Sabtu, 22 Oktober 2016

Analisis Îmãn (6)



E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut “bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya. Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya, kemunkaran  pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin yang  tinggal di tempat terpencil karena tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
            … iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat.[1]
E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah) segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi perilaku (fi’liyah). Ketiga segi inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar. Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut “bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya. Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku. Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang. Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.” Sebagai akibatnya, kemunkaran  pun terus merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa min syarrihi.
Manusia yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin yang  tinggal di tempat terpencil karena tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
            … iman itu hanya percaya dalam hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian, maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan … itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan, walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat.[2]
Kalimat yang terakhir (tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat), misalnya, sangat bertentangan dengan sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang kafir secara terang-terangan”! (Man tarakash-shalata faqad kafara jiharan)!



[1] Aqidah-Akhlak jilid 2 untuk Madrasah Aliyah Keas II, departemen Agama RI. Hal. 12.
[2] Aqidah-Akhlak jilid 2 untuk Madrasah Aliyah Keas II, departemen Agama RI. Hal. 12.

Tidak ada komentar: