BAHASA ALLAH DAN NABI
Suatu hari di tempat pengajian, saya mendapat pertanyaan
yang sangat menarik dari seorang peserta, “Di antara banyak ragam dan dialek
bahasa Arab yang ada sekarang, bahasa Arab manakah yang dulu digunakan oleh
Nabi Muhammad dalam pergaulan sehari-hari?”
“Pertanyaan bagus!” saya bilang. “Dan jawabannya adalah:
tentu saja yang beliau gunakan bukanlah bahasa seperti yang tertulis di dalam
mushhaf Al-Qurãn
sekarang. ...”
“Jadi, bahasa Al-Qurãn
itu bukan bahasa percakapan Nabi Muhammad dan bangsanya pada waktu itu?” Dia
mengejar.
“Bukan!”, kata saya. “Bahkan bahasa Al-Qurãn, bukanlah bahasa
percakapan Nabi Muhammad dengan umat Islam sendiri.”
“Jadi, beliau berbicara dengan bahasa apa?”
Saya tertawa, lalu balik bertanya, “Menurut anda, beliau
bicara dengan bahasa apa?”
“Dengan bahasa Arab tentunya. Tapi yang belum jelas bagi
saya adalah bahsa Arab yang mana? Karena seperti yang Bapak sebutkan, di Timur
Tengah sekarang ada banyak macam logat bahasa Arab. Dan di antara semua itu,
saya bertanya, bahasa Arab negara manakah, atau suku apakah, yang dulu
digunakan Nabi Muhammad?”
Saya balik bertanya,“Ingatkah anda bahwa Nabi Muhammad itu
orang Quraisy?”
“Ya, ya, tentu saja saya ingat.”
“Nah, dengan demikian, bukankah bisa kita simpulkan bahwa
beliau menggunakan logat bahasa Arab Quraisy?”
“Ya, betul. Saya pun berpikir demikian. Tapi masalahnya,
apakah suku Quraisy itu sekarang masih ada?”
“Masih,” kata saya. “Bahkan ada yang menetap di Indonesia,
yaitu Quraish Shihab!”
“Bapak bisa aja! Tapi beliau kan berbicara dengan bahasa
Indonesia!”
“Betul, betul, betul. Dan saya juga memang bertanya seperti pertanyaan
anda. Masih adakah suku Quraisy di Timur Tengah, dan masihkah mereka
menggunakan bahasa yang sama seperti di zaman Nabi Muhammad?”
“Waduh, pertanyaan sulit ya, Pak?”
“Saya kira tidak sulit. Dan tidak harus mencari-cari orang
Quraisy. Sangat mudah. Begini. Sekarang ini di hadapan kita kan ada dua teks
Islam yang kedua-duanya diakui sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Nah,
bukankah kita tahu bahwa Al-Qurãn
berisi kata-kata (firman) Allah, dan hadis, antara lain, berisi kata-kata
(sabda) Nabi Muhammad. Tidakkah kita bisa menyimpulkan bahwa bahasa yang
digunakan Nabi Muhammad dulu adalah seperti yang terekam di dalam teks hadis?”
Sang penanya dan para hadirin terdiam, dan saya pun gembira
menemukan jawaban itu.
Persoalan berikutnya, kita bicara bahasa di sini adalah
tentang bahasa sehari-hari Nabi Muhammad, yang tentu tidak sama dengan yang
terdapat di dalam teks Al-Qurãn;
tapi diduga keras (dan siapa bisa membantah?) bahwa beliau menggunakan bahasa
seperti yang terdapat di dalam hadis.
Pertanyaan lebih lanjut,
bahasa apakah gerangan nama kedua bahasa yang terdapat dalam Al-Qurãn dan hadis?
Bahasa Arab!
Lalu, dialek-dialek yang digunakan di Mesir, Maroko, Saudi
Arabia, dan lain-lain itu, bahasa
Apa?
Bahasa Arab.
Isa Bugis, dengan teori ya nisbah dan teori
antropologinya, pada akhirnya menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (dialek?)
Quraisy, yaitu bahasa yang katanya digunakan oleh para nabi, dari Adam sampai
Muhammad; yang berarti juga terekam dalam kitab Zabur Daud, Taurat Musa, Injil
Isa, sampai Al-Qurãn
Muhammad. Bahasa para nabi itulah yang oleh Isa Bugis disebut sebagai Bahasa
Nur, dan selainnya adalah Bahasa Zhulumat.
Dan, ketika menyebut Quraisy, Isa bugis menyimpulkan bahwa
suku Arab Quraisy adalah pengguna Bahasa Nur, tapi berkesadaran Zhulumat.
Dengan kata lain, bila bahasa diibaratkan kemasan, maka Quraisy mengemas
“bentuk kesadaran” Zhulumat dengan Bahasa Nur!
Selanjutnya, melalui teori nisbahnya yang lemah, dan teori
antropologi bahasanya, Isa Bugis menyimpulkan bahwa bahasa Al-Qurãn “serumpun” dengan
bahasa Arab.
Perhatikanlah! Bila bahasa Al-Qurãn adalah bahasa (suku) Quraisy, dan
suku-suku Arab lain mempunyai (dialek) bahasa Arab yang berbeda, dan itu semua
oleh Isa Bugis disebut serumpun, maka dari rumpun apakah bahasa-bahasa
(dialek-dialek) itu terlahir?
Bila kita perhatikan teori Isa Bugis, semua lahir dari
Bahasa Nur, alias bahasa para nabi. Lalu, bila dikaitkan dengan teori yang ada,
bahasa para nabi itu bahasa apa? Ternyata Isa Bugis mengarah pada kesimpulan
bahwa Bahasa Nur itu adalah Bahasa Semite, yang secara antropologi berpangkal
pada anak Nabi Nuh, yaitu Sam bin Nuh; sehingga kata Semite itu dalam
ejaan Arabnya adalah Samyah (?). Isa Bugis bahkan membuat pemetaan
demikian:
Bahasa Nur adalah bahasa pertama,
yang selanjutnya melahirkan bahasa-bahasa:
1.
Rumpun Eropa
2.
Rumpun Mongol
3.
Rumputn Indo Semite
4.
Rumpun Arya
Kita tahu bahwa dari semua bahasa yang ada, yang paling
mirip dengan bahasa Al-Qurãn
adalah bahasa rumpun Semite, yang diakui Isa Bugis berasal dari bahasa Sam bin
Nuh. Sedangkan bahasa-bahasa lain, yang berbeda jauh dari bahasa Semite, entah
bagaimana bisa dikatakan bersumber dari Bahasa Nur (?).
Namun, pendapat adalah pendapat. Dia akan hidup sepanjang
ada para pendukungnya. Tapi ingatlah bahwa “setiap kata harus ada pembuktian”.
Pembuktianlah, dan bukan pendapat (asumsi) yang akan memastikan apakah sebuah
pendapat mempunyai kekuatan nyata atau hanya khayalan sang narasumber dan para
pendukungnya.
Fakta
Fakta berbicara bahwa kita hanya bisa menemukan dua teks
yang dianggap dokumen-dokumen otentik sebagai sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qurãn dan hadis. Dengan
catatan bahwa kedua-duanya menggunakan bahasa Arab, dan perbedaan bahasa keduanya
bukalah karena ‘serumpun’ apalagi berbeda rumpun, misalnya seperti bahasa
Mongol dan Eropa.
Penentu perbedaan bahasa Al-Qurãn dan bahasa hadis, bukanlah karena keduanya
menggunakan jenis bahasa yang satu sama lain berbeda, tapi perbedaan itu hanya
terletak pada “gaya bahasa”, atau uslub, seperti kata para ahli Bahasa
Arab, atau style dalam istilah Bahasa Inggris.
Gaya bahasa ditentukan oleh para pengguna. Di Indonesia,
misalnya, jelas bangsa Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia; tapi Bahasa
Jurnalistik tentu berbeda dengan Bahasa Sastra, atau Bahasa Preman. Dan letak
perbedaannya bukan pada jenis bahasanya, tapi pada gaya. Bahasa jurnalistik
adalah tetap Bahasa Indonesia. Demikian juga bahasa sastra dan bahasa preman.
Sekali lagi, jenis bahasa ketiganya tetap sama-sama Bahasa Indonesia, tapi gaya
bahasa ketigiganya berbeda. Bahasa jurnaklistik adalah bahasa para wartawan.
Cirinya ringkas, langsung, tidak berlebihan. Bahasa sastra adalah bahasa para sastrawan,
yaitu bahasa yang digunakan para penulis novel, cerpen, puisi, yang cirinya
adalah indah menurut persepsi individual mereka. Sedangkan bahasa preman adalah
bahasa yang digunakan ‘anak-anak jalanan’, yang cirinya ‘kasar’, bersifat
plesetan, dan sesuka mereka. Sering kali mereka tak peduli dengan tata bahasa.
Kembali pada bahasa Al-Qurãn
dan hadis, dan bahasa Arab bangsa Arab sekarang, yang faktanya adalah Bahasa
Arab. Perbedaan ketiganya hanya pada gaya bahasa, bukan pada jenis bahasa. Dan
gaya bahasa itu ditentukan oleh pengguna.
Jadi, bahasa Al-Qurãn,
faktanya, adalah susunan kosakata Bahasa Arab, yang digukanan oleh Allah dengan
gaya Allah. Bahasa hadis adalah susunan kosakata Bahasa Arab yang, anta lain,
digukanan oleh Nabi Muhammad, dengan gaya Nabi Muhammad, bila hadisnya berisi
ucapan Nabi Muhammad. Dan bahasa bangsa arab adalah susunan kosakata Bahasa
Arab yang digunakan dengan gaya (dialek) mereka masing-masing.