Minggu, 04 Desember 2016

Simbologi Dalam Islam


                Selalu saya ingin menulis tentang simbol (lambang) dalam Islam, dan selalu ingin saya katakan bahwa bidang ini telah dilewatkan atau diabaikan oleh para ahli tafsir. Dan akan saya katakan walau beribu kali, bahwa pengabaian tentang simbol ini telah menghilangkan separuh dari keutuhan Al-Qurãn alias Islam itu sendiri!
                Sehubungan dengan itulah, berkali-kali saya sampaikan secara lisan maupun tulisan, bahwa dalam agama apa pun sebenarnya ada simbologi (symbology), yaitu the study or use of symbols, ilmu tentang perlambangan; yang agaknya sering kali terabaikan, atau disalahpahami.
                Ya, kita lebih mengenal istilah ritus (kata sifatnya ritual) daripada simbol ketika kita membahas tentang agama. Padahal, sebagai sebentuk ‘ilmu’ yang tentu abstrak, semua agama (yang dalam Al-Qurãn disebut dîn, jamaknya adyãn) semua membutuhkan simbol sebagai alat untuk mengkonkretkan sekaligus meringkas ajaran-ajarannya. Dan simbol-simbol itu bentuknya adalah ritus (upacara).
Murni dan tidak murni
                Kaum ulama sepakat bahwa hidup ini adalah ibadah (pengabdian) terhadap Allah. Lucunya, mereka membagi ibadah menjadi (1) ibadah mahdhah (محضة) dan (2) ghairu mahdhah (غير محضة).
                Ibadah mahdah adalah “ibadhah murni”, yang dilakukan untuk mendapat pahala di akhirat, misalnya shalat, puasa, haji, dan lain-lain.  Selainnya, ibadah ghairu mahdah, yang secara harfiah berarti “tidak murni”, bahkan mereka sebut sebagai “perkara non-ibadah” (ada ya?), motivasi melakukannya adalah untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi, misalnya berjual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Catatlah, bahwa definisi ini sangat kontradiktif (bertentangan) dengan pernyataan bahwa hidup adalah ibadah!
                Daripada menggunakan definisi yang kacau itu, saya lebih suka memakai (untuk sementara) istilah (1) “ibadah ritual” dan (2) “ibadah konkret”; yang kedua-duanya tentu harus dilakukan secara “murni” alias tulus-ikhlas karena Allah semata.
                Ibadah ritual adalah ibadah simbolis (!), yang dilakukan sebagai:
1.       Simbol pengakuan kebenaran ajaran Allah, dan langkah awal untuk menyatakan bahwa pelakunya pasti akan melakukan ibadah yang sebenarnya, sesuai dengan perintah Allah. Dengan kata lain, ibadah ritual adalah “upacara janji”.
2.       Simulasi bahwa segala tindakan ibadah (pengabdian) pasti akan dilakukan secara tepat waktu dan tertib.

Adapun ibadah konkret (nyata) adalah pengendalian segala sisi (aspek) hidup dengan ajaran (wahyu) Allah, tanpa kecuali.
Ritus sebagai simbol
                Sekali lagi saya katakan bahwa ritus, dalam agama apa pun –  seharusnya! – berfungsi sebagai simbol. Dan terutama dalam Islam, simbologinya saya temukan demikian penting, sehingga bisa dikatakan seperti satu sisi mata uang; yang bila ditiadakan maka uang menjadi tidak berguna.
                Dan jangan lupa bahwa hidup manusia memang mempunyai dua sisi. Yaitu sisi abstrak (ghaib; niskala), dan sisi konkret (syahadah; nyata). Khusus ketika berhadapan dengan suatu konsep baru (asing), manusia seperti dihadapkan pada ‘alam gaib’, yang untuk memahaminya – katakanlah – sebagai hipotesis saja ia membutuhkan sarana pembantu. Tentu saja alat pembantu pertama dan utama adalah bahasa lisan (dan tulisan), sebagai alat untuk mengurai secara panjang-lebar. Tapi, untuk mengurai panjang-lebar itu butuh waktu, dan harus menghindari kebosanan. Di sinilah simbol muncul sebagai sebentuk ‘bahasa’ yang bisa menggambarkan gagasan yang abstrak dan harus diterangkan panjang-lebar itu menjadi seolah konkret dan terpahami secara ‘kilat’, walau masih tersisa misteri. Sebagai contoh, bila anda mengalami kesulitan bercerita tentang pesawat terbang kepada orang yang belum pernah melihatnya, anda bisa menunjuk capung. Dengan demikian, pendengar menjadi cukup puas, walau gambaran pesawat terbang seutuhnya masih belum jelas. Seperti analogi? Ya, simbol memang semacam analogi (kias).
                Ibadah-ibadah ritual dalam Islam, selain berfungsi untuk ‘mengemas’ gagasan abstrak yang intinya merupakan perintah ibadah, juga berfungsi sebagai analogi untuk menyentuh perasaan bagi yang sudah memahami secara mendalam. Sebutlah sarana untuk menyindir dan/atau untuk mengingatkan secara cepat.
Menyembah dan mengabdi
                Agama-agama primitif mengajarkan bahwa mengakui kehadiran (eksistensi) Tuhan dilakukan dengan cara menyembahNya. Anehnya, walau Islam tidak sama dengan agama-agama lain, sejak kecil kita sudah akrab dengan istilah “sembahyang”. Kalau tak salah, istilah ini bahkan digunakan oleh tokoh-tokoh (ulama) sekaliber A. Hasan (Persis) dan Hamka (Muhammadiyah).
                Menyembah dengan mengabdi jelas sangat jauh berbeda. Dan istilah “ibadah” jelas tak sepadan dengan menyembah. Anda dikatakan menyembah seorang raja ketika berlutut dan mencium lantai di hadapannya. Bila anda hanya tamu, anda bisa pergi melenggang setelah itu. Tapi anda dikatakan mengadi raja bila anda bekerja sebagai pelayan, tukang sapu, tukang pijat, juru masak, dan lain-lain, termasuk jadi prajurit, dari raja yang bersangkutan.
                Lalu, bisakah shalat diartikan menyembah Allah? Bila yang dilihat hanya sebatas upacara mulai dari berdiri, rukuk, dan sujud, maka bolehkah shalat disebut menyembah. Tapi upacara kasat mata itu saja sebenarnya tidak bisa juga dikatakan menyembah Allah, karena Allah tidak terlihat ada di sebelah mana. Tindakan itu hanya pantas disebut menyembah tembok atau benda-benda lain di sekeliling pelaku, atau menyembah batu hitam (hajar aswad) yang ada di Makkah sana!
                Shalat baru bisa dikatakan menyembah Allah bila diperhatikan bacaan-bacaannya, karena di situ jelas banyak disebut nama Allah.
                Tapi sekali lagi, itu keliru.
                Shalat bukan untuk menyembah Allah, tapi sebagai simbol dan simulasi untuk melakukan pengabdian (ibadah) terhadap Allah. Karena itu, setiap gerakan dan bacaan adalah simbolis dan simulatif (bersifat seolah-olah), menandakan bahwa pelakunya berjanji untuk patuh pada perintah Allah, selepas melakukan shalat. Karena itulah ada ayat yang menegaskan agar setelah shalat ditunaikan, maka bertebaranlah (beraktifitaslah) di muka bumi. Secara apa? Apakah secara bebas? Tidak!
                Allah menghendaki agar kita mengabdi dengan Al-Qurãn sebagai hudan(konsep)nya. Karena itu, Allah perintahkan kepada rasulNya, “Utlu ma uhiya ilaika minal-kitab wa aqimish-shalata…”  Bacakan (ajarkan) – secara bertahap – Al-Kitab (Al-Qurãn) yang diwahyukan kepadamu, selanjutnya tegakkan shalat…
                Ayat ini (Al-Ankabut 45), secara tak langsung mengisyaratkan saling hubungan antara ‘membaca’ Al-Qurãn dengan melaksanakan shalat. Satu sisi, secara sederhana, Shalat  tidak bisa dilakukan sebelum mempelajari Al-Qurãn. Sisi lain, ibadah dalam Islam juga harus dilakukan berdasar Al-Qurãn. Dalam hal ini, kita kemudian mengerti bahwa shalat, selain sebagai ibadah ritual yang berfungsi sebagai simbol, juga punya fungsi teknis-praktis sebagai sarana untuk memasukkan Al-Qurãn ke dalam kesadaran, agar ia menjadi penggerak bagi terlaksananya segala aktifitas ibadah (hidup) yang konkret. Dengan kata lain, shalat ritual adalah alat untuk memasukkan (internalisasi) Al-Qurãn ke dalam diri (jiwa), sehingga ia bisa berperan sumpama ruh yang mampu menggerakkan badan. Dengan demikian, kita bisa petakan bahwa shalat ritual mempunya 3 fungsi, yaitu:
1.       Simbol pengabdian (ibadah),
2.       Simulasi pengabdian, dan
3.       Sarana internalisasi nilai-nilai Al-Qurãn (yang dibaca dalam shalat) ke dalam diri. Dengan kata lain, fungsi shalat yang hakiki adalah sebagai sarana Quranisi diri; yaitu sebagai upaya ‘pencelupan’ (صبغة) atau ‘pewarnaan’ diri (jiwa) dengan Al-Qurãn, yang dilakukan seumur hidup.
Demikian juga shaum (puasa), selain sebagai simbol kepatuhan, juga merupakan sarana untuk melatih diri supaya menjadi manusia yang sabar (tangguh), secara fisik dan mental, dalam menjalankan perintah Allah.
Dan haji, jelas merupakan simbol kesatuan, persatuan, dan kekompakan umat tingkat dunia; seperti halnya shalat jama’ah berfungsi demikian dalam tingkat lokal.
                Begitu juga kegiatan-kegiatan ritual lain, seperti aqiqah, khitan, dan lain-lain; semua adalah kegiatan-kegiatan simbolik. ∆


A.      Husein, Bekasi, 4-12-2016, 6.17 PM



Tidak ada komentar: