Senin, 13 Juli 2015

Yuk Laksanakan Nuzulul-Qurãn!

Kita sangat hafal istilah nuzûlul-qurãn dan sering merayakan dan atau ikut dalam perayaan nuzûlul-qurãn.  Tapi ada apa sebenarnya di balik istilah itu?

Memahami tiga istilah
Sebelum melangkah lebih lanjut, mari kita fokus dulu pada kata nuzûl, yang secara bentuk kata merupakan masdar dari kata kerja nazala-yanzilu yang biasa kita artikan turun. Tapi selain berarti turun, kata kerja nazala-yanzilu dengan masdar nuzûl(an) juga bisa berarti mengambil tempat atau menempati, alias halla bil-makãn(i) (حلّ بامكان).  Nazala juga bisa berarti jatuh atau runtuh (inhadara, انحدر).
Namun dalam konteks pengajaran Al-Qurãn, Allah tidak hanya menggunakan kata  nazala-yanzilu yang merupakan kata kerja tak berobjek (intransitif) tapi juga nazzala-yunazzilu-tanzîlan yang merupakan kata kerja berobjek (transitif), yang berarti mewahyukan (أوحى), atau menegakkan (أقام), atau menertibkan (رتّب).
Dan, ternyata dalam Al-Qurãn juga kita temukan kata kerja anzala-yunzilu dengan masdar inzãlan (انزالا) dan munzalan (منزلا), yang berarti mewahyukan (أوحى) atau menempatkan (أحلّ).
Mengapa harus menggunakan ketiga kata tersebut?
Secara sastra, kata nazala sebagai kata kerja tak berobjek digunakan untuk ‘mempersonifikasi’ Al-Qurãn, yaitu menggambarkan Al-Qurãn seolah-olah dia itu satu person (orang; manusia; makhluk hidup), yang bisa turun sendiri.
Sedangkan kata kerja nazzala dan anzala digunakan untuk mengembalikan Al-Qurãn pada keadaan yang sebenarnya, yaitu sebagai objek (barang) yang turunnya bukanlah karena dia bisa turun sendiri, tapi diturunkan oleh pemiliknya, yaitu Allah.
Terlepas dari semua kata kerja yang digunakan, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah masdarnya. Masdar adalah bentuk kata yang menggambarkan proses kerja. Jelasnya, baik masdar nuzûlan, tanzîlan maupun inzãlan dan munzalan, semua mengandung makna bahwa Al-Qurãn hadir melalui sebuah proses penurunan (pewahyuan; pengajaran) dari A (permulaan) sampai Z (selesai).

Perhatikan sinonimnya
Seelain itu, mari kita perhatikan kembali sinonim dari tiga kata kerja di atas. Pertama nazala semakna (sinonim) dengan menempati atau mengambil tempat (halla bil-makãn) tertentu, bukan sembarang tempat. Bila dikaitkan dengan sejarahnya, jelaslah bahwa Al-Qurãn turun di Goa Hira, Makkah, dan Yatsrib (Madinah).
Sedangkan sinonim dari kata nazzala adalah awhã, alias mewahyukan; mengingatkan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah wahyu, yakni sebentuk ajaran yang disampaikan Allah kepada para rasul melalui malaikat. Sinonim lainnya, aqãma (menegakkan) mengingatkan bahwa Al-Qurãn diajarkan untuk ditegakkan, alias dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Kata selanjutnya, rattaba (menertibkan; mengatur), mengingatkan bahwa Al-Qurãn pada satu sisi adalah satu ilmu yang ‘tertib’ (tersusun rapi; sistematis), dan pada sisi lainnya, ia mempunyai kemampuan untuk melahirkan ketertiban (keteraturan) dalam kehidupan manusia.
Terakhir sinonim dari anzala, yaitu ahalla (menempati, mengambil tempat) lagi-lagi mengingatkan bahwa Al-Qurãn membutuhkan tempat untuk ‘mendarat’. Harfiah, sudah disebutkan bahwa penurunan Al-Qurãn mengambil tempat mulai dari Goa Hira, berbagai tempat di Makkah, dan banyak tempat di Madinah. Tapi, bila di tempat-tempat tersebut tidak ada manusia, maka pastilah Al-Qurãn tak akan pernah turun.
Jadi, di mana tempat turun Al-Qurãn yang sebenarnya?
Jawabnya tentu di hati manusia.
Pertanyaan berikutnya, apakah manusia yang dimaksud itu umat Nabi Muhammad tempo dulu, zaman sekarang, atau manusia yang akan datang?
Mari kita jawab secara jujur, sendiri-sendiri.
Dan yang tertenting untuk dicamkan adalah bahwa Al-Qurãn tidak mungkin turun sendiri (nazala) kepada kita. Harus ada yang menurunkannya (nazzala; anzala) kepada kita. Siapa? Para ustadz, mubaligh dan sebagainya? Ya, salah satu dari mereka bisa membantu, dan bisa juga sebaliknya, menghambat (bila mereka malah mengajarkan sesuatu yang lain). Dengan demikian, akhirnya yang paling berperan memastikan terjadinya proses ‘penurunan’ itu tentulah diri kita sendiri.
Maukah kita menurunkan Al-Qurãn untuk diri sendiri? Maukan kita menjadikan hati kita sebagai tempat turunnya Al-Qurãn? Maukah kita menempuh proses penurunan Al-Qurãn, yang menuntut banyak pengorbanan itu?
Bila anda menjawab “mau”, dan belum memulai, mari kita mulai setelah Idul-Fithri!

Bekasi, 13 Juli 2015.

Tidak ada komentar: