Al-Qurãn is not a book to read but a book to remember.
Demikian kata seorang ustadz muda, yang saya simak ceramahnya di
internet.
Kalau anda lihat seorang pendeta atau pastor berceramah, bisa
dipastikan mereka berbicara sambil memegang kitab, yang sesekali mereka buka
untuk membacakan satu-dua ayat. Tapi hal itu jarang kita temui dilakukan oleh
para mubaligh kita. Mengapa? Karena dalam agama kita ada tradisi untuk
menghafal Al-Qurãn dan hadis, bahkan pepatah serta syair berbahasa Arab. Itulah yang
dimaksud oleh ustadz muda di atas. Al-Qurãn bukan sebuah buku yang (hanya) untuk dibaca dan atau dibacakan
teksnya, tapi terutama, dengan membacanya, kita harus menindak-lanjuti
dengan mengingat (menghafal) apa yang
dibaca.
Al-Qurãn berisi hukum Allah. Dengan menghafalnya, hukum itu sudah berpindah
dari buku ke dalam kepala.
Asumsi
sebagai hambatan utama
Seorang muslim punya kewajiban untuk melaksanakan shalat minimal 5
kali sehari, dan bacaan dalam shalat adalah Al-Qurãn, terutama surat Al-Fatihah, yang disambung dengan surat-surat
lain. Jadi, menghafal Al-Qurãn – seluruhnya atau sebagian – adalah konsekuensi logis karena
menjadi muslim.
Sayangnya, banyak muslim yang mengalami kesulitan atau hambatan
dalam menghafal Al-Qurãn, dan hambatan utama untuk itu sebenarnya berasal dari asumsi
(anggapan) mereka sendiri, yang memandang pekerjaan menghafal sebagai sesuatu
yang sulit. Asumsi itu pun sering kali diperkuat oleh doktrin dari orang-orang
yang mengambil “jurusan ilmu pasti”, yang beranggapan bahwa menghafal adalah
pekerjaan tidak kreatif dan buang-buang waktu, bahkan bisa mengganggu aktifitas
yang lain.
Asumsi dan doktrin itu kedua-duanya salah besar.
Nabi kita adalah penghafal Al-Qurãn yang pertama. Bila ada yang berani mengatakan beliau tidak
kreatif, tolong ingatkan bahwa beliau adalah pemimpin revolusi bangsa Arab yang
belum ada tandingannya. Bila menghafal Al-Qurãn dianggap bisa mengganggu aktifitas lain, ingatlah bahwa beliau
adalah seorang guru, pemimpin umat, pemimpin militer, dan banyak lagi tugas
yang harus ditangani beliau. Semua tugas bisa beliau tunaikan dengan baik, dan
Al-Qurãn pun
bisa dihafal beliau secara utuh. Kok bisa?
Ada dua jawaban untuk pertanyaan itu.
Pertama, Nabi Muhammad bebas dari asumsi
buruk dan atau peismisme apa pun tentang Al-Qurãn. Bahkan sebaliknya, beliau tentu paham betul segala sisi baik
Al-Qurãn, bagi kehidupan
sekarang maupun nanti, bagi diri pribadi dan semua orang yang mau beriman
dengannya.
Kedua, beliau tahu betul teknik yang
benar untuk menghafal Al-Qurãn!
Bagaimana?
Intinya adalah sebagai berikut:
1. Dengar.
2. Baca, baca, dan baca.
3. Pahami.
4. Bawa ke dalam shalat.
5.
Bacakan
(ajarkan) kepada orang lain.
Rumus
sederhana tapi mujarab
Rumus yang diterapkan Rasulullah itu digamblangkan oleh para
penghafal Al-Qurãn menjadi , antara lain, demikian:
1. Bikin target hafalan 5 ayat
2. Baca ayat pertama 20 kali
3. Baca ayat kedua 20 kali
4. Baca ayat ketiga 20 kali
5. Baca ayat keempat 20 kali
6. Baca ayat kelima 20 kali
7.
Baca
ayat 1-2-3-4-5, 20 kali
Penetapan target hafalan 5
ayat diambil dari beberapa hadis yang menceritakan bahwa para sahabat setiap
mengajar Al-Qurãn, mereka mengajarkan tak
pernah lebih dari 5 ayat. Dengan catatan mereka tidak hanya mengajarkan ilmu
tapi juga praktiknya.
Berdasar dalil itulah, kemudian ada yang menghafal Al-Qurãn sehari 5 ayat, seminggu 5 ayat, dan sedikitnya sebulan 5 ayat.
Tanamkan
sugesti yang baik
Tanamkan ke dalam diri sendiri self sugest (asumsi diri) yang
baik. Jangan menganggap otak anda bebal, sulit menghafal, sulit mengingat,
gampang lupa, pelupa, dan sebagainya. Jangan kaitan otak anda dengan usia yang
sudah tua, banyak beban, banyak yang harus dipikirkan, dan sebagainya. Itu
semua adalah hambatan yang anda ciptakan sendiri. Selagi anda bertahan dengan
sugesti diri seperti itu, tak ada rumus atau orang yang bisa menolong.
Saya adalah orang yang selalu sedih setiap bulan Ramadhan tiba,
karena sedikitnya hafalan Al-Qurãn saya. Tapi sejak kecil saya selalu disebut orang sebagai pemilik
otak yang cerdas. Samapi tua, saya pun selalu merasa bahwa saya memang bukan
orang bodoh. Saya tidak sulit menghafal. Satu-satunya yang saya rasakan sebagai
hambatan dalam menghafal adalah karena saya seorang penulis. Lho, mengapa?
Penulis adalah orang yang otaknya tak pernah kosong dari ide-ide
yang menuntutnya untuk terus berpikir dan menulis. Kapan pun dan di mana pun
otaknya selalu memikirkan ide-ide dan menuntutnya untuk segera berhadapan
dengan alat tulis (sekarang komputer). Ketika mengerjakan sesuatu, melihat
sesuatu, mendengar sesuatu, mengobrolkan sesuatu, mempertanyakan sesuatu,
ditanyai sesuatu, membaca sesuatu, apa pun… hampir semua mendatangkan ide-ide
untuk ditulis.
Dengan otak yang selalu penuh dengan ide-ide, menghafal Al-Qurãn menjadi sangat sulit. Ide-ide itu menjadi musuh bagi pemusatan
pikiran (konsentrasi) untuk menghafal.
Demikian yang saya rasakan selama ini.
Tapi benarkah demikian. Kenyataankah itu? Atau hanya ilusi? Tidak
bisakah saya memberontak terhadap ‘sugesti diri’ yang demikian itu?
Beberapa hari lalu, saya ingat rumus di atas itu.
Suatu hari, sambil menonton televisi, saya membawa empat buah buku,
sebuah mushhaf Al-Qurãn, dan sebuah laptop. Satu buku berisi cerita tentang keadaan di
masa-masa setelah Rasulullah wafat, saya letakkan di atas lantai sebelah kanan.
Satu buku adalah novel tentang seorang sufi yang jatuh cinta kepada seorang budak, saya taruh di bawah
buku pertama. Satu buku lainnya berisi rumus-rumus ilmu nahwu berbahasa Inggris
yang akan saya terjemahkan, saya letakkan di kanan, di dekat laptop. Dan satu
lagi adalah buku pelajaran tata bahasa Al-Qurãn, saya geletakkan di belakang laptop.
Apa yang hendak saya lakukan?
Saya ingin membuktikan apakah menghafal Al-Qurãn bisa dilakukan secara sambilan? Pertanyaan itu timbul karena saya
sering mendengar beberapa teman mengeluh tidak bisa menghafal karena banyak dan
padatnya kesibukan mereka.
Saya nyalakan laptop sambil melirik televisi.
Sambil menunggu laptop melakukan loading, saya baca buku
pertama yang berukuran kecil (buku saku). Selesai membaca satu halaman, saya
berpindah ke buku kedua. Selesai membaca dua halaman, saya ambil mushhaf Al-Qurãn, memilih 5 ayat yang hendak dihafal.
Sambil melirik laptop yang sudah
menampilkan desktop, dan kemudian saya klik aplikasi Microsoft Word,
saya membaca ayat pertama, satu kali. Terus saya baca lagi sambil berhitung
dengan menggunakan jari-jari tangan kanan yang saya telakkan di atas paha. Setelah hitungan
kelima, saya mengambil buku ketiga, dan kemudian saya mengetik, mencoba
menerjemahkan satu rumus. Setelah itu, saya meneruskan lagi membaca ayat tadi,
terus hingga mencapai hitungan 20 kali.
Sudah selesai mengulang 20 kali?
Saya bertanya pada diri sendiri sambil melihat layar televisi, kemudian meraih
buku keempat, membuka dan menatap dua halamannya sepintas. Kemudian saya
berdiri, mengambil supidol, dan mulai menulis di white board.
Apa yang saya tulis di white
board? Ayat yang saya baca 20 kali
tadi!
Ternyata saya bisa menulisnya di white
board tanpa melihat mushhaf!
Jadi, terjawab sudah pertanyaan
saya tadi.
Menghafal Al-Qurãn ternyata – juga – bisa dilakukan secara sambilan!
Saya gembira sekali.
Esoknya saya mengulang hal yang
sama, sambil iseng-iseng menyetel TV yang sedang menyiarkan pertandingan final
piala Eropa 2012 (saya bukan pengemar bola).
Alhasil, ketika banyak orang
bereuforia karena kesebelasan Spanyol menjebloskan bola 4 kali ke gawang
Italia, saya sendiri berhasil menghafal 5 ayat.
Al-hamdu lillah.∆
Tidak ada komentar:
Posting Komentar