Senin, 28 November 2016

Allah Kok Kalah Sama Yahudi?


Sejak awal membaca kebakaran Israel, yang oleh sebagian orang dianggap adzab, saya berkata dalam hati, “Lihat! Mereka bisa memadamkan tidak?!
Bila mereka bisa memadamkan, berarti mereka bisa menandingi Allah! Dan itu jelas tidak mungkin.
Lalu, kebakaran itu, siapa penyebabnya?
Pertanyaannya sama dengan ketika gedung kembar WTC ‘katanya’ ambruk karena terbakar setelah ditabrak pesawat. Kok bisa? Secara ‘pengalaman’ dari dulu juga banyak gedung yang terbakar, tapi semua tetap tegak, tidak ambruk. Kalau begitu, ambruknya kenapa dooong?
Nah, ini, kembali ke soal kebakaran itu, penyebab logis kebakarannya bisa dilacak, dan bisa dikumpulkan sebanyak mungkin kambing hitam. Tapi pertanyaan besar saya adalah, kok bisa mereka memadamkan dalam waktu relatif singkat? Bila itu adzab dari langit, kok bisa mereka melawan kekuatan Allah?
Kemungkinan paling logis, itu bukan adzab, tapi sandiwara Yahudi. Terlalu gegabah untuk menyimpulkan itu adzab, bahkan bisa dipolisikan karena menghina Allah. Sekali lagi, kok bisa sich Allah dikalahkan Yahudi?
Tapi, bila sandiwara, kok bisa sich? Itu biayanya sangat mahal lho!?
Haha!
Apa sich di dunia ini yang mahal bagi Yahudi? Uang ada di tangan mereka!  Dengan uang, yang  berarti kekuatan dunia, di tangan mereka, mereka bisa membangun Negara sebesar Amerika atau yang lebih besar lagi. Pendeknya, mereka bisa membeli dunia!
Dengan uang di tangan, mereka bisa membangun ulang Negara Israel dengan mudah; apalagi ditambah sandiwara minta sumbangan dari Negara Eropa dan Amerika. Apalagi ditambah sumbangan tenaga kerja dari ahli sampai kuli dari seluruh dunia, termasuk dari Palestina.
Apa sich yang sulit bagi Yahudi?
Terus?
Saya stop dulu dech nulisnya sampai di sini.
Lihat saja apa yang bakal terjadi berikutnya.
Anjuran saya, teruslah jadi penonton yang baik; supaya dunia ini benar-benar jadi ‘rumah sendiri’ bagi yang mulia Yahudi, dan bangsa-bangsa selainnya menjadi kuli.
*Bakasi, 29 November 2016, 9:53 AM.

Senin, 21 November 2016

Analisis Îmãn (21)


Pemilik gagasan penentu makna
Teori Isa Bugis, yang menegaskan bahwa bahasa Al-Qurãn bukan Bahasa Arab, tapi serumpun dengan Bahasa Arab, jelas merupakan teori yang kotroversial; yang antara lain, menyebabkan dia divonis sesat. Tapi di balik itu, sebenarnya kita patut menghargai usahanya untuk memurnikan makna Al-Qurãn, teruma supaya selamat dari pengaruh ‘bentuk kesadaran’ (pikiran; paham; isme) bangsa Arab yang belum tentu Islami. Pada dasarnya, Isa Bugis hanyalah salah seorang yang menginginkan agar Al-Qurãn dipahami secara apa adanya (objektif) dari Allah, bukan menurut paham-paham (isme-isme) manusia, apakah manusia Arab atau bukan.
Sudah jelas bagi kita bahwa bahasa apa pun dalam sebuah wacana, apakah lisan atau (lebih-lebih) tulisan, penentu kandungannya (maknanya) adalah narasumbernya. Isa Bugis sendiri mengatakan bahsa Bahasa Nur, ternyata, bisa digunakan oleh orang atau bangsa berkesadaran Zhulumat. Jadi, kembali pada kenyataan bahwa penentu kandungan sebuah bahasa (dalam sebuah wacana) adalah narasumber atau pengguna bahasa itu sendiri.
Dalam hal Al-Qurãn, apakah bahasanya disebut Bahasa Arab atau Bahasa Nur, jelas bahwa narasumbernya adalah Allah. Dengan demikian, penentu kandungan (maknanya) adalah Allah. Dan itu bukan berarti bahwa untuk memahami Al-Qurãn harus bertanya kepada Allah sebagai satu dzat (oknum), misalnya dengan menunggu mati. Tidak sama sekali.
Lantas, bagaimana caranya supaya kita bisa memahami Al-Qurãn menurut Allah? Untuk menjawab pertanyaan itu, selain mengajukan teori “Al-Qurãn menurut Sunnah Rasul”, Isa Bugis juga mengajukan rumus yang disebutnya “teori makna”.
Istilah “Al-Qurãn menurut Sunnah Rasul” timbul dari pemikiran bahwa, di satu sisi, Al-Qurãn adalah sebuah wacana (gagasan), yang tentu bersifat abstrak; dan, di sisi lain, Sunnah Rasul adalah perwujudan atau pembuktian dari Al-Qurãn, yang sifatnya tentu konkret. Jelasnya, bagi Isa Bugis, Sunnah Rasul adalah Al-Qurãn dalam bentuk nyata, dan otomatis Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn berjalan.
Lebih lanjut, Rasulullah (dengan sunnahnya) adalah uswah (teladan; pola) bagi para mu’min yang hendak mewujudkan Al-Qurãn. Jadi, bagi Isa Bugis, Al-Qurãn sebagai gagasan, pembuktiannya dalam tafsir maupun kehidupan, harus menurut (meneladani; ikut pola) sunnah rasul. Dengan catatan – sekali lagi – bahwa sunnah rasul adalah pembuktian atau perwujudan Al-Qurãn. (Ingat juga bahwa akhlaq Rasulullah adalah Al-Qurãn; dan akhlaq adalah sebutan lain untuk kepribadian).
Dalam hal teori makna, Isa Bugis mengajukan empat asas yang berlaku di kalangan akademis sebagai rumus kebenaran, yaitu:
1.       Metode ABC (sudut pandang; paradigma), sebagai rumusan awal untuk membentuk pola pikir bahwa Al-Qurãn berasal dari A (Allah), yang diajarkan kepad B (Rasul), untuk menjelaskan C (semesta alam, termasuk manusia);
2.       Sistematika, yang menjelaskan bahwa Al-Qurãn sebagai wacana mempunyai (1) Pendahuluan, (2) Uraian, dan (3) Kesimpulan;
3.       Analitika, yang terbagi menjadi (1) Pembuktian, dan (2) Keterangan pembuktian. Pada prinsip yang ketiga ini, sebenarnya Isa Bugis menjelaskan bahwa Al-Qurãn sebagai wacana pasti ada perwujudannya, baik di masa sekarang (misalnya dalam bentuk Sunnah Rasul Muhammad), maupun di masa lalu, yang keterangannya terdapat dalam ayat-ayat sejarah masa lalu.
4.       Objektivita, yaitu terdapatnya kecocokan atau klopnya gagasan dan pembuktian.
Melalui paparannya tentang teori makna inilah, Isa Bugis membuat pernyataan bahwa “bahasa tidak menentukan mana”, yang sayangnya disalah-pahami oleh banyak muridnya, sebagai pernyataan bahwa bagi mereka belajar dan menguasai bahasa itu tidak penting; apalagi bila dikaitkan dengan Bahasa Arab, yang nota bene mewakili Islamisme (isme atau paham subjektif yang disandarkan kepada Islam). Padahal, Isa Bugis sendiri mengajarkan bahasa mulai dari ilmu sharf, nahwu, sampai sastra. Begitulah, kaum yang mengidolakan seorang tokoh kadang gagal paham, baik sebagian maupun seluruh pemikiran si tokoh itu sendiri!
Tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn
Yang menarik, dan yang membuat studi bahasa sebenarnya menjadi penting dalam konsepnya, Isa Bugis mengajarkan sesuatu yang di kalangan ulama dikenal sebagai tafsirul-Qurãn(i) bil-Qurãn(i) (Tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn), yang oleh ulama sendiri dianggap sebagai metode tafsir tertinggi, setelah metode-metode tafsir dengan atsar (harfiah berarti jejak) sahabat sampai seterusnya metode terendah, yaitu tafsir dengan pendapat pribadi (bi-ra’yi).
Dalam uraian tentang sistematik Al-Qurãn, Isa Bugis memaparkan Al-Qurãn sebagaimana buku-buku lain, mempunyai sistematik (susunan) yang terbagi menjadi (1) Pendahuluan, yaitu surat Al-Fatihah (2) Uraian, yaitu surat-surat panjang dan (3) Kesimpulan, yaitu surat-surat pendek. Untuk menegaskan surat Al-Fatihah sebagai pendahuluan, dalilnya adalah hadis yang menyebut Al-Fatihah sebagai ummul-kitab. Sedangkan untuk surat-surat pendek sebagai kesimpulan dalilnya adalah, antara lain, hadis yang menyebut Al-Ikhlash sebagai (setara; merangkum) sepertiga Al-Qurãn. Dengan demikian, dengan sendirinya surat-surat selain Al-Fatihah dan Al-Ikhlash adalah bab uraian Al-Qurãn.
Sebagai ummul-quran, bagi Isa Bugis surat Al-Fatihah adalah jawaban dari surat Al-‘Alaq, dan sekaligus (surat Al-Fatihah) merupakan inti dari Al-Qurãn, yang dijelaskan oleh surat-surat panjang, dan disimpulkan surat pendek; sehingga bila kita ingin mengetaui makna surat Al-Fatihah secara utuh, maka harus dibaca surat-surat panjang. Dan bila ingin menyimpulkan surat-surat pendek, harus kembali pada surat Al-Fatihah.
Kamus Al-Qurãn
Isa Bugis sangat menekankan pentingnya memahami ilmu-ilmu bahasa (sharf, nahwu, sastra). Khusus untuk ilmu-sharf(i), ia mengajarkan betapa pentingnya ilmu ini, terutama dalam konteks pengkamusan Al-Qurãn.
Isa Bugis menegaskan bahwa Al-Qurãn bahwa ayat-ayat Al-Qurãn itu sifatnya ayatin bayyinatin (satu ayat dengan ayat yang lain saling menjelaskan), seperti yang disebut dalam Al-Qurãn itu sendiri (An-Nur ayat 1), dan sebuah dalil populer yang berbunyi: innal-qur’ana yufassiru ba’dhuhu ba’dhan. (Sesungguhnya sebagian dari  Al-Qurãn itu menafsirkan bagian yang lain). [1]
Untuk membuat dalili-dalil tersebut menjadi petunjuk teknis, Isa Bugis menghubungkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain dengan rumusan ilmu sharaf. Yaitu bila dalam satu ayat terdapat kata fa’ala, misalnya, maka ayat-ayat lain yang mengandung kata yang sama dikumpulkan. Dengan demikian, pengertian kata fa’ala bisa diketahui baik dalam arti luas maupun sempit berdasarkan Al-Qurãn sendiri. Inilah gambaran praktis tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn! Dan inilah gambaran bagaimana menyusun kamus Al-Qurãn. Tapi, mengapa Isa Bugis yang sudah pengajar sejak awal 1960an, dan menulis banyak diktat, tidak pernah menghasilkan sebuah kamus? Ini adalah pertanyaan yang diajukan para pengkritik dan pihak-pihak yang menganggapnya sesat. Jawabannya adalah karena “rumus” pengkamusan itu agaknya diajarkan Isa Bugis sebagai sebuah sistem yang harus dihidupkan dalam diri setiap pelajar Al-Qurãn; bukan untuk melahirkan sebuah buku bernama kamus Al-Qurãn!
Satu catatan penting dalam hal ini; rumus pengkamusan Al-Qurãn yang diajarkan Isa Bugis tidak akan bisa berjalan bila para pelajarnya tidak menguasai ilmu sharaf; kecuali bila mereka hanya menjadikan diktat-diktat Isa Bugis sebagai rujukan. Dengan kata lain, mereka hanya menghubung-hubungkan satu ayat yang sudah diterjemahkan Isa Bugis dengan ayat-ayat dan surat-surat lain, yang juga sudah dioterjemahkan Isa Bugis. Inilah memang yang dilakukan kebanyakan murid Isa Bugis.
Lebih jauh, Isa Bugis juga mengajarkan bahwa penguasaan ilmu sharaf adalah syarat mutlak untuk bisa membuka kamus bahasa Arab (1). Dan kamus yang dijagokannya adalah Al-Munjid. Sebuah kamus yang terbit di Beirut, Libanon, dan ditulis oleh orang Prancis (Louis Ma’luf). Langkah berikutnya, ilmu sharaf juga akan membantu para pelajar untuk buka indeks Al-Qurãn.
Indeks Al-Qurãn yang dipopulerkan Isa Bugis di tengah murid-muridnya adalah Fathur-Rahman, yang lengkapnya berjudul Fathur-Rahman Li-Thalibi Ayatil-Qurãn.
Tapi perlu dicatat secara khusus di sini adalah kenyataan bahwa sedikit sekali di antara murid-murid Isa Bugis yang memiliki kamus dan indeks tersebut.
Jadi, ketika Isa Bugis mengatakan, “Saudara-saudara harus membaca buku-buku yang saya baca,” kebanyakan muridnya hanya asyik membaca diktat-diktat yang ditulis Isa Bugis dan atau yang mereka salin dari kuliah-kuliahnya sejak awal tahun 1960an. ***



[1] Dalil ini ada yang menyebutnya sebagai hadis, ada pula yang mengatakan hanya perkataan seseorang (ahli tafsir?).

Kamis, 17 November 2016

Analisis Îmãn (20)


BAHASA ALLAH DAN NABI
Suatu hari di tempat pengajian, saya mendapat pertanyaan yang sangat menarik dari seorang peserta, “Di antara banyak ragam dan dialek bahasa Arab yang ada sekarang, bahasa Arab manakah yang dulu digunakan oleh Nabi Muhammad dalam pergaulan sehari-hari?”
“Pertanyaan bagus!” saya bilang. “Dan jawabannya adalah: tentu saja yang beliau gunakan bukanlah bahasa seperti yang tertulis di dalam mushhaf Al-Qurãn sekarang. ...”
“Jadi, bahasa Al-Qurãn itu bukan bahasa percakapan Nabi Muhammad dan bangsanya pada waktu itu?” Dia mengejar.
“Bukan!”, kata saya. “Bahkan bahasa Al-Qurãn, bukanlah bahasa percakapan Nabi Muhammad dengan umat Islam sendiri.”
“Jadi, beliau berbicara dengan bahasa apa?”
Saya tertawa, lalu balik bertanya, “Menurut anda, beliau bicara dengan bahasa apa?”
“Dengan bahasa Arab tentunya. Tapi yang belum jelas bagi saya adalah bahsa Arab yang mana? Karena seperti yang Bapak sebutkan, di Timur Tengah sekarang ada banyak macam logat bahasa Arab. Dan di antara semua itu, saya bertanya, bahasa Arab negara manakah, atau suku apakah, yang dulu digunakan Nabi Muhammad?”
Saya balik bertanya,“Ingatkah anda bahwa Nabi Muhammad itu orang Quraisy?”
“Ya, ya, tentu saja saya ingat.”
“Nah, dengan demikian, bukankah bisa kita simpulkan bahwa beliau menggunakan logat bahasa Arab Quraisy?”
“Ya, betul. Saya pun berpikir demikian. Tapi masalahnya, apakah suku Quraisy itu sekarang masih ada?”
“Masih,” kata saya. “Bahkan ada yang menetap di Indonesia, yaitu Quraish Shihab!”
“Bapak bisa aja! Tapi beliau kan berbicara dengan bahasa Indonesia!”
“Betul, betul, betul. Dan saya juga memang bertanya seperti pertanyaan anda. Masih adakah suku Quraisy di Timur Tengah, dan masihkah mereka menggunakan bahasa yang sama seperti di zaman Nabi Muhammad?”
“Waduh, pertanyaan sulit ya, Pak?”
“Saya kira tidak sulit. Dan tidak harus mencari-cari orang Quraisy. Sangat mudah. Begini. Sekarang ini di hadapan kita kan ada dua teks Islam yang kedua-duanya diakui sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Nah, bukankah kita tahu bahwa Al-Qurãn berisi kata-kata (firman) Allah, dan hadis, antara lain, berisi kata-kata (sabda) Nabi Muhammad. Tidakkah kita bisa menyimpulkan bahwa bahasa yang digunakan Nabi Muhammad dulu adalah seperti yang terekam di dalam teks hadis?”
Sang penanya dan para hadirin terdiam, dan saya pun gembira menemukan jawaban itu.
Persoalan berikutnya, kita bicara bahasa di sini adalah tentang bahasa sehari-hari Nabi Muhammad, yang tentu tidak sama dengan yang terdapat di dalam teks Al-Qurãn; tapi diduga keras (dan siapa bisa membantah?) bahwa beliau menggunakan bahasa seperti yang terdapat di dalam hadis.
Pertanyaan lebih lanjut,  bahasa apakah gerangan nama kedua bahasa yang terdapat dalam Al-Qurãn dan hadis?
Bahasa Arab!
Lalu, dialek-dialek yang digunakan di Mesir, Maroko, Saudi Arabia, dan lain-lain itu, bahasa
Apa?
Bahasa Arab.
Isa Bugis, dengan teori ya nisbah dan teori antropologinya, pada akhirnya menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (dialek?) Quraisy, yaitu bahasa yang katanya  digunakan oleh para nabi, dari Adam sampai Muhammad; yang berarti juga terekam dalam kitab Zabur Daud, Taurat Musa, Injil Isa, sampai Al-Qurãn Muhammad. Bahasa para nabi itulah yang oleh Isa Bugis disebut sebagai Bahasa Nur, dan selainnya adalah Bahasa Zhulumat.
Dan, ketika menyebut Quraisy, Isa bugis menyimpulkan bahwa suku Arab Quraisy adalah pengguna Bahasa Nur, tapi berkesadaran Zhulumat. Dengan kata lain, bila bahasa diibaratkan kemasan, maka Quraisy mengemas “bentuk kesadaran” Zhulumat dengan Bahasa Nur!
Selanjutnya, melalui teori nisbahnya yang lemah, dan teori antropologi bahasanya, Isa Bugis menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn “serumpun” dengan bahasa Arab.
Perhatikanlah! Bila bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (suku) Quraisy, dan suku-suku Arab lain mempunyai (dialek) bahasa Arab yang berbeda, dan itu semua oleh Isa Bugis disebut serumpun, maka dari rumpun apakah bahasa-bahasa (dialek-dialek) itu terlahir?
Bila kita perhatikan teori Isa Bugis, semua lahir dari Bahasa Nur, alias bahasa para nabi. Lalu, bila dikaitkan dengan teori yang ada, bahasa para nabi itu bahasa apa? Ternyata Isa Bugis mengarah pada kesimpulan bahwa Bahasa Nur itu adalah Bahasa Semite, yang secara antropologi berpangkal pada anak Nabi Nuh, yaitu Sam bin Nuh; sehingga kata Semite itu dalam ejaan Arabnya adalah Samyah (?). Isa Bugis bahkan membuat pemetaan demikian:
Bahasa Nur adalah bahasa pertama, yang selanjutnya melahirkan bahasa-bahasa:
1.      Rumpun Eropa
2.      Rumpun Mongol
3.      Rumputn Indo Semite
4.      Rumpun Arya
Kita tahu bahwa dari semua bahasa yang ada, yang paling mirip dengan bahasa Al-Qurãn adalah bahasa rumpun Semite, yang diakui Isa Bugis berasal dari bahasa Sam bin Nuh. Sedangkan bahasa-bahasa lain, yang berbeda jauh dari bahasa Semite, entah bagaimana bisa dikatakan bersumber dari Bahasa Nur (?).
Namun, pendapat adalah pendapat. Dia akan hidup sepanjang ada para pendukungnya. Tapi ingatlah bahwa “setiap kata harus ada pembuktian”. Pembuktianlah, dan bukan pendapat (asumsi) yang akan memastikan apakah sebuah pendapat mempunyai kekuatan nyata atau hanya khayalan sang narasumber dan para pendukungnya.
Fakta
Fakta berbicara bahwa kita hanya bisa menemukan dua teks yang dianggap dokumen-dokumen otentik sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Dengan catatan bahwa kedua-duanya menggunakan bahasa Arab, dan perbedaan bahasa keduanya bukalah karena ‘serumpun’ apalagi berbeda rumpun, misalnya seperti bahasa Mongol dan Eropa.
Penentu perbedaan bahasa Al-Qurãn dan bahasa hadis, bukanlah karena keduanya menggunakan jenis bahasa yang satu sama lain berbeda, tapi perbedaan itu hanya terletak pada “gaya bahasa”, atau uslub, seperti kata para ahli Bahasa Arab, atau style dalam istilah Bahasa Inggris.
Gaya bahasa ditentukan oleh para pengguna. Di Indonesia, misalnya, jelas bangsa Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia; tapi Bahasa Jurnalistik tentu berbeda dengan Bahasa Sastra, atau Bahasa Preman. Dan letak perbedaannya bukan pada jenis bahasanya, tapi pada gaya. Bahasa jurnalistik adalah tetap Bahasa Indonesia. Demikian juga bahasa sastra dan bahasa preman. Sekali lagi, jenis bahasa ketiganya tetap sama-sama Bahasa Indonesia, tapi gaya bahasa ketigiganya berbeda. Bahasa jurnaklistik adalah bahasa para wartawan. Cirinya ringkas, langsung, tidak berlebihan. Bahasa sastra adalah bahasa para sastrawan, yaitu bahasa yang digunakan para penulis novel, cerpen, puisi, yang cirinya adalah indah menurut persepsi individual mereka. Sedangkan bahasa preman adalah bahasa yang digunakan ‘anak-anak jalanan’, yang cirinya ‘kasar’, bersifat plesetan, dan sesuka mereka. Sering kali mereka tak peduli dengan tata bahasa.
Kembali pada bahasa Al-Qurãn dan hadis, dan bahasa Arab bangsa Arab sekarang, yang faktanya adalah Bahasa Arab. Perbedaan ketiganya hanya pada gaya bahasa, bukan pada jenis bahasa. Dan gaya bahasa itu ditentukan oleh pengguna.

Jadi, bahasa Al-Qurãn, faktanya, adalah susunan kosakata Bahasa Arab, yang digukanan oleh Allah dengan gaya Allah. Bahasa hadis adalah susunan kosakata Bahasa Arab yang, anta lain, digukanan oleh Nabi Muhammad, dengan gaya Nabi Muhammad, bila hadisnya berisi ucapan Nabi Muhammad. Dan bahasa bangsa arab adalah susunan kosakata Bahasa Arab yang digunakan dengan gaya (dialek) mereka masing-masing.

Analisis Îmãn (19)


Al-Qurãn : Imam dalam Rattil
Secara umum, Al-Qurãn adalah imam dalam segala segi kehidupan mumin. Secara khusus ia juga merupakan imam dalam mengkaji (rattil) dirinya sendiri. Pemahaman ini dapat kita simpulkan misalnya dari Suarat al-Baqarah ayat 185, yang antara lain menegaskan bahwa Al-Qurãn hudan li l-nasi wa bayyinatin  min al-huda wa l-furqan.
      Dalam penggalan ayat tersebut di atas tersirat keterangan demikian:
  1. Al-Qurãn secara keseluruhan adalah pedoman bagi seluruh umat manusia. Pedoman bagi manusia (hudan lin-nasi ) ini selanjutnya disebut sebagai al-Huda saja. Dengan kata lain al-huda adalah sebutan bagi Al-Qurãn sesuai dengan fungsi umumnya sebagai pedoman hidup manusia.
  2. Sebagai suatu pedoman umum kehidupan (sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya), Al-Qurãn juga mengandung pedoman yang bersifat teknis, yaitu penjelasan-penjelasan tentang bagaimana cara mengkajinya, yang dalam ayat tersebut disebut dengan bayyinatin  min al-huda atau al-Furqan.

Bayyinatin min al-huda secara harfiah berarti “penjelasan-penjelasan mengenai al-huda (Al-Qurãn)”. Dan makna ini dipertegas dengan istilah al-Furqan.
Furqan adalah bentuk masdhar dari faraqa, yang artinya sama dengan fashala, yaitu membagi, memisahkan, memilah, dan sebagainya.   Tapi bila kita kaitkan dengan Al-Qurãn sebagai suatu teks, maka dapat dikatakan bahwa fashala ini berarti : “membagi menjadi berpasal-pasal. Dengan kata lain, sebagai sebuah ‘buku’, Al-Qurãn itu terbagi menjadi sejumlah fasal atau bab, dan dengan sendirinya, setiap fasal tentu mengandung tema-tema yang berbeda.
Kemudian, bila dikaitkan dengan suatu urusan, maka faraqa bisa berarti wadhiha/tawadhaha/ittadhaha, atau bayyana, yaitu memberikan penjelasan sejelas-jelasnya, termasuk memberikan pembuktian yang berkaitan dengan urusan tersebut.
Ayat di atas jelas menggunakan kata bayyinat (jamak dari bayyinah) sebagai padanan untuk al-furqan, yang keduanya digunakan dengan qarinah makna refleksif[1] yaitu memantul ke dalam diri sendiri. dengan demikian jelaslah bahwa di dalam Al-Qurãn terdapat penjelasan mengenai hal-ihwal dirinya sendiri, termasuk penjelasan tentang bagaimana cara memahaminya. Hal ini juga secara jelas digambarkan dalam Surat al-Qiyamah ayat 17-19 sebagaia berikut:

Kami lah (Allah) yang berwenang melakukan kodifikasinya[2] serta tehnik pengkajiannya.
Maka bila telah Kami tetapkan tehnik pengkajiannya, ikutilah oleh mu tehnik pengkajian itu.
Selanjutnya, Kami pula lah yang berwenang memberikan penjelasan-(tafsir)nya.

Beberapa Hadits menguatkan keterangan-keterangan di atas, antara lain ada yang mengatakan bahwa: Inna l-qur’aana yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (sebenarnya Al-Qurãn itu terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling menafsirkan).
Singkatnya, kesepakatan bahwa Al-Qurãn adalah pedoman hidup menuntut adanya kesepakatan yang lain; yaitu bahwa pengkajian Al-Qurãn mutlak harus dilakukan; dengan penegasan bahwa hal itu pun mutlak harus dilakukan berdasar petunjuk Al-Qurãn (Allah) sendiri. Tentu saja ini bukan berarti tidak ada alternatif penafsiran. Alternatif untuk banyak model penafsiran terbuka lebar, dan itu sudah dilakukan banyak orang. Namun dengan hasil yang tidak pernah mampu mewujudkan kenyataan seperti yang pernah diwujudkan Rasulullah.

Asbabun-Nuzul
Kita memahami istialah asbabun-nuzul di sini tidak seperti yang dipahami kebanyakan orang, tapi dalam pengertian sebab-sebab serta tujuan diturunkannya Al-Qurãn kepada manusiaDalam berbagai ayat dinyatakan secara isyarat bahwa sebab penurunan Al-Qurãn adalah keadaan manusia yang telah hidup dalam azh-zhulumat (kegelapan), dan tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari kegelapan itu, hingga akhirnya hidup dalam kecerahan (an-nur). Dengan kata lain, Surat Ali-‘Imraan ayat 103, menegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan agar manusia bersatu-padu, saling kasih sayang, tidak berbaku-hantam.
Gambaran pragmatis ketika Al-Qurãn turun pada abad ke-7 M, dikemukakan Isa Bugis, sebagai berikut:

Kehidupan masnusia di belahan bumi bagian Barat, yaitu daerah-daerah Timur-Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika utara, berada dalam penjajahan Imperium Romawi. Sedangkan Kristenisme pada awal abad ke-7 M sudah menjadi alat Imperium Romawi sebagai akibat pembagian kekuasaan Kerajaan Langit dan Kerajaan Bumi. Sebelah Timur dari Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang sekarang disebut Iran, Irak, Afghanistan, dan Pakistan, berada dalam penjajahan Imperium Persia Baru. Di Jazirah Arab, sejak tahun 595 M kekuasaan nasional Quraisy menegakkan ajaran berdasar warisan nenek moyang. Sedangkan daerah Eropa Utara, Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan seluruh benua Amerika, kehiduapan manusia di sana masih biadab, dalam arti mereka masih berpakaian  ‘cawat’. Adapun kehidupan di benua Asia, termasuk Indonesia, bercokol kerajaan-kerajaan lokal yang memerintah berdasar ajaran Hindu/Budha, di mana raja-raja dinyatakan sebagai keturunan Dewa.[3]

Itulah gambaran seklias “kegelapan” yang dihadapi oleh Muhammad ketika ia menerima Al-Qurãn. Di mana-mana masnusia terjebak dalam sistem kehidupan  sosial-piramid, dengan berbagai versinya. Itulah yang menjadi alasan turunnya (asbabun-nuzul) Al-Qurãn, yakni seperti yang ditegaskan dalam Surat Ali-‘Imran ayat 103 tersebut, yaitu untuk menyelamatkan manusia dari jurang neraka hidup (di dunia ini).
Pada masanya nabi Muhammad, seperti juga nabi-nabi yang lain, mampu memimpin bangsanya untuk melaksanakan konsep Al-Qurãn. Tapi tak lama setelah ia wafat, bangsanya kembali ke dalam tradisi lama  mereka, sehingga situasi dunia pun kembali seperti saata sebelum Al-Qurãn turun.
Apakah hal itu terjadi karena Al-Qurãn lenyap,  naik kembali ke langit? Apakah Allah harus menurunkannya lagi seperti dulu?
Al-Qurãn maupun hadits menegaskan bahwa Muhammad adalah rasul Allah terakhir. Namun ini bukan berarti bahwa missi kerasulan sudah berakhir seiring dengan kematian Muhammad; karena missi tersebut hingga kini masih aman dalam kemasan Mushaf Al-Qurãn.
Mushaf Al-Qurãn masih ada di bumi. Konsepnyalah yang telah terbang kembali ke langit, atau terkubur dalam kelalaian manusia yang kembali asyik dalam ayunan sarang laba-laba. Dalam keadaan seperti ini, hanya mereka yang benar-benar hanif-lah yang akan merasa terpanggil untuk “menurunkan” Al-Qurãn kembali ke bumi.
Menurunkan Al-Qurãn kembali artinya adalah tindakan nyata dalam mengkaji ulang mushaf Al-Qurãn untuk menemukan maknanya yang murni. Untuk itu banyak sekali persiapan yang harus dilakukan si “Hanif”  ini. Salah satu di antaranya, ia harus mengkaji aspek kebahasaan Al-Qurãn. []






[1] Bhs. Inggris: reflexive, Arab in’ikasi
[2] kodifikasi: menyusun secara sistematis
[3] Pengantar Iman, salinan kelompok pengajian Bogor, 1981, dari naskah lebih awal.

Analisis Îmãn (18)



Atha’na: Kenyataan Iman
Atha’na adalah kelanjutan dari sami’na. Sami’na yang terdiri dari rattil dan shalat, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan penguasaan ilmu (Al-Qurãn). Bisa juga dikatakan bahwa sami’na adalah proses ‘aqdun bil-qalbi, yaitu penanaman ilmu ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan).
      Maka dengan demikian atha’na adalah: pertama, proses iqrarun bil-lisan, atau ‘pelisanan’ yaitu menyatakan secara verbal kebenaran ilmu, dan menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam kegiatan bertutur-kata. Kedua, proses ‘amalun bil-arkan, yaitu menjadikan ilmu sebagai faktor dominan dalam perilaku fisik. Dengan kata lain, sami’na adalah suatu kegiatan yang bertujuan  menjadikan ilmu sebagai “ruh” yang bukan saja menggerakkan tapi juga membuat gerakan fisik terarah.
Jelasnya, sami’na adalah suatu proses “peleburan” Al-Qurãn Al-Qurãn ke dalam kesadaran; sedangkan atha’na adalah proses pemunculan Al-Qurãn ke dalam kenyataan, sehingga segala konsep Al-Qurãn yang ghaib (abstrak) itu menjadi syahadah (nyata). Pelaksanaan kedua proses ini sangat membutuhkan “keinginan keras” atau “kerinduan yang memuncak” yanag dalam Surat al-Baqarah ayat 165, disebut dengan istilah asyaddu hubban. Keadaan inilah yang selanjutnya melahirkan tekad untuk melakukan jihad.
Jihad adalah istilah khas Islam untuk menyebut totalitas perjuangan dalam rangka mewujudkan Al-Qurãn ke dalam kenyataan. Istilah totalitas (totality) menegaskan bahwa perjuangan ini mencakup segala segi kehidupan. Karena itulah Nabi pun membagi jihad menjadi jihadul-akbar (perjuangan besar) dan jihadul-ashghar (perjuangan kecil). Gambarannya adalah seperti diungkapkan dalam sejarah; yaitu bahwa ketika pulang dari Perang Badar yang luar biasa dahsyat itu, nabi mengatakan, “kita baru saja pulang dari jihadul-ashghar untuk (selanjutnya menghadapi) jihadul-akbar.” Perkataan nabi ini mengejutkan para sahabat, sehingga mereka meminta Nabi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan jihad akbar itu. Nabi mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah jihadu-nafs. Orang biasa menerjemahkannya sebagai “perang melawan nafsu”. Di sini kita menyebutnya sebagaui “totalitas perjuangan dalam rangka memerangi nafsu”.

Jihadul-Akbar
      “Perang melawan nafsu’ adalah perang permanen (permanent) atau perang abadi, atau perang yang tidak berkesudahan, kekcuali bila para pelakunya sudah mati.
      Seperti disebutkan di atas, latar belakang sejarah kelahiran hadits tentang jihad itu adalah peristiwa Perang Badr, yaitu perang pertama dalam sejarah Nabi, yang di dalamnya Nabi memimpin 313 orang tentara dengan dukungan dua ekor unta, untuk melawan dedengkot Quraisy bernama Abu Sufyan yang memimpin 1000  orang tentara dengan dukungan 700 ekor unta (sebagai kendaraan logistik). Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Nabi. Sebanyak 70 orang tentara Quraisy tewas, dan sekitar 70 orang pula yang menjadi tawanan. Sedangkan di pihak Nabi hanya 14 orang gugur.
Perang Badr adalah perang defensif (bersifat bertahan, membela diri) pertama yang terjadi pada tahun 624 M atau sekitar dua tahun setekah Hijrah. Perang ini terjadi di Lembah Badr, di luar wilayah kota Yatsrib (Madinah). Bila digambarkan secara kiasan, ketika Perang Badr ini Nabi dan pasukannya keluar dari “rumah”  (Madinah) untuk menyongsong sekawanan perampok yang hendak menghancurkan rumah mereka. Setelah para perampok dikalahkan, Nabi bersama tentaranya kembali ke rumah. Tapi justru di dalam rumah itulah Nabi mengatakan bahwa mereka semua harus bersiap-siap untuk menghadapi jihadul-akbar.
Bila dipahami secara simbolik (perlambang), Perang Badr adalah perang dalam rangka mengusir musuh-musuh eksternal (dari luar). Inilah yang oleh Nabi disebut sebagai jihadul-ashghar. Sedangkan sekembali dari Badr, yang harus dihadapi adalah musuh-musuh internal (yang ada di dalam). Inilah jihadul-akbar.
Dalam skala kecil jihad akbar atau jihadul-nafs adalah perang dalam rangka menaklukkan nafsu-nafsu pribadi. Dalam skala yang lebih luas, cakupannya adalah penataan rumahtangga mumin. Termasuk ke dalam pengertian rumahtangga ini adalah negara, karena pada hakikatnya sebuah negara adalah sebuah rumahtangga dalam skala besar.
Jadi jihad akbar ini secara keseluruhan meliputi proses “Qur’ãnisasi perilaku individu dan masyarakat”. Dalam bahasa populer, jihad akbar adalah proses yang meliputi segala usaha untuk membuat individu dan masyarakat berdisiplin hukum (law enforcement). Masyarakat yang sadar hukum adalah masyarakat yang tidak membutuhkan polisi untuk memaksa mereka mematuhi peraturan. Mereka juga tidak membutuhkan pemimpin yang berwujud manusia, karena pemimpin mereka yang sebenarnya adalah hukum itu sendiri. Para petugas hukum hanya amenjadi lambang, atau ibarat pelumas untuk menjaga agar kesadaran hukum itu tidak aus atau berkarat. Dengan kata lain, jihad akbar adalah perjuangan untuk membuat Al-Qurãn menjadi imam; baik dalam setiap individu maupun dalam masyarakat, dan terutama dalam masyarakat; karena biasanya individu menjadi cenderung baik atau jahat karena pengaruh masyarakat (lingkungan). Dalam konteks negara, jihad melawan nafsu itu justru harus dimulai (dipimpin) kepala negara dan seluruh jajarannya, dengan menjalankan hukum positif secara istiqamah (konsisten). Bila tidak, misalnya dengan membiarkan masyarakat secara individual mengatur diri sendiri, maka perang melawan nafsu itu hanya akan menjadi omong kosong.

            Jihaadu l-Ashghar.
Seperti disebutkan di atas, jihadul-ashghar (perang kecil) adalah adalah perang untuk mengadapi musuh-musuh dari luar, atau jelasnya musuh-musuh yang melakukan serangan secara fisik (lahiriah) dengan sasaran yang bersifat fisik pula. Untuk itu dalam Surat al-Anfal ayat 60, 64-66, Allah mengingatkan:

            Bersiaplah selalu untuk menghadapi mereka (orang kafir) dengan mengerahkan segala daya yang kalian miliki, misalnya tentara berkuda, (mudah-mudahan dengan itu) kalian dapat membuat gentar musuh Allah yang (juga otomatis menjadi) musuh kalian; serta (untuk menghadapi bahaya) yang lain. Kalian tak akan tahu tentang mereka. (karena itu) Allah memberitahu tentang (kejahatan) mewreka (yang selalu menginginkan kehancuran kalian). Sebenarnya, apa pun yang kalian kerahkan demi menegakkan ajaran Allah, semua akan kembali menjadi keuntungan kalian juga. Tegasnya, kalian sama sekali tidak dipermainkan (oleh Allah).
Hai Nabi (Muhammad) begitu juga para mukmin yang menjadi pengikutmu, cukuplah Allah (dengan ajaran-Nya sebagai pegangan hidup).
            Hai Nabi! Siagakanlah para mumin untuk berperang. (sehingga, karena dipersiapkan sedemikian rupa) seandainya di antara kalian hanya ada duapuluh orang yang benar-benar tangguh, mereka akan mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada seratus orang (yang tangguh), mereka pasti dapat mengalahkan seribu orang kafir; karena orang-orang kafir itu tidak memahami (tujuan perjuangan mereka).
            Tapi sekarang (saat menghadapi Perang Badr dan perang-perang di awal Hijrah), Allah ringankan tugas kalian, karena menimbang keadaan kalian yang masih lemah. Namun (meskipun demikian), bila diantara kalian ada seratus orang yang tangguh, mereka pasti mempu mengalahkan duaratus orang. Dan bila di antara kalian ada seribu (yanbg benar-benar tangguh), mereka pasti mampu mengalahkan duaribu orang , karena mereka mematuhi konsep Allah. (Karena) sebenarnya Allah (melalui Sunnah-Nya) berpihaka kepada orang-orang yang tangguh (memmperjuangkan kebenaran)


Kamis, 03 November 2016

Analisis Îmãn (17)



4. Kemampuan Membaca
Sama dengan mendengar, membaca pun merupakan sarana input. Namun membaca memerlukan konsentrasi lebih banyak daripada mendengar, terutama karena ketika membaca telinga tetap bisa mendengar, dan mata bisa tergoda melihat pemandangan yang lain. Karena itu, untuk dapat membaca dengan baik, ada kalanya dibutuhkan situasi dan kondisi yang khusus. Surat Al-Muzzammil, misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa waktu yang sangat cocok untuk membaca (Al-Qurãn) adalah malam hari. Karena waktu malam itu asyaddu wath’an wa aqwamu qîlan (lebih potensial menancapkan dan mengokohkan kata-kata – ilmu).
Membaca sebagai prosedur input tentu bukan hanya membunyikan huruf-huruf tapi melakukan transfer (pemindahan) ilmu dari tulisan ke dalam otak.
Di satu segi, membaca berarti berusaha memahami isi suatu tulisan. Di segi yang lain, membaca juga merupakan usaha untuk membentuk pandangan hidup. Kegiatan membaca yang dilakukan untuk membentuk pandangan hidup otomatis akan membuat seseorang bersikap selektif (teliti) dalam menentukan bacaan. Bila ia ingin membentuk pandangan hidup dengan Al-Qurãn, maka Al-Qurãn akan menjadi bacaan utamanya. Bacaan-bacaan yang lain hanya akan dibacanya bila akan membantunya dalam meresapkan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, kemampuan membaca pada hakikatnya adalah kemampuan menyerap informasi dari bahan bacaan. Kemampuan ini tumbuh dengan bantuan kemampuan berpikir, mendengar, dan melihat. Dengan kata lain, kemampuan membaca adalah hasil dari suatu proses pendidikan dan latihan, bukan sesuatu yang timbul secara mendadak. Bahkan kemampuan dan kemauan umat Islam untuk membaca adalah salah satu hasil dari pergaulannya dengan Al-Qurãn. Bila umat Islam sekarang kebanyakan malas membaca, mungkin karena mereka tidak akrab dengan Al-Qurãn. Jelasnya, kegiatan membaca Al-Qurãn yang mereka lakukan baru sampai pada taraf membaca secara ritual, bukan membaca untuk menyerap informasi. Karena dengan membaca Al-Qurãn mereka tidak mendapat informasi, maka selanjutnya, sadar atau tidak, mereka menganggap bahwa membaca adalah pekerjaan yang tidak bermanfaat.

Kemampuan Menulis
Menulis sama dengan berbicara, yaitu sebagai sarana untuk melahirkan output atau berproduksi. Namun menulis lebih membutuhkan pengerahan daya otak daripada berbicara. Menulis bahkan boleh dikatakan sebagai sarana ujian tertinggi untuk menilai kemampuan berpikir seseorang. Mungkin karena itulah kebanyakan orang beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan istimewa, sehingga tidak bisa dilakukan sembarang orang. Ini adalah  pandangan keliru. Karena, seperti halnya berpikir, mendengar, bicara, dan membaca, menulis juga akan terasa gampang bila dibiasakan dengan sering melakukan latihan.
Latihan menulis pun tidak perlu dengan membuat tulisan-tulisan semacam artikel koran atau makalah ilmiah, tapi cukup diamulai dengan membuat catatan-catatan kecil, yang berisi kutipan-kutipan, rumus-rumus, ringkasan pelajaran, dan sebagainya. Namun dengan penekanan bahwa catatan-catatan itu harus ditulis dengan bahasa yang jelas, teratur, dan tidak bertele-tele. Di Indonesia rangsangan untuk menulis sangat kurang, sehingga para sarjana pun kebanyakan tidak mempunyai kemampuan menulis yang memadai. Sedangkan di negara-negara maju kegiatan menulis, terutama di sekolah-sekolah, sangat didorong, sehingga para pelajarnya pun rata-rata mampu melahirkan gagasan dalam tulisan yang cukup baik.
Kebiasaan menulis sangat diperlukan untuk mengasah otak, melatih bersikap teliti, dan mengungkap gagasan dengan rujukan yang jelas.
Kemampuan menulis sangat menunjang proses dawah, karena dengan tulisan ilmu dilestarikan, dan disebarkan ke berbagai tempat. Berbagai kitab tafsir yang umumnya tebal, buku-buku  sejarah, pelajaran bahasa, dan lain-lain, juga lahir karena para orang alim tempo dulu itu ternyata piawai dalam menulis.
Yang terpenting, kemampuan berpikir, mendengar, bicara, membaca, dan menulis, bagi si Mumin semua harus berporos pada Al-Qurãn sehingga semua kemampuan itu baginya hanyalah sekadar untuk membuktikan bahwa ia hamba Allah yang butuh, yang patut diandalkan, yang dengan semua kemampuannya itu ia tidak mungkin membuat ajaran Allah jadi kabur atau menyimpang.


E. Tata-Tertib Rattil
Rattil (studi Al-Qurãn) sebagai upaya yang dilakukan dalam rangka pembangunan iman, adalah sebuah tawaran dari Allah yang di dalamnya terdapat nilai (kemampuan) dan harga[1] (pengorbanan, resiko) untuk mendapatkannya.
Nilai di sini berarti: rattil adalah sesuatu yang menjanjikan sebuah hasil, yaitu pengetahuan obyektif tentang Al-Qurãn.
Sedangkan harga berarti: untuk mengenal Al-Qurãn  secara obyektif kita harus rela mengorbankan segala yang perlu, dan harus sanggup menghadapai risiko apa pun yang menagancam.
      Untuk jelasnya, marilah kita kaji Surat Al-Muzzammil dengan bantuan terjemahan berikut ini. Tentu saja bukan terjemahan sempurna. Di dalamnya pasti ada kekeliruan dan kesalahan. Namun anda tak akan pernah tahu pasti bila tidak melakukan rattil.

Terjemahan Surat al-Muzzammil:

1.      Hai Muzzammil!
2.      Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit (boleh tidur).
3.      (Bangunlah!) setengah malam atau kurangi dari setengahnya;
4.      atau lebihkan dari setengahnya. Lalu kajilah Al-Qurãn setertib-tertibnya!
5.      pasti (bila pengkajian demikian dilakukan) Kami akan resapkan suatu konsep/pedoman hidup yang mahaberbobot.
6.      Sungguh suasana malam benar-benar sangat cocok untuk menancapkan, dalam arti lebih memantapkan tertanamnya perkataan (ajaran).
7.      Sedangkan pada siang hari kamu dibebani kewajiban untuk melakukan banyak kesibukan.
8.      maka (pada malam hari) tancapkan ilmu Rabb-mu ke dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanyan sekuat-kuatnya.
9.      (Dialah, Allah) Penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya Dia yang layak dijadikan Ilah (penggerak kehidupan). Maka jadikanlah Dia (ajarannya) sebagai satu satu-satunya andalan.
10.  Selanjutnya, teguh bertahanlah menghadapi ocehan[2] mereka (para penentang Al-Qurãn), serta ‘singkirkan’ mereka dengan cara sebaik-baiknya.
11.  Selebihnya (yang di luar kemampuan kalian), yaitu para Mukadzdzibin (perusak peradaban; perusak ajaran Allah) yang menguasai sumber-sumber kekayaan (perekonomian), serahkan saja kepadaKu. Biarkan mereka merasakan kesenangan semu sesaat.
12.  Sebenarnya Kami pastikan bagi mereka belenggu dan penjara kehidupan  – karena pilihan demikian;
13.  serta hidangan (buah usaha) yang menyesakkan, yang menyebabkan penderitaan luar biasa.

***
14.   Suatu masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga gunung-gunung pun rontok (longsor) seperti seonggok pasir.[3]
15.  Jelas sekali bahwa kami mengutus kepada kalian seorang Rasul (Muhammad) sebagai figur nyata bagi kalian; sebagaimana dulu pernah Kami utus seorang Rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan rakyat Mesir).
16.  Maka Fir’aun pun menentang sang Rasul, sehingga Kami timpakan kepadanya siksa mahakeras.

***
( 14. Suatu masa (ada giliran) bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga gunung-gunung pun seperti longsor seperti seonggok pasir).[4]
17.   Bagaimanakah cara kalian menyelamatkan diri, bila kalian mengabaikan (tidak mau tahu; kufur) – informasi tentang – suatu masa (pergiliran sejarah), yang akan mengubah ‘bayi’ (segala yang dilahirkan) menjadi ‘orang tua beruban’  (menghadapi ambang kematian)?[5]
18.  (Perubahan itu menyebabkan) as-sama’[6] (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan rumusan-Nya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
19.  Sungguh ini adalah peringatan; sehingga siapa pun yang suka (maka ia akan menempuh jalan (perjuangan) yang mengarahkan pada kepatuhan terhadap Tuhannya.
20.  Maka Rabbmu mengajarkan agar kamu (Muhammad dan pengikutnya) memilih waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga, setengah, dan sepertiga malam; yakni (agar) segolongan orang yang (mau melakukan hal yang sama) mengikuti dirimu (dipersilakan memilih waktu yang cocok). Allah selalu memelihara kepastian pergiliran malam dan siang. Dia (Allah) tahu bahwa (pengaturan waktu belajar malam itu) tak akan pernah terlintas perhitungan (pikiran) kalian, sehingga Ia memberikan rujukan (keterangan) kepada kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara pembagian waktu itu), kajilah Al-Qurãn mulai dari yang Dia mudahkan (berdasar kemampuan kalian). Ia (Allah) mengetahui bahwa di antara kalian akan ada yang sakit (namun ia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya) sementara yang lainnya sibuk bertebaran di seantero bumi mencari rezeki yang diridhai Allah (namun dia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi menegakkan ajaran Allah (tapi ia tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al-Qurãn semampunya). (Justru karena itulah) maka kajilah dengan memilih yang Dia mudahkan darinya (Al-Qurãn), lalu lakukan shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan dan penghayatan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan zakat (sebagai gerakan permbersihan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau dengan kata lain) angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu dengan cara mengangsur (mencicil; melakukan tahap demi tahap) yang sebaik-baiknya. Karena kebaikan apa pun yang kalian segerakan (demi mematuhi Allah), akan kalian dapati sebagai kebaikan yang bernilai di mata Allah, dalam arti mendatangkan keuntungan lebih besar. Maka bangunlah kerinduan untuk melakukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah. Karena Allah (dengan ajaran-Nya) adalah pelaku perbaikan serta pewujud kehidupan kasih-sayang sejitu-jitunya.

Penjelasan
            Istilah al-Muzzaammil biasa diterjemahkan secara harfiah sebagai “orang berselimut”, dan yang disebut sebagai “orang berselimut” itu adalah nabi Muhammad. Dengan demikian timbul pemahaman bahwa Surat ini (seperti juga surat Al-Mudatstsir) diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad.
Salah satu dalil yang digunakan adalah hadits bernomor 133 adalah Shahih Muslim yang mengungkapkan kisah demikian:

      Dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari ra. (seorang sahabat Rasulullah saw.), katanya Rasulullah pernah menceritakan tentang putusnya wahyu. Sabda beliau, “Pada suatu ketika, sedang aku berjalan tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Karena itu kuangkat pandanganku (ke arah suara tersebut), maka tampak olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira, sedang duduk di kursi antara langit dan bumi.” Sabda Rasulullah saw. selanjutnya, “Dengan perasaan terkejut bercampur takut, aku segera pulang. Sesampai di rumah, aku berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah pun segera menyelimutiku. Sedang aku berselimut itu, Allah Tabaraka wa ta’ala menurunkan ayat, “Hai, orang yang berselimut! Bangunlah, dan berikan  peringatan! Dan Tuhan engkau Agungkanlah! Dan pakaian engkau bersihkanlah (sucikanlah)! Dan perbuatan dosa jauhi lah! (Al-Mudatstsir 1-5) Sesudah itu wahyu turun berturut-turut.[7]

      Tentang nilai hadits ini, shahih atau tidak, biarlah kita serahkan kepada ahlinya. Namun bila Surat Muzzammil dan Mudatstsir dikatakan sebagai Surat-surat yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad tentu patut dipertanyakan, kenapa sekarang kita harus mengkajinya? Hanya untuk mengenang cerita sejarah, atau memang surat-surat tersebut juga dihidangkan kepada kita semua?




[1] I(ngat kembali pembahasan tentang Nilai dan Harga Iman.
[2] Propaganda, provokasi, fitnah, ejekan, dsb.
[3] Istilah bumi dan gunung-gunung bisa jadi merupakan ungkapan untuk menyebut masyarakat dan tokoh-tokohnya yang mendukung ajaran batil.
[4] Sengaja diulang untuk mengingatkan bahwa alinea (ayat) 17 harus dikaitkan dengan alinea ke 14 ini
[5] Ayat ini mengingatkan tentang waktu yang terus berjalan, ‘menghanyutkan’ kejadian demi kejadian, yang pada gilirannya memunculkan peristiwa besar. Sehingga terjadilah perubahan yang mengagetkan. Kata wildan jamak dari walid secara harfiah berarti al-maulud (yang dilahirkan) atau ash-shobiyy (anak kecil) atau al-‘abdu (budak, hamba). Dalam ayat ini diungkapkan bahwa pada suatu masa al-wildan (para bayi) berubah menjadi syiban (kakek/nenek); sebagai ungkapan bahwa yang lahir, berkembang, jadi dewasa, akhirnya harus menemui saat akhir, yaitu kematian.
[6] As-sama’ secara harfiah berarti langit, surga dan segala penghuninya; sesuatu yang di atas; sesuatu yang menjulang tinggi. Makna-makna tersebut tidak bisa masuk ke dalam ayat ini, karena ada qarinah-qarinah yang mengisyaratkan makna lain, yaitu kalimat kana wa’duhu maf’ulan. Secara harfiah kalimat ini berarti: “dahulu ‘janji’-nya telah dilaksanakan. Hubungkan dengan kedua ayat sebelumnya (15-16), yang menyebutkan pengutusan Rasul kepada kita dan Fir’aun. Fir’aun menentang rasul, lalu mendapat bencana. Kerajaannya hancur, dan dia sendiri binasa. Jadi kata as-sama’ dalam ayat ini jelas berkaitan dengan sejarah Fir’aun; sehingga maknanya yang baligh (kena, jitu) adalah: tatanan kehidupan, atau struktur masyarakat. Jelasnya, fir’aun dengan segala kekuasaannya menjadikan kerajaannya demikian ‘tinggi menjulang’ dan dia sendiri menjadi sangat berkuasa, sampai memandang dirinya sebagai Tuhan. Tentu saja dalam suatu tatanan atau struktur tertentu, yang – nota benne – menyengsarakan rakyat. Tapi kata Allah, tatanan demikian itu akan mencapai usia tuanya, alias akan tiba pada masa kebangkrutannya. Ini sudah merupakan wa’dullah (konsep/rumusan Allah). Tidak ada sesuatu yang tidak akan termakan oleh waktu! 
[7] Terjemah Hadits Shahih Muslim, Ma’mur Daud, cet. II, Widjaya, Jakarta, 1986.