Selalu
saya ingin menulis tentang simbol (lambang) dalam Islam, dan selalu ingin saya
katakan bahwa bidang ini telah dilewatkan atau diabaikan oleh para ahli tafsir.
Dan akan saya katakan walau beribu kali, bahwa pengabaian tentang simbol ini
telah menghilangkan separuh dari keutuhan Al-Qurãn alias Islam itu sendiri!
Sehubungan
dengan itulah, berkali-kali saya sampaikan secara lisan maupun tulisan, bahwa
dalam agama apa pun sebenarnya ada simbologi (symbology), yaitu the
study or use of symbols, ilmu tentang perlambangan; yang agaknya sering
kali terabaikan, atau disalahpahami.
Ya,
kita lebih mengenal istilah ritus (kata sifatnya ritual) daripada simbol ketika
kita membahas tentang agama. Padahal, sebagai sebentuk ‘ilmu’ yang tentu
abstrak, semua agama (yang dalam Al-Qurãn disebut dîn,
jamaknya adyãn) semua membutuhkan simbol sebagai alat untuk
mengkonkretkan sekaligus meringkas ajaran-ajarannya. Dan simbol-simbol itu
bentuknya adalah ritus (upacara).
Murni dan tidak murni
Kaum
ulama sepakat bahwa hidup ini adalah ibadah (pengabdian) terhadap Allah.
Lucunya, mereka membagi ibadah menjadi (1) ibadah mahdhah (محضة)
dan (2) ghairu mahdhah (غير محضة).
Ibadah
mahdah adalah “ibadhah murni”, yang dilakukan untuk mendapat pahala di akhirat,
misalnya shalat, puasa, haji, dan lain-lain.
Selainnya, ibadah ghairu mahdah, yang secara harfiah berarti “tidak
murni”, bahkan mereka sebut sebagai “perkara non-ibadah” (ada ya?), motivasi
melakukannya adalah untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi, misalnya
berjual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Catatlah, bahwa definisi ini sangat
kontradiktif (bertentangan) dengan pernyataan bahwa hidup adalah ibadah!
Daripada
menggunakan definisi yang kacau itu, saya lebih suka memakai (untuk sementara)
istilah (1) “ibadah ritual” dan (2) “ibadah konkret”; yang kedua-duanya tentu
harus dilakukan secara “murni” alias tulus-ikhlas karena Allah semata.
Ibadah
ritual adalah ibadah simbolis (!), yang dilakukan sebagai:
1.
Simbol pengakuan kebenaran
ajaran Allah, dan langkah awal untuk menyatakan bahwa pelakunya pasti akan
melakukan ibadah yang sebenarnya, sesuai dengan perintah Allah. Dengan kata
lain, ibadah ritual adalah “upacara janji”.
2.
Simulasi bahwa segala
tindakan ibadah (pengabdian) pasti akan dilakukan secara tepat waktu dan
tertib.
Adapun ibadah konkret (nyata) adalah
pengendalian segala sisi (aspek) hidup dengan ajaran (wahyu) Allah, tanpa
kecuali.
Ritus sebagai simbol
Sekali
lagi saya katakan bahwa ritus, dalam agama apa pun – seharusnya! – berfungsi sebagai simbol. Dan
terutama dalam Islam, simbologinya saya temukan demikian penting, sehingga bisa
dikatakan seperti satu sisi mata uang; yang bila ditiadakan maka uang menjadi
tidak berguna.
Dan
jangan lupa bahwa hidup manusia memang mempunyai dua sisi. Yaitu sisi abstrak
(ghaib; niskala), dan sisi konkret (syahadah; nyata). Khusus ketika berhadapan
dengan suatu konsep baru (asing), manusia seperti dihadapkan pada ‘alam gaib’,
yang untuk memahaminya – katakanlah – sebagai hipotesis saja ia membutuhkan sarana
pembantu. Tentu saja alat pembantu pertama dan utama adalah bahasa lisan (dan
tulisan), sebagai alat untuk mengurai secara panjang-lebar. Tapi, untuk
mengurai panjang-lebar itu butuh waktu, dan harus menghindari kebosanan. Di
sinilah simbol muncul sebagai sebentuk ‘bahasa’ yang bisa menggambarkan gagasan
yang abstrak dan harus diterangkan panjang-lebar itu menjadi seolah konkret dan
terpahami secara ‘kilat’, walau masih tersisa misteri. Sebagai contoh, bila
anda mengalami kesulitan bercerita tentang pesawat terbang kepada orang yang
belum pernah melihatnya, anda bisa menunjuk capung. Dengan demikian, pendengar
menjadi cukup puas, walau gambaran pesawat terbang seutuhnya masih belum jelas.
Seperti analogi? Ya, simbol memang semacam analogi (kias).
Ibadah-ibadah
ritual dalam Islam, selain berfungsi untuk ‘mengemas’ gagasan abstrak yang
intinya merupakan perintah ibadah, juga berfungsi sebagai analogi untuk
menyentuh perasaan bagi yang sudah memahami secara mendalam. Sebutlah sarana
untuk menyindir dan/atau untuk mengingatkan secara cepat.
Menyembah dan mengabdi
Agama-agama
primitif mengajarkan bahwa mengakui kehadiran (eksistensi) Tuhan dilakukan
dengan cara menyembahNya. Anehnya, walau Islam tidak sama dengan agama-agama
lain, sejak kecil kita sudah akrab dengan istilah “sembahyang”. Kalau tak
salah, istilah ini bahkan digunakan oleh tokoh-tokoh (ulama) sekaliber A. Hasan
(Persis) dan Hamka (Muhammadiyah).
Menyembah
dengan mengabdi jelas sangat jauh berbeda. Dan istilah “ibadah” jelas tak
sepadan dengan menyembah. Anda dikatakan menyembah seorang raja ketika berlutut
dan mencium lantai di hadapannya. Bila anda hanya tamu, anda bisa pergi
melenggang setelah itu. Tapi anda dikatakan mengadi raja bila anda bekerja
sebagai pelayan, tukang sapu, tukang pijat, juru masak, dan lain-lain, termasuk
jadi prajurit, dari raja yang bersangkutan.
Lalu,
bisakah shalat diartikan menyembah Allah? Bila yang dilihat hanya sebatas
upacara mulai dari berdiri, rukuk, dan sujud, maka bolehkah shalat disebut
menyembah. Tapi upacara kasat mata itu saja sebenarnya tidak bisa juga
dikatakan menyembah Allah, karena Allah tidak terlihat ada di sebelah mana.
Tindakan itu hanya pantas disebut menyembah tembok atau benda-benda lain di
sekeliling pelaku, atau menyembah batu hitam (hajar aswad) yang ada di Makkah
sana!
Shalat
baru bisa dikatakan menyembah Allah bila diperhatikan bacaan-bacaannya, karena
di situ jelas banyak disebut nama Allah.
Tapi
sekali lagi, itu keliru.
Shalat
bukan untuk menyembah Allah, tapi sebagai simbol dan simulasi untuk melakukan
pengabdian (ibadah) terhadap Allah. Karena itu, setiap gerakan dan bacaan
adalah simbolis dan simulatif (bersifat seolah-olah), menandakan bahwa
pelakunya berjanji untuk patuh pada perintah Allah, selepas melakukan shalat.
Karena itulah ada ayat yang menegaskan agar setelah shalat ditunaikan, maka
bertebaranlah (beraktifitaslah) di muka bumi. Secara apa? Apakah secara bebas?
Tidak!
Allah
menghendaki agar kita mengabdi dengan Al-Qurãn sebagai hudan(konsep)nya.
Karena itu, Allah perintahkan kepada rasulNya, “Utlu ma uhiya ilaika
minal-kitab wa aqimish-shalata…”
Bacakan (ajarkan) – secara bertahap – Al-Kitab (Al-Qurãn)
yang diwahyukan kepadamu, selanjutnya tegakkan shalat…
Ayat
ini (Al-Ankabut 45), secara tak langsung mengisyaratkan saling hubungan antara
‘membaca’ Al-Qurãn dengan melaksanakan shalat. Satu sisi, secara sederhana,
Shalat tidak bisa dilakukan sebelum
mempelajari Al-Qurãn. Sisi lain, ibadah dalam Islam juga harus dilakukan
berdasar Al-Qurãn. Dalam hal ini, kita kemudian mengerti bahwa shalat,
selain sebagai ibadah ritual yang berfungsi sebagai simbol, juga punya fungsi
teknis-praktis sebagai sarana untuk memasukkan Al-Qurãn ke dalam kesadaran, agar ia
menjadi penggerak bagi terlaksananya segala aktifitas ibadah (hidup) yang
konkret. Dengan kata lain, shalat ritual adalah alat untuk memasukkan
(internalisasi) Al-Qurãn ke dalam diri (jiwa), sehingga ia bisa berperan sumpama
ruh yang mampu menggerakkan badan. Dengan demikian, kita bisa petakan bahwa
shalat ritual mempunya 3 fungsi, yaitu:
1.
Simbol pengabdian (ibadah),
2.
Simulasi pengabdian, dan
3.
Sarana internalisasi
nilai-nilai Al-Qurãn (yang dibaca dalam shalat) ke dalam diri. Dengan kata
lain, fungsi shalat yang hakiki adalah sebagai sarana Quranisi diri; yaitu
sebagai upaya ‘pencelupan’ (صبغة) atau ‘pewarnaan’ diri (jiwa) dengan Al-Qurãn,
yang dilakukan seumur hidup.
Demikian juga shaum (puasa), selain
sebagai simbol kepatuhan, juga merupakan sarana untuk melatih diri supaya
menjadi manusia yang sabar (tangguh), secara fisik dan mental, dalam
menjalankan perintah Allah.
Dan haji, jelas merupakan simbol
kesatuan, persatuan, dan kekompakan umat tingkat dunia; seperti halnya shalat
jama’ah berfungsi demikian dalam tingkat lokal.
Begitu
juga kegiatan-kegiatan ritual lain, seperti aqiqah, khitan, dan lain-lain;
semua adalah kegiatan-kegiatan simbolik. ∆
A.
Husein, Bekasi,
4-12-2016, 6.17 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar