Kamis, 28 November 2013

Tanda Orang Menguasai Bahasa

Bagaimana tandanya bahwa seseorang layak disebut sudah menguasai suatu bahasa?

Bahasa itu seperti iman!

Maksud Anda?

Tentang iman, menurut hadis Abu Daud, adalah ‘aqdun bil-qalbi wa iqrãrun bil-lisãni wa ‘amalun bil-arkãnI(i). Yaitu, gampangnya, sesuatu yang ada di dalam kalbu, diungkapkan melalui lisan, dan diwujudkan dengan anggota badan. Atau dalam hadis versi Ibnu Najjar, yang dimulai dengan kalimat sangkalan: Laisal-îmãnu bit-tamanni wa lakinal-îmãnu mã wuqira fil-qalbi wa iqrãrun bil-lisãni wa ‘amalun bil-arkãnI(i). Iman bukanlah sesuatu yang berupa angan-angan atau khayalan, tapi sesuatu yang ‘menetap’ di dalam kalbu, dan seterusnya, sama seperti versi Abu Daud. …


Hubungannya dengan penguasaan bahasa?

Ibnu Khaldun, misalnya, konon membuat rumusan tentang ‘trik’ penguasaan Bahasa Arab. Menurutnya,  penguasaan bahasa Arab dimulai dengan penguasaan kosakata (mufradat), kemudian penguasaan tata bahasa (ilmu sharf dan nahwu), penguasaan ilmu sastra, dan terakhir adalah banyak membaca karya-karya bermutu dari para sastrawan ternama.

Dengan kata lain, langkah pertama untuk menguasai suatu bahasa adalah penghafalan kosa kata?

Ya! Anda tak akan bisa menguasai bahasa apa pun bila tidak mau menghafal kosa katanya. Kenyataannya belajar bahasa adalah identik dengan pekerjaan menghafal.

Tapi… Saya rasa,  justru menghafal itu yang paling sulit ya?

Benar! Dan itu bisa menjebak! Membuat kita terperosok ke dalam kebingungan, bahkan keputus-asaan!

Lho, kok bisa?

Banyak orang memulai belajar suatu bahasa dengan menghafal kosa kata. Tapi, setelah hafal begitu banyak kosa kata, mereka tidak juga bisa menggunakan bahsa yang mereka pelajari.

Mengapa? 

Karena langkah itu memang salah!

Persisnya, di mana letak kesalahannya?

Karena berbahasa adalah soal menggunakan kalimat untuk berkomukasi,  bukan kata…

Tapi, … Bukankah ibu kita mengajari kita bicara dengan mengajarkan kata demi kata, bukan kalimat?

Nah! Anda baru menyebut contoh terbaik bagaimana mengajarkan sebuah bahasa! Ibu kita, memang, mengajar kita berbicara dengan mengajarkan kata demi kata, bukan kalimat. Tapi ingat! Ia mengajarkan kata dalam konteks kalimat, bukan secara lepas!

Jelasnya?

Ketika ibu kita menyuarakan kata makan, misalnya, apakah ia hanya bicara?

Eh,… Tidak. Ibu mengatakan demikian sambil menyodorkan makanan…

Nah! Berarti, yang ia ucapkan dengan satu kata makan itu sebenarnya satu kalimat, bukan?

Satu kalimat? Maksud Anda?

Tadi kan Anda bilang bahwa ibu mengatakan makan sambil menyodorkan makanan! Bahkan bukan hanya itu. Ia bahkan memeluk kita, tersenyum, dan memancarkan pandangan penuh kasih-sayang. Itu berarti bahwa di dalam kata makan tersebut terkandung banyak makna yang ia coba komunikasikan. Dengan kata lain, kata makan itu sebenarnya setara dengan sebuah, atau beberapa buah kalimat!

Hm, ya, ya saya mengerti. Tapi, apa hubungannya dengan “langkah  yang salah” tadi? Maksud saya, dalam memulai mempelajari suatu bahasa?

Jadi, masalah sebenarnya begini. Kosa kata itu memang perlu dikuasai, harus dihafal. Tapi bukan asal dihafal. Kosa kata itu harus dihafal berdasar konteksnya masing-masing, di dalam ketiga aspek bahasa.


Apa pula tuh “aspek bahasa”?

Dalam hubungannya dengan diri kita,  penguasaan bahasa itu harus melalui tiga aspek, yaitu pikiran, ucapan, dan tindakan. Ingat! Ketika Anda berpikir, atau memikirkan sesuatu, maka pada saat itu sebenarnya Anda sedang menggunakan bahasa. Dan kenyataannya, kita memang tidak bisa berpikir tanpa menggunakan bahasa. Dengan kata lain, sebelum menjadi alat komunikasi, pertama-tama bahasa adalah alat berpikir.

Ya, ya, ya!

Dan, ketika Anda berpikir, apakah Anda hanya menggunakan satu kata?

Tentu saja tidak!

Jadi, berapa kata yang Anda gunakan?

Eh… Pasti banyaklah!

Terus, apakah Anda menggunakan kata yang banyak itu secara terpisah, secara acak-acakan?

Tidak.

Jadi, bagaimana cara Anda menggunakan kata-kata itu?

Eh, tentu… dengan cara menyusunnya dalam kalimat-kalimat!

Nah! Sekarang sudah jelas, bukan? Kita berpikir. Berarti kita menggunkan bahasa. Dan ketika kita menggunakan bahasa, kita menggunakan banyak kata, yang kita susun dalam kalimat-kalimat. Kesimpulannya apa?

Kata-kata yang tidak tersusun dalam kalimat-kalimat tidak bisa digunakan untuk berpikir!

Cerdas!

Terus?

Ya… itu tadi… Langkah pertama untuk belajar bahasa bukanlah dengan menghafal kosa kata, tapi dengan langsung menggunkan kalimat-kalimat, untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan.

Setelah itu?

Kita mulai memasuki aspek atau dimensi kedua dari kegiatan berbahasa, yaitu mengucapkan kalimat-kalimat, alias berbicara. Ini mutlak harus dilakukan.

Mengapa?

Pernah mendengar tentang orang yang menguasai suatu bahasa secara pasif?

Ya!

Tahu maksudnya?

Eh… Orang itu bisa membaca, mendengar… Dia memahami bacaan dan pembicaraan orang lain dalam suatu bahasa tertentu, tapi…

Tapi, dia tidak bisa berpikir dengan menggunakan bahasa itu!

Ooo, begitu ya?

Ya. Bukankah berpikir itu berarti menggunakan suatu bahasa, dan berbicara itu adalah mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran?

Ya.

Jadi, kalau Anda tidak bisa berpikir dengan suatu bahasa, bagaimana Anda bisa berbicara dengannya? Berarti, Anda telah gagal dalam satu segi, bukan?

Eh,… ya, ya! Tapi, bagaimana kalau saya bisa berpikir, tapi tetap tidak bisa berbicara?

Berarti Anda gagal pada dimensi kedua. Yaitu kurang atau tidak berlatih untuk mengucapkan apa yang anda pikirkan.

Hm… Ya. Kadang saya malu untuk mengucapkan kata-kata. Ada perasaan takut salah. Takut dicela atau ditertawakan.

Ya. Begitulah kebanyakan orang dewasa. Mereka lupa pengalaman di waktu kecil, ketika mereka mengucapkan apa pun tanpa beban. Tanpa takut atau malu kalau-kalau ucapan mereka salah. Dan, sebenarnya, bukankah kita mengucapkan semua kata, pada mulanya, adalah secara salah?

Ya, ya! Tapi, waktu kecil, semua kesalahan kita dalam mengucapkan kata-kata, adalah hiburan, adalah hal yang menyenangkan semua orang dewasa!

Nah! Mengapa sekarang, dalam tahap kita belajar satu bahasa, tidak berusaha bersikap seperti anak kecil saja? Mengapa harus takut atau malu ditertawakan orang? Mengapa tidak berpikir bahwa kesalahan atau kekeliruan kita dalam berbicara adalah hiburan bagi orang lain, yang sudah lebih dulu pandai?

Yang sudah lebih dulu pandai?

Ya! Artinya mereka juga, sebelum pandai, tentu pernah melalui tahap-tahap salah dan keliru!

Hm, ya, benar juga. Jadi, memulai dengan menghafal kosa kata adalah langkah yang salah ya?

Ya. Karena itu saya senang ketika menemukan sebuah buku berjudul lã Taskut (Jangan diam… !!!).

Wah, buku apa tuh?

Panduan praktis percakapan Bahasa Arab! Saya suka judulnya. Jangan diam.  Jangan pasif. Belajar bahasa itu bukan hanya belajar berpikir, tapi belajar mengungkapkan pikiran.

Tapi, bagaimana pun, sebelum itu… tetap saja kita harus punya hafalan kosa kata kan?

Benar sekali. Hafalan kosa kata itu mutlak harus ada. Tapi, yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana caranya. Jangan sampai kita punya banyak hafalan kosa kata tapi tidak bisa kita gunakan untuk berpikir, dan – otomatis – berbicara!

Jadi, masalahnya adalah teknis penghafalan itu?

Iya. Teknik, atau kiat, itulah masalahnya.

Jadi, bagaimana kiatnya?

Kembali kepada empat tahapan yang dirumuskan Ibnu Khaldun: 1. penguasaan kosa kata, 2. penguasaan tata bahasa, 3. penguasaan ilmu sastra, 4. banyak membaca karya-karya bermutu. Tahap pertama, penguasaan kosa kata dengan cara menghafal, kita lewati saja.

Kita lewati?

Tepatnya, kita siasati.

Dengan cara?

Menghafal sambil jalan! Yaitu melalui cara memahami kalimat, mengucapkannya, dan seterusnya sampai pada tahap membaca karya-karya bermutu itu… Secara perlahan tapi pasti, hafalan kosa kata akan bertambah. Dengan demikian pula, kita bukan hanya hafal kata-kata, dan tahu arti harfiahnya, tapi kita juga bisa memahami setiap kata sesuai dengan konteksnya; baik konteks kalimat maupun wacana.

Apa perbedaan konteks kalimat dengan konteks wacana?

Sederhananya begini. Setiap kata, secara lingkup kecil, terikat dalam konteks (kaitan) kalimat. Dan, dalam lingkup besar, setiap kata dalam satu kalimat terikat dalam konteks kalimat yang terikat dalam konteks sebuah wacana.

Misalnya?

Kalau saya katakan, “Hati wanita itu terbakar.” Anda mengeti maksud saya?
Ya, mengerti. Tentu yang anda maksud ‘terbakar’ itu bukan dalam arti harfiah kan?
Ya. Anggap saja misalnya terbakar api cemburu. Kalimat tadi, sudah jelas atau belum?

Ya, sudah jelas. Ada seorang wanita yang merasa cemburu.

Tapi, apakah dalam kalimat itu sudah jelas mengapa wanita itu cemburu, dan kepada siapa ia cemburu?

Mungkin karena ia punya pacar, dan pacarnya didekati wanita lain yang lebih cantik darinya!

Nah! Itu baru mungkin, menurut anda. Tapi, untuk mendapatkan pemahaman yang pasti, anda tidak bisa menggunakan cara itu.

Lantas?

Anda harus tahu wacana seutuhnya, yang diceritakan oleh wanita itu.  Misalnya dia mengisahkan bahwa dia adalah seorang istri yang setia, tapi belakangan dia mulai melihat suaminya sering mengobrol dengan istri tetangga barunya yang cantik. …

Kalau begitu, saya tahu mengapa dia cemburu, dan kepada siapa ia cemburu.

Anda bukan hanya tahu, tapi tahu dengan pasti. Mengapa? Karena Anda tidak lagi menggunakan kata mungkin begini atau mungkin begitu. Dengan demikian, Anda memahami kata cemburu dalam konteksnya yang benar.

Hmm, begitu ya? Oke, oke…!

Tidak ada komentar: