Tanggal 29
November 2013, atas permintaan seorang teman Facebook, saya menulis koreksian untuk
maklumat DR. Zakir Naik, yang agaknya disebarkan saudara-saudara kita di
Malaysia, tampak dari bahasanya yang berbunyi demikian:
Kita tidak
seharusnya menulis
“Insya
Allah”
karena ini
bermaksud menciptakan Allah
(Naudzubillah)
tapi
pastikan kita menulis
“In Shaa
Allah”
karena ini
bermaksud dengan izin Allah
Selebaran ini tak diragukan lagi merupakan terjemahan dari maklumat ZN yang
ditulis dalam bahasa Inggris, demikian:
We should
not write it as
“InshaAllah”
or “Inshallah”
Because it
means “Create
Allah” (Naozobil
lah). Wether
Arabic or
English.. please sure
You write it
properly as
“In shaa
Allah” (in 3 separate
words). This
means “If Allah
wills). So
make sure you
forward this
to everyone and
help them
correct their
mistake.
JazakAllah Khair.
Tanggapan
saya adalah seperti di bawah ini:
Ini contoh
aslinya dari surat 37:102: (… إِنْ شَاءَ
اللهُ). Perhatikan bahwa ini adalah kalimat syarat (conditional)
yang terdiri dari tiga unsur. Yang pertama, in, adalah harfu syarthin (conditional
particle), yang berarti: jika, seandainya dsb. Yang kedua, syã’a,
adalah kata kerja lampau yang berarti hendak atau menghendaki. Yang ketiga, jelas
itu “lafzhul-jalalah” (istilah untuk nama Allah).
Yang sulit
di sini adalah penulisan dua kata yang terakhir (شَاءَ اللهُ) ke dalam
huruf Latin. Masalahnya, pada kata Allah terdapat hamzah washl, yaitu
huruf alif yang lebur ketika terletak di antara dua kata. Karena itu, saya
memilih untuk menyambung kedua kata tsb., sehingga menghasilkan tulisan seperti
ini: “in syaAllah”; atau ketiga-tiganya saya sambung: insyaAllah, yang
akan dibaca orang Indonesia secara relatif sama dengan tulisan dalam huruf aslinya
dan atau ucapan asli dari pembicara aslinya.
Kadang saya
juga menulis seperti ini: in syaAllah(u), untuk menegaskan bahwa yg menjadi
subjek di situ adalah Allah (ditandai huruf u dalam kurung, sebagai tanda i’rab
marfu, yang memastikan Allah sebagai subjek).
Perhatikanlah
ini! Bila saya menulis “insyAllah(a)” atau in syaAllah(a), misalnya, maka Allah
menjadi objek!
Sedangkan
untuk contoh yang diajukan ZN di atas (lihat gambar), tulisan aslinya yang
benar, dalam arti akan membuat pembaca awam membaca secara relatif benar,
seharusnya: “inyã’ullah(i)”. Dalam ilmu nahwu, ini namanya tarkîb idhãfi
(= kata majemuk). Artinya adalah “peciptaan Allah”, dan ini belum tentu
menempatkan Allah sebagai objek! Dalam kalimat “ini adalah konsep penciptaan
Allah”, misalnya, yang dibicarakan adalah “konsep penciptaan” menurut Allah,
bukan penciptaan Allah.
Dalam hal
ini, Zakir Naik melakukan kekeliruan secara bahasa (sharaf) ketika ia
memberi contoh frasa insyaAllah atau inshallah sebagai berati
menciptakan Allah (create Allah), karena bila bermakna demikian, maka
jelas bahwa kata insya (اِنْشَاءٌ) bukanlah kata
kerja, tapi mashdar, yang jelas masuk ke dalam kelompok kata benda. Dan
bila memang yang dimaksud adalah mashdar, maka tulisan aslinya adalah insyã’an
(ingat bahwa mashdar adalah isim manshub), dan ketika digabung dengan kata Allah,
dalam susunan idhãfah, maka insyã’an ini berubah menjadi insyã’u
(tanwinnya hilang karena menjadi mudhaf ilaih); sehingga hasil gabungannya
adalah insyã’ullahi, dan arti harfiahnya adalah penciptaan Allah (Allah’s
creation) bukan menciptakan (to create) Allah.
Sedangkan
contoh yang diberikan ZN di bawahnya (lihat gambar), jelas itu adalah ejaan
versi bahasa Inggris. Di sana gabungan huruf s dan h (sh) adalah ‘padanan’
untuk s dan y (sy) dalam ejaan kita (Indonesia).
Perlu diperhatikan pula cara ZN menulis “Naozobil lah” dan “JazakAllah”, yang jelas merupakan
kekeliruan. Yang pertama, bila sengaja, kata yang ditulis ZN sebagai Naozobil
lah seharusnya (bagi kita) adalah: na’udzu billah. Ini juga frasa yang
terdiri dari 3 unsur, yaitu kata kerja (na’udzu), partikel (bi),
dan lafzhul-jalalah (Allah). Begitu pula penulisan JazakAllah, yang
benar adalah JazãkAllah(u) atau jazaakAllah(u). Atau
bisa juga ditulis Jazãkallah(u) atau jazaakallah(u), tanpa
menggunakan huruf besar, mengingat dalam bahasa Arab tidak ada huruf kapital
(tidak ada huruf besar/kecil).
ZN juga
kurang atau tidak memperhatikan bunyi huruf akhir dari setiap ucapan, yang
dalam bahasa Arab justru sangat menentukan makna. Hal ini bisa dimaklumi bila
orientasinya adalah “pengucapan”, dan bukan “penulisan”. Tapi jelas, melalui
maklumatnya itu, dia justru mengorekasi cara penulisan (ke dalam ejaan
Inggris). Lucunya, kita (orang Indonesia, dan juga Malaysia) menyebarkan
maklumat itu kepada orang Indonesia (dan Malaysia), yang jelas mempunyai cara
yang berbeda dalam melakukan transliterasi (penyalinan huruf) bahasa Arab!
Sekali lagi,
mohon diperhatikan! Cara penulisan yang pasti benar adalah seperti dalam huruf
aslinya, dan cara pengucapan yang benar adalah seperti pengucapan penutur
aslinya. Dengan demikian, tanggung jawab para da’i adalah mengajak umat untuk
mengenal huruf dan bahasa asli Al-Qurãn…
Jadi, yang
perlu diperhatikan secara khusus di sini adalah bahwa penyalinan huruf
(transliterasi) dari bahasa apa pun ke dalam bhs Indonesia, tujuannya adalah menjaga
sedemikian rupa agar kita mengucapkannya secara relatif sama dengan pembicara
aslinya. Dan harap dicatat bahwa prinsip inilah yang menjadi penyebab lahirnya ilmu
tajwid. Yaitu ilmu yang dibuat untuk memelihara pelafalan kata dan pengucapan
kalimat yang ‘benar’, seperti yang dilakukan para penutur bahasa (native
speeker) aslinya. (Ilmu tajwid dikembangkan pada saat Islam sudah masuk ke
berbagai tempat dan dianut oleh bangsa-bangsa selain Arab). Karena itu, saya tak setuju dengan
pihak yang cenderung menyalin kata-kata Arab dengan mengacu pada huruf-huruf
aslinya, karena bisa menghasilkan kesalahan ketika dibaca (diucapkan) oleh
orang awam (tak mengerti bahasa Arab, bahkan tak tahu huruf Arab). Contoh:
tulisan “bayt(u) al-Laah(i)” tentulah membingungkan orang awam, dibandingkan
“baitullah”.
Akhir kalam,
saya menganjurkan dengan sangat agar para muslim/muslimah mengalokasikan waktu
mereka untuk mempelajari bahasa kitab suci mereka, supaya tidak tetap dalam
kebutaan, yang otomatis selalu rawan untuk digiring ke arah yang salah. ▲
Tidak ada komentar:
Posting Komentar