Analisis Îmãn (5)
Seperti Komputer
Ibarat komputer, otak membutuhkan dua jenis
‘makanan’ untuk bisa hidup. Makanan komputer yang pertama adalah listrik, yang
kedua adalah sistem operasi. Dengan hanya diberi aliran tenaga listrik,
komputer hidup. Tapi belum bisa bekerja. Karena baru bisa menarik input
dan menghasilkan output yang amat sederhana. Ia baru bisa bekerja
setelah diberi sistem operasi. Sistem operasi (operating system) inilah yang merupakan ‘program yang mengatur
fungsi internal komputer dan mengendalikan operasi komputer.”[1]
Setelah diberi sistem operasi, barulah komputer bisa menerima program-rogram
yang lain, yang membuatnya bisa dugunakan untuk menulis, berhitung, menggambar,
dan lain-lain. Sebelum diberi sistem operasi, komputer ibarat manusia yang baru
lahir, yang bisa melihat dan mendengar, namun belum bisa memahami segala
sesuatu yang dilihat dan didengarnya.
Sistem operasi komputer adalah program dasar
yang berfungsi sebagai ‘penerjemah’ program-program yang lain. Pada otak
manusia program dasar ini adalah bahasa. Bahasalah yang membuat otak manusia
bisa berpikir, mampu menyerap ilmu, apa pun jenisnya, sehingga manusia bisa
bergaul dengan lingkungannya.
Iman, seperti yang dapat kita pelajari dalam Hadits Jibril, pada
hakikatnya adalah sebuah ‘program’ yang diajarkan Allah melalui malaikat dan
rasul, lalu dibukukan menjadi sebuah kitab, yang diserap (dipahami) manusia
melalui proses belajar, dengan bahasa sebagai
alat utamanya.
Jadi bila sebuah hadits mengatakan: al-iiman ‘aqdun bil qalbi wa iqrarun bil-lisaani wa ‘amalun bil-arkaani,
maka perlu diingat bahwa hadits ini tidak bisa diterjemahkan secara harfiuah,
sebab cuma akan menghasilkan pemahaman yang dangkal dan melenceng dari tujuan.
Perlu diperhatikan bahwa ‘aqdun yang
berkedudukan sebagai kata benda pada hakikatnya adalah hasil kerja al-qalbu.
Bentuk kata kerjanya adalah ‘aqada yang secara harfiah berarti mengikat,
merajut, melekatkan, dan sebagainya. Dalam ayat di atas (Al-Hujarat/49:14),
iman disebut sebagai sesuatu yang ‘masuk’ (yadkhulu)
ke dalam kalbu. Dengan demikian iman adalah:
Hasil abstraksi (pemahaman) kalbu, yang
membentuk pola ucapan, dan mengarahkan segala tindakan (pada tujuan tertentu).
Atau, dalam bahasa Isa Bugis yang lebih
ringkas, berdasar pemahaman atas hadits tersebut, iman adalah pandangan dan
sikap hidup, dan lebih ringkasnya
lagi, iman adalah hidup.
Sedangkan dalam istilah psikologi, iman pada
hakikatnya adalah kepribadian.
Baik “pandangan dan sikap hidup” maupun “kepribadian”, pada hakikatnya adalah
hasil dari proses pemahaman atau proses belajar-mengajar (pendidikan) yang
terus-menerus, proses pengulangan yang terus-menerus, sehingga akhirnya
terbentuklah suatu pola tertentu baik dalam gaya
bicara maupun bertindak.
Bila pola tertentu itu menjadi ciri umum suatu
masyarakat, apalagi bila diwariskan secara terus-menerus, maka pola itu pun
menjadi kebudayaan dan atau peradaban.
Dengan kata lain, kebudayaan dan atau peradaban adalah iman dalam skala besar
dan luas.
D. Iman
Sebagai gaya Hidup
Bagian permukaan dari iman (segi kebahasaandan
perilaku) melahirkan gaya hidup, yang dalam bahasa Latin disebut ethos.
Ethos
dibentuk oleh etika, yang dalam bahasa Inggris disebut ethics dan dalam bahasa Arab disebut qawaa’idul-akhlaaq. Maka bagi yang memahami bahasa Arab, akan
semakin jelas bahwa gaya hidup adalah suatu “hasil bentukan”, bukan sesuatu
yang built-in (terpasang) sejak “dari
sononya”, bukan “bakat semula jadi” ; karena dalam bahasa Arab gaya hidup itu
disebut akhlãq, suatu istilah yang
berpangkal dari kata khalaqa
(menciptakan, menjadikan, membentuk, mengadakan, dsb.).
Berpangkal Etika
Etika adalah : Suatu sistem peraturan tentang
apa yang benar atau salah secara moral, khususnya peraturan yang diikuti
kelompok penganut agama atau orang-orang yang tergabung dalam kelompok profesi.[2]
Dalam kaitan dengan penganut agama, etika Kristen tertentu berbeda dengan etika
Islam. Dalam kaitan dengan kelompok profesi, kita mengenal apa yang disebut
“kode etik” (code of ethics), yaitu
etika yang mengikat setiap kelompok profesi. Dalam dunia kedokteran ada “kode
etik kedokteran”, dalam dunia kewartawanan ada “kode etik jurnalistik” , dan
seterusnya.
Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, yang
konon lahir karena manusia merenungkan sifat dan kelakuannya, sehingga akhirnya
berkembanglah pengertian tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi
karena pemikiran manusia begitu beragam, maka lahirlah berbagai aliran etika,
namun intinya terbagi menjadi dua aliran:
1.
Aliran
Intuisionisme yang mempercayai adanya bisikan hati atau
ilham. Bagi mereka, pandangan tentang baik dan buruk itu merupakan bawaan
(bakat), yang terpasang dalam perasaan manusia.
2.
Aliran
Empirisme, yang mengajarkan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman.
Kedua aliran itu kemudian ribut soal mana yang
disebut baik mutlak dan mana yang nisbi. Di antara mereka ada yang menjadikan
agama sebagai ukuran, ada yang mengajarkan bahwa yang paling banyaklah yang
paling baik, ada pula yang meyakini bahwa individu adalah penentu kebenaran.
Mana yang harus dipilih? Kita bisa mengatakan
bahwa kebenaran individu itu nisbi (relatif) dan karena individu itu kecil bila
dibandingkan dengan masyarakat, maka kebenaran individu itu dapat dikalahkan
oleh kebenaran masyarakat. Kemudian, bila kita gunakan agama sebagai tolok
ukur, bisa jadi satu individu dikatakan benar karena ia mematuhi agama.
Tapi bukankah jumlah agama juga tidak hanya
satu? Selain itu, dalam satu agama juga terdapat aliran-aliran, yang
memusingkan kita untuk menunjuk mana yang benar.
Al-Qurãn mengajukan satu rumusan bahwa konsep yang
benar itu berasal dari Allah. Bila manusia tidak menyetujui konsep Allah,
silakan membuat konsep sendiri. Tapi menurut Al-Qurãn
pula, manusia tak akan mampu membuat konsep yang setara dengan konsep Allah
meskipun bekerja sama dengan jin (Al-Baqarah
2:23-24; Al-Israa’
17:88). Dengan kata lain, konsep yang benar adalah konsep yang paling siap
menghadapi tantangan. Selain itu, Al-Qurãn
juga menegaskan bahwa konsep yang benar itu harus sesuai dengan fitrah (nature) manusia, dan harus mampu
menjamin manusia bebas dari ketakutan serta duka-ciata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar