Selasa, 16 Desember 2014

Sekilas Tentang Surat Al-Ma’idah


Periode pewahyuan

Tema surat ini mengisyaratkan, dan ini didukung sejumlah hadis, bahwa surat ini diturunkan setelah perjanjian Hudaibiyah pada akhir abad 6 H atau pada permulaan abad 7 H. Karena itulah surat ini mengangkat masalah-masalah yang timbul dari perjanjian tersebut.
Pada waktu itu, Rasulullah bersama 1400 Muslim pergi ke Makkah untuk berumrah. Tapi kaum Quraisy, terdorong oleh rasa permusuhan mereka, menghalanginya, walau hal itu bertentangan dengan adat lama bangsa Arab. Setelah dilakukan perundingan yang sulit dan keras, dibuatlah perjanjian di Hudaibiyah, yang antara lain menegaskan bahwa Rasulullah dan rombongannya baru boleh berumrah tahun berikutnya. Hal itu merupakan peristiwa berharga bagi para Muslim, agar selanjutnya mereka melakukan cara yang benar untuk datang ke Makkah dengan keagungan Islam dan mencegah agar mereka tidak menghalangi orang-orang kafir untuk berhaji sebagai pembalasan atas perbuatan buruk mereka.
Melakukan pembalasan terhadap mereka tidaklah sulit, karena banyak orang kafir yang harus melalui wilayah kekuasaan Muslim dalam perjalanan mereka ke Makkah. Karena itulah pendahuluan surat ini menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan perjalanan haji, dan tema yang sama juga diulang dalam ayat 101-104. Perkara-perkara lainnya dalam surat ini juga muncul dalam periode ini.

Asbabu-nuzul
Surat ini diwahyukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari kondisi-kondisi yang berbeda dari masa penurunan surat Ali Imran dan An-Nisa. Pada waktu itu, pukulan akibat kekalahan dalam Perang Uhud membuat keadaan di sekeliling Madinah menjadi sangat berbahaya bagi kaum Muslim. Islam telah menjelma menjadi kekuatan tangguh, dan Negara Islam telah meluas sampai ke Najd di sebelah timur, sampai ke Laut Merah di sebelah barat, ke Suriah di utara, dan ke Makkah di selatan. Kekalahan dalam Perang Uhud tidak meruntuhkan tekad para Muslim. Hal itu malah mendorong mereka untuk berjuang lebih keras. Alhasil, berkat perjuangan yang tak kenal henti dan pengorbanan yang tiada tara, kekuasaan para suku yang mengitari mereka dalam radius 200 mil atau lebih, telah hancur. Ancaman Yahudi yang selalu menghantui Madinah telah disapu seluruhnya, dan Yahudi di bagian-bagian lain tanah Hijaz telah menjadi pembayar upeti ke Madinah. Usaha terakhir Quraisy untuk menekan Islam telah digagalkan melalui Perang Parit. Setelah kejadian itu, jelaslah bagi bangsa Arab bahwa sekarang tak ada lagi kekuatan yang mampu menghalangi lajunya pergerakan Islam. Kini Islam bukan lagi hanya doktrin yang menghuni pikiran dan hati tapi sudah menjadi sebuah Negara yang mendominasi setiap aspek kehidupan manusia yang hidup di dalamnya. Ini berarti bahwa kaum Muslim sudah dijamin untuk menjalankan cara hidup mereka tanpa ada hambatan.
Perkembangan lain juga terjadi pada masa itu. Peradaban Muslim telah berkembang seiring dengan asas-asas dan cara pandang Islam. Peradaban  ini sangat berbeda dari semua peradaban dalam segala seginya, dan membedakan dengan jelas antara Muslim dan non-Muslim dalam perilaku moral, sosial dan budaya. Masjid telah berdiri di semua wilayah, shalat telah dijalankan, dan imam untuk semua tempat dan suku telah ditetapkan. Hukum sipil dan kriminal delah dirumuskan secara rinci dan telah diberlakukan di seluruh lembaga pengadilan Islam. Peraturan dagang dan komersial lama telah digantikan dengan yang baru. Hukum nikah-talak, penyimpangan seksual, hukuman bagi pezina, pemitnah dan lain-lain telah ditetapkan. Perilaku mereka, cara bicara mereka, pakaian mereka, cara hidup mereka, budaya mereka dan lain-lain, telah terbentuk secara unik. Sebagai hasil dari perubahan-perubahan ini, kaum non-Muslim tak lagi bisa berharap bahwa para Muslim akan berbalik kepada keadaan lama mereka.
Sebelum perjanjian Hudaibiyah, kaum Muslim mengalami hambatan berat untuk berda’wah kepada kaum non-Muslim Quraisy. Tapi hambatan itu kemudian lenyap setelah perjanjian Hudaibiyah yang sepintas tampak seolah kaum Muslim kalah, padahal sebenarnya mereka menang. Hal ini bukan hanya membuat kaum Muslim merasa aman di dalam wilayah sendiri, tapi juga menjadi leluasa untuk berda’wah kepada orang-orang di sekitar mereka. Seiring dengan itu, Rasulullah pun mengirimkan surat-surat da’wahnya kepada para penguasa Persia, Mesir, Romawi, dan para pentolan Arab. Inilah keadaan yang berlangsung seiring dengan pewahyuan surat Al-Ma’idah.

Pokok-pokok bahasan
Surat Al-Ma’idah membahas, antara lain topik-topik di bawah ini.
1.       Perintah dan petunjuk tentang kehidupan beragama dan politik Muslim. Berkaitan dengan ini, peraturan tentang ibadah haji telah ditetapkan; pelaksanaan manasik dan penghormatan terhadap simbol-simbol ajaran Allah diperintahkan; dan segala bentuk hambatan atau gangguan perjalanan menuju Ka’bah telah diharamkan. Segala peraturan dan tata-cara versi jahiliyah telah dihapus. Makanan Ahli Kitab dihalalkan, dan menikahi wanita mereka dibolehkan. Teknis berwudhu dan mandi, juga tayamum, telah dijelaskan. Hukuman bagi pemberontak, pengacau dan pencuri telah dirumuskan. Minuman keras dan judi telah dinyatakan terlarang secara mutlak. Denda bagi pelanggar sumpah telah ditetapkan dan hukum pembuktian juga telah dicantumkan.
2.       Peringatan bagi para Muslim. Karena para Muslim telah menjadi bagian dari lembaga kekuasaan, timbul kekhawatiran bahwa mereka akan melakukan penyimpangan (korupsi). Dalam masa kejayaan yang penuh dengan ujian berat ini, Allah memperingatkan mereka berulang-ulang untuk berpegang teguh pada keadilan dan menjaga diri secara ketat dari perilaku salah yang telah diperbuat para pendahulu mereka dari Ahli Kitab. Mereka diperintahkan untuk berpegang teguh pada janji kepatuhan terhadap Allah dan rasulNya, dan untuk melaksanakan perintah dan larangan mereka, agar mereka selamat dari akibat buruk yang menimpa Yahudi dan Nasrani yang telah melanggar perjanjian. Mereka diperintah untuk melaksanakan ayat-ayat Al-Qurãn dan dilarang bersikap munafik.
3.       Peringatan bagi Yahudi dan Nasrani.  Seiring melemahnya kekuasaan Yahudi secara total, dan hampir semua tempat tinggal mereka di Arabia utara telah jatuh ke dalam kekuasaan Muslim, mereka diperingatkan berulang-ulang tentang kesalahan mereka, dan diajak untuk mengikuti Jalan Yang Benar. Pada saat yang sama, ajakan serupa juga ditawarkan kepada kaum Nasrani. Kesalahan iman mereka dijelaskan, dan mereka diwanti-wanti untuk mengikuti bimbingan Rasulullah. Namun perlu dicatat bahwa dalam surat ini tak ada seruan khusus kepada kaum Majusi (para pemuja api) dan kaum pemuja berhala, karena rupanya tak dibutuhkan da’wah khusus bagi mereka, mengingat perilaku mereka sama saja dengan kaum musyrik Arab secara umum. ***


***Sumber: Al-Quran Project, Saudi Arabia.

Tidak ada komentar: