Periode pewahyuan
Tema surat ini mengisyaratkan,
dan ini didukung sejumlah hadis, bahwa surat ini diturunkan setelah perjanjian
Hudaibiyah pada akhir abad 6 H atau pada permulaan abad 7 H. Karena itulah surat
ini mengangkat masalah-masalah yang timbul dari perjanjian tersebut.
Pada waktu itu, Rasulullah
bersama 1400 Muslim pergi ke Makkah untuk berumrah. Tapi kaum Quraisy,
terdorong oleh rasa permusuhan mereka, menghalanginya, walau hal itu
bertentangan dengan adat lama bangsa Arab. Setelah dilakukan perundingan yang
sulit dan keras, dibuatlah perjanjian di Hudaibiyah, yang antara lain
menegaskan bahwa Rasulullah dan rombongannya baru boleh berumrah tahun
berikutnya. Hal itu merupakan peristiwa berharga bagi para Muslim, agar
selanjutnya mereka melakukan cara yang benar untuk datang ke Makkah dengan
keagungan Islam dan mencegah agar mereka tidak menghalangi orang-orang kafir
untuk berhaji sebagai pembalasan atas perbuatan buruk mereka.
Melakukan pembalasan terhadap mereka
tidaklah sulit, karena banyak orang kafir yang harus melalui wilayah kekuasaan
Muslim dalam perjalanan mereka ke Makkah. Karena itulah pendahuluan surat ini
menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan perjalanan haji, dan tema yang sama
juga diulang dalam ayat 101-104. Perkara-perkara lainnya dalam surat ini juga
muncul dalam periode ini.
Asbabu-nuzul
Surat ini diwahyukan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari kondisi-kondisi yang berbeda dari masa
penurunan surat Ali Imran dan An-Nisa. Pada waktu itu, pukulan akibat kekalahan
dalam Perang Uhud membuat keadaan di sekeliling Madinah menjadi sangat
berbahaya bagi kaum Muslim. Islam telah menjelma menjadi kekuatan tangguh, dan
Negara Islam telah meluas sampai ke Najd di sebelah timur, sampai ke Laut Merah
di sebelah barat, ke Suriah di utara, dan ke Makkah di selatan. Kekalahan dalam
Perang Uhud tidak meruntuhkan tekad para Muslim. Hal itu malah mendorong mereka
untuk berjuang lebih keras. Alhasil, berkat perjuangan yang tak kenal henti dan
pengorbanan yang tiada tara, kekuasaan para suku yang mengitari mereka dalam
radius 200 mil atau lebih, telah hancur. Ancaman Yahudi yang selalu menghantui
Madinah telah disapu seluruhnya, dan Yahudi di bagian-bagian lain tanah Hijaz
telah menjadi pembayar upeti ke Madinah. Usaha terakhir Quraisy untuk menekan
Islam telah digagalkan melalui Perang Parit. Setelah kejadian itu, jelaslah
bagi bangsa Arab bahwa sekarang tak ada lagi kekuatan yang mampu menghalangi
lajunya pergerakan Islam. Kini Islam bukan lagi hanya doktrin yang menghuni
pikiran dan hati tapi sudah menjadi sebuah Negara yang mendominasi setiap aspek
kehidupan manusia yang hidup di dalamnya. Ini berarti bahwa kaum Muslim sudah
dijamin untuk menjalankan cara hidup mereka tanpa ada hambatan.
Perkembangan lain juga terjadi
pada masa itu. Peradaban Muslim telah berkembang seiring dengan asas-asas dan
cara pandang Islam. Peradaban ini sangat
berbeda dari semua peradaban dalam segala seginya, dan membedakan dengan jelas
antara Muslim dan non-Muslim dalam perilaku moral, sosial dan budaya. Masjid
telah berdiri di semua wilayah, shalat telah dijalankan, dan imam untuk semua
tempat dan suku telah ditetapkan. Hukum sipil dan kriminal delah dirumuskan
secara rinci dan telah diberlakukan di seluruh lembaga pengadilan Islam.
Peraturan dagang dan komersial lama telah digantikan dengan yang baru. Hukum
nikah-talak, penyimpangan seksual, hukuman bagi pezina, pemitnah dan lain-lain
telah ditetapkan. Perilaku mereka, cara bicara mereka, pakaian mereka, cara
hidup mereka, budaya mereka dan lain-lain, telah terbentuk secara unik. Sebagai
hasil dari perubahan-perubahan ini, kaum non-Muslim tak lagi bisa berharap
bahwa para Muslim akan berbalik kepada keadaan lama mereka.
Sebelum perjanjian Hudaibiyah,
kaum Muslim mengalami hambatan berat untuk berda’wah kepada kaum non-Muslim
Quraisy. Tapi hambatan itu kemudian lenyap setelah perjanjian Hudaibiyah yang
sepintas tampak seolah kaum Muslim kalah, padahal sebenarnya mereka menang. Hal
ini bukan hanya membuat kaum Muslim merasa aman di dalam wilayah sendiri, tapi
juga menjadi leluasa untuk berda’wah kepada orang-orang di sekitar mereka.
Seiring dengan itu, Rasulullah pun mengirimkan surat-surat da’wahnya kepada
para penguasa Persia, Mesir, Romawi, dan para pentolan Arab. Inilah keadaan yang
berlangsung seiring dengan pewahyuan surat Al-Ma’idah.
Pokok-pokok bahasan
Surat Al-Ma’idah membahas, antara
lain topik-topik di bawah ini.
1.
Perintah dan petunjuk
tentang kehidupan beragama dan politik Muslim. Berkaitan dengan ini,
peraturan tentang ibadah haji telah ditetapkan; pelaksanaan manasik dan
penghormatan terhadap simbol-simbol ajaran Allah diperintahkan; dan segala
bentuk hambatan atau gangguan perjalanan menuju Ka’bah telah diharamkan. Segala
peraturan dan tata-cara versi jahiliyah telah dihapus. Makanan Ahli Kitab
dihalalkan, dan menikahi wanita mereka dibolehkan. Teknis berwudhu dan mandi,
juga tayamum, telah dijelaskan. Hukuman bagi pemberontak, pengacau dan pencuri
telah dirumuskan. Minuman keras dan judi telah dinyatakan terlarang secara mutlak.
Denda bagi pelanggar sumpah telah ditetapkan dan hukum pembuktian juga telah
dicantumkan.
2.
Peringatan bagi para
Muslim. Karena para Muslim telah menjadi bagian dari lembaga kekuasaan,
timbul kekhawatiran bahwa mereka akan melakukan penyimpangan (korupsi). Dalam
masa kejayaan yang penuh dengan ujian berat ini, Allah memperingatkan mereka
berulang-ulang untuk berpegang teguh pada keadilan dan menjaga diri secara
ketat dari perilaku salah yang telah diperbuat para pendahulu mereka dari Ahli
Kitab. Mereka diperintahkan untuk berpegang teguh pada janji kepatuhan terhadap
Allah dan rasulNya, dan untuk melaksanakan perintah dan larangan mereka, agar
mereka selamat dari akibat buruk yang menimpa Yahudi dan Nasrani yang telah
melanggar perjanjian. Mereka diperintah untuk melaksanakan ayat-ayat Al-Qurãn
dan dilarang bersikap munafik.
3.
Peringatan bagi Yahudi
dan Nasrani. Seiring melemahnya
kekuasaan Yahudi secara total, dan hampir semua tempat tinggal mereka di Arabia
utara telah jatuh ke dalam kekuasaan Muslim, mereka diperingatkan
berulang-ulang tentang kesalahan mereka, dan diajak untuk mengikuti Jalan Yang
Benar. Pada saat yang sama, ajakan serupa juga ditawarkan kepada kaum Nasrani.
Kesalahan iman mereka dijelaskan, dan mereka diwanti-wanti untuk mengikuti
bimbingan Rasulullah. Namun perlu dicatat bahwa dalam surat ini tak ada seruan khusus
kepada kaum Majusi (para pemuja api) dan kaum pemuja berhala, karena rupanya
tak dibutuhkan da’wah khusus bagi mereka, mengingat perilaku mereka sama saja
dengan kaum musyrik Arab secara umum. ***
***Sumber: Al-Quran Project, Saudi Arabia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar