Bila anda menyebut Al-Quran
sambil membayangkan sebentuk buku, bayangan anda salah! Allah tidak menurunkan
Al-Quran dalam bentuk buku. Dengan demikian, kata al-kitab(u) yang terdapat di
dalam Al-Quran juga tak layak diterjemahkan sebagai buku. Perhatikan, misalnya,
surat Al-Baqarah ayat 183. Di situ ada kata kerja pasif kutiba, yang
oleh Depag diartikan diwajibkan (bukan dibukukan). Surat Al-An’ãm
ayat 92 berbunyi: ... kitãbun anzalnãhu... bukan berarti “sebuah buku yang
Kami turunkan” (Depag tidak menerjemahkan kata kitãbun, tapi hanya
menyalinnya menjadi kitab). Begitu sterusnya, banyak contoh yang bisa
ditemukan dalam keseluruhan Al-Qurãn.
Lain soal bila yang anda sebut
adalah mushhaf (مصحف). Wujud nyata dari mushhaf memang seperti
buku.
Soal ukuran, "mushhaf
imam" (yang ditulis di masa Utsman sebanyak 5 buah, dan disebarkan ke 5
propinsi) yang sampai kini salah satunya masih tersimpan di sebuah masjid di
Uzbekistan, ukurannya kira-kira sebesar jendela rumah, atau separuh pintu. Dan
bahan untuk menuliskannya adalah kulit rusa.
Di sebuah perpustakaan di Inggris
malah ada Al-Qurãn berusia 500an tahun yang jauh lebih besar lagi, seperti
tampak dalam gambar.
Al-Qurãn sebagai kitãb
Dalam kamus bahasa Inggris, kata book
memang mengacu pada benda yang kita kenal sebagai buku. Tapi bila mereka
menulis The Book, yang dimaksud adalah The Bible, yaitu kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Begitu juga ketika orang Kristen Indonesia
menyebut Alkitab.
Dan bila orang Arab dan Indonesia
menyebut kitab, yang tergambar dalam pikiran memang sebuah buku. Ini
menjelaskan bahwa kita menerima pengertian kitab sebagai buku ya memang dari
bahasa Arab. Tepatnya dari bahasa Arab modern, yang sudah terpengaruh oleh
kemunculan mesin percetakan.
Pengertian awal dari kitãb(un)
dan atau al-kitãb(u), bisa kita lacak melalui pengertian kata
kerjanya, kataba.
Ketahuilah bahwa makna hampir
setiap kata dalam bahasa Arab sangat ditentukan oleh konteks-(kaitan)-nya.
Kalimat katabal-kitãba (كتب الكتاب), misalnya, berarti aqada-nnikãha
(عقد
النكاح); yaitu “melakukan akad (perjanjian) nikah”. Dan kalimat kataballãhusy-syai’a (كتب الله الشيء) berarti qadhãhu wa awjabahu (قضاه وأوجبه); yaitu menetapkan
(peraturan) dan mewajibkannya.[1]
Dengan demikian, pengertian kitab () adalah ketetapan (peraturan;
hukum) dan atau kewajiban. Itulah sebabnya kata kerja pasif (kutiba) dalam surat al-Baqarah ayat 183 tersebut diterjemahkan Depag menjadi:
diwajibkan. Sedangkan Abdullah Yusuf Ali menyalinnya
menjadi prescribed (1. menetapkan sebagai peraturan;
mengharuskan menggunakan; menyuruh; 2. memberikan resep – Kamus Peter Salim).
Di lain pihak, tim Darul-Qura Lebanon, dalam The Quran, mengajukan kata
decreed (diputuskan secara hukum; diperintahkan; didekritkan) sebagai padanan
kata tersebut (kutiba).
Uraian di atas menegaskan bahwa kitãb(un) maupun al-kitãb, pada mulanya, adalah kata benda abstrak, yang berarti ketetapkan;
keputusan; perintah, dekrit; kewajiban dan sebagainya. Baru belakangan, mungkin
setelah ditemukan mesin cetak, kitab mendapat makna baru: buku. Barangkali kasusnya sama dengan kata syayyãrah, yang semula berarti
(rombongan) musafir, seperti dalam surat Yusuf ayat 10, belakangan mempunyai
tambahan makna baru: mobil. Tapi kebanyakan orang akhirnya hanya
memahami syayyãrah (سيّارة) sebagai mobil.
Mungkin karena dalam buku-buku pelajaran bahasa Arab pun syayyãrah (sayyãratun) selalu digambarkan (diberi gambar
ilustrasi) sebagai mobil.
Al-Qurãn sebagai
hudan
Surat Al-Baqarah ayat 2 selain menyebut Al-Qurãn sebagai al-kitãb(u), juga menegaskan fungsinya sebagai hudan (هدى), yaitu petunjuk atau
pedoman hidup. Selain itu, banyak orang yang tidak memahami bahwa Al-Qurãn juga
disebut al-ghaib(u); yaitu “sesuatu yang bersifat abstrak”,
karena ia merupakan sebuah ‘teori’ atau ‘wacana’. Dalam ayat lain, surat
Asy-Syura ayat 52, misalnya, Al-Qurãn juga disebut rûh(an) min amrinã (روحا من أمرنا); yaitu “ruh yang
berisi perintah Kami (Allah)”; ruh yang membuat manusia bergerak berdasar
perintahNya. Ini merupakan sebutan lain untuk wahyu; yang dalam konteks Nabi
Isa, mungkin, sebutannya adalah Rûhul-Quddus
(روح القدس). (Lihat
antara lain surat Al-Baqarah ayat 87, yang dalam terjemahan Depag Rûhul-Quddus ditafsirkan sebagai Jibril).
Dengan memahami Al-Qurãn sebagai ruh penggerak ilmiah, sadarlah manusia
bahwa untuk bisa hidup tidak cukup hanya dengan modal ruh yang berupa jiwa atau
nyawa, tapi masih butuh ruh dalam bentuk lain, yaitu ilmu.
Membaca Al-Qurãn
Belakangan ini banyak orang meributkan soal pembacaan Al-Qurãn dengan
langgam (lagu; irama) seni musik (gamelan) Jawa. Hal yang menarik adalah bahwa
pendukung penggunaan langgam tersebut membenarkan (membela) dengan mengatakan
bahwa “yang penting tidak menyalahi tajwid”.
Dalih tersebut mengisyaratkan seolah-olah ukuran kebenaran membaca
Al-Qurãn adalah ilmu tajwid. Padahal, membaca Al-Qurãn dengan tajwid juga
berisiko melakukan kesalahan!
Ya! Membaca Al-Qurãn secara tajwid bisa menyebabkan anda melakukan
‘perusakan’ terhadap bahasa Al-Qurãn. Dalam konteks iqlab, misalnya, diajarkan
bahwa bila satu kata berhuruf akhir nun bertemu dengan kata berhuruf awal ba,
maka bunyi nun berubah menjadi bunyi mim. Misalnya min ba’di menjadi mim ba’di. Secara bahasa, teori ini merusak, karena kata min diubah menjadi mim. Begitu juga dalam konteks idgham. Kitãbun mubîn(un), misalnya,
harus dibaca Kitãbum mubîn... (n menjadi m). Secara bahasa, kitãbun dibaca kitãbum adalah salah. Tapi membaca secara tajwid
telah didoktrinkan sebagai ukuran kebenaran, dan ilmu tajwid dijadikan tolok
ukur untuk kejituan membaca Al-Qurãn.
Selain ilmu tajwid yang diajarkan sebagai ilmu dasar untuk membaca
Al-Qurãn “secara benar”, ada pula ilmu qira’ah (harfiah berarti pembacaan) yang
mengajarkan bahwa membaca Al-Qurãn boleh dilakukan dengan berbagai lagu
(irama). Model qira’ah yang termashur adalah qira’ah sab’ah, yaitu
tujuh bentuk lagu dalam membaca Al-Qurãn
yang dianggap shahih, karena – konon – diajarkan oleh para Sahabat dan
bersumber dari Rasulullah. Selain itu ada pula 3 bentuk qira’ah lain yang
dibolehkan, namun tidak dianjurkan karena dianggap syaz (ganjil; menyimpang).
Tapi, menurut Manna Khalil Al-Qatthan, dalam Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, di
dalam qira’ah yang tujuh itu juga terdapat syaz, walau hanya sedikit!
Lantas, bila membaca secara tajwid dan qira’ah sab’ah ternyata bisa
bentrok dengan teori bahasa, apakah ilmu bahasa merupakan ukuran mutlak untuk
kebenaran bacaan Al-Qurãn?
Dan bila diingat bahwa Al-Qurãn diajarkan kepada Nabi Muhammad oleh
malaikat Jibril, benarkah bentuk-bentuk qira’ah tersebut diajarkan oleh Nabi
Muhammad kepada para Sahabat, karena semua diajarkan oleh Jibril?
Baik jawabannya ya atau tidak, yang jelas ilmu tajwid maupun qira’ah
telah menjadi semacam pembenaran untuk membaca Al-Qurãn hanya sebatas membaca
dalam arti hanya membunyikan matan (teks). Bila memang hanya itu tujuan membaca
Al-Qurãn, maka tidak ada salahnya orang membaca dengan langgam apa pun! Semua
hasilnya sama. Al-Qurãn dibaca hanya untuk dibunyikan dan dinikmati alunan
suaranya, bukan untuk dipahami dan dihayati. Dengan demikian, fungsi Al-Qurãn
sebagai petunjuk atau pedoman hidup telah dilumpuhkan.
Kemudian, bagaimana bila Al-Qurãn dibaca secara teori bahasa?
Paling tidak, cara pendekatan terhadap Al-Qurãn akan berubah. Orang
belajar bahasa bukan untuk menyanyi, tapi untuk berkomunikasi, untuk
mendapatkan informasi, dan sebagainya. Pendekatan secara bahasa juga otomatis
akan mengabaikan teori tajwid dan qira’ah sab’ah, karena Al-Qurãn akan disikapi
sebagai sebuah sumber ilmu, bukan sebuah teks atau syair lagu. Ada kemungkinan umat
Islam akan lebih baik dan maju dibandingkan sekarang. Paling tidak, para guru
Al-Qurãn akan lebih cerdas dan berilmu tinggi. Tidak seperti sekarang; hanya
mengajar tajwid dan atau qira’ah saja mereka sudah disebut ustadz. Padahal
seorang ustadz seharusnya berkualitas doktor atau profesor, bahkan lebih hebat
lagi, karena mereka mengajarkan wahyu Allah. *
Bekasi, 26 Mei
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar