E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan
mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian
terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah)
segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi
perilaku (fi’liyah). Ketiga segi
inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan
iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar.
Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama
kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain
diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang
terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan
hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut
“bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya
segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti
itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya.
Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam
yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika
adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu
kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak
mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan
lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan
qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan
mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku.
Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang.
Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.”
Sebagai akibatnya, kemunkaran pun terus
merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran
di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa
mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa
min syarrihi.
Manusia
yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang
di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin
yang tinggal di tempat terpencil karena
tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang
cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman
harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita
patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
… iman itu hanya percaya dalam
hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian,
maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan …
itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan
mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu
tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan,
walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya
karena tidak melakukan shalat.[1]
E. Ruang-Lingkup Iman
Etika apa pun yang digunakan manusia dalam hidupnya, pasti akan
mempengaruhi tiga segi kepribadiannya seperti yang disebut dalam uraian
terdahulu, yaitu segi kejiwaan (qalbiyah)
segi kebahasaan (lisaniyah) dan segi
perilaku (fi’liyah). Ketiga segi
inilah yang dimaksud ruang-lingkup, atau cakupan, atau wilayah, atau wawasan
iman.
Dari ketika segi tersebuit, segi kejiwaan menempati posisi dasar.
Ibarat bangunan, segi kejiwaan adalah fondasinya, yang harus dibangun pertama
kali dan harus dibuat sekokoh mungkin, karena di atasnyalah bagian-bagian lain
diletakkan. Bila fondasinya rapuh, bangunan tidak bisa ditegakkan.
Namun betapa pun pentingnya, fondasi adalah bagian bangunan yang
terkubur, tersembunyi di bawah tanah. Yang terlihat dari sebuah bangunan
hanyalah bagian-bagian yang terletak di permukaan tanah. Bila menyebut
“bangunan iman” segi kejiwaan adalah bagian yang tak tampak. Yang nampak hanya
segi kebahasaan dan perilaku. Bila kedua segi ini tampil baik, maka sudah pasti
itu mencerminkan keadaan jiwanya yang baik. Demikian juga sebaliknya.
Sehubungan dengan inilah sebuah Hadits memberikan gambaran demikian:
Man ra’ã minkum munkaran falyughayyir-hu bi-yadihi. Fa-in lam
yastathi’ fabilisaanihi. Fa-in lam yastathi’ fa-biqalbihi; wa dzalika
adh’aful-îmãni (HR. Muslim).
Siapa pun di antara kalian (yang mengaku Mu’min) melihat suatu
kemunkaran, maka sepantasnya ia turun tangan mengatasinya. Bila ia tak
mempunyai kemampuan untuk turun tangan, maka sepantasnya ia menggunakan
lidahnya. Bila bicara pun tak mampu, maka sepantasnya ia bereaksi dengan
qalbu-nya. Tapi inilah (pertanda) dari iman yang paling lemah.
Hadits ini mengingatkan bahwa segi kejiwaan yang lemah tidak akan
mampu berperan sebagai fondasi bagi tegaknya segi kebahasaan dan perilaku.
Karena itulah orang yang berjiwa demikian tidak mempunyai kemampuan juang.
Orang Jakarta bilang “nggak punya nyali.”
Sebagai akibatnya, kemunkaran pun terus
merajalela.
Sebuah Hadits Bukhari memberikan gambaran kebalikan dari gambaran
di atas:
Afdhalun-nãsi mu’minun yujãhidu fi sabilillaahi bi-nafsihi wa
mãlihi tsumma mu’minun fi sya’bin minasy-syi’ãbi yattaqillaha wa yada’u-nnãsa
min syarrihi.
Manusia
yang terbaik adalah mu’min yang mempertaruhkan diri dan hartanya dalam berjuang
di jalan Allah. Selainnya (yang bernilai sama dengannya) adalah mukmin
yang tinggal di tempat terpencil karena
tekadnya memelihara ajaran Allah membuatnya harus menjauhi masyarakat yang
cenderung berbuat buruk.
Kedua Hadits tersebut dengan tegas menekankan bahwa wawasan iman
harus mencakup tiga ‘wilayah’ yaitu kalbu, lisan, dan perilaku. Karena itu kita
patut heran bila al-Ghazali mengatakan:
… iman itu hanya percaya dalam
hati saja, sedangkan lisan hanya merupakan juru bahasa. Dengan demikian,
maka iman itu mesti ada sepenuhnya dalam hati sebelum dinyatakan dengan lisan …
itu pendapat yang jelas kebenarannya, tidak ada alasan selain keharusan
mengikuti keterangan Hadits Nabi, bahwa Iman itu percaya dalam hati. Iman itu
tidak akan lenyap dari hati, hanya karena tidak diucapkan dengan lisan,
walaupun mengucapkannya itu wajib, sama halnya dengan tidak lenyap iman hanya
karena tidak melakukan shalat.[2]
Kalimat
yang terakhir (tidak lenyap iman hanya karena tidak melakukan shalat),
misalnya, sangat bertentangan dengan sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang
yang meninggalkan shalat adalah orang yang kafir secara terang-terangan”! (Man
tarakash-shalata faqad kafara jiharan)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar