingin mendapatkan
kebenaran, tapi para ahli agama menutupi kebenaran itu dengan mengatakan bahwa
agama bukan urusan akal, bahwa kita harus percaya saja tanpa harus memahami. Al-Islam mahjubun bil muslimin, kata
Muhammad Abduh.
Kebenaran Islam digelapkan oleh orang Islam
sendiri.
[1] Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat/Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan Tinggi Umum, hal. 195, Tim Penulis : Prof. DR. HM. Rasyidi, Drs. H. Harifuddin
Cawidu, Prof. DR. Zakiah Daradjat, Prof. Drs. H.A. Sadali, Teribitan Proyek
Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta, 1984.
[2] Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, KH. Saifuddin Zuhri, PT. Al-Ma’arif, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar