Masa pewahyuan
Tema
(pokok persoalan) surat ini, yang didukung sejumlah hadis mengisyaratkan bahwa
surat ini diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah pada akhir tahun ke-6 atau
awal tahun ke-7 Hijriah. Itulah sebabnya di dalam surat ini ada bahsan tentang
perjanjian tersebut.
Rasulullah
bersama 1400 Muslim berangkat ke Makkah pada tahun 6H untuk melakukan umrah.
Tapi kaum Quraisy dengan sikap penuh permusuhan menghalangi mereka, meskipun
hal itu sebenarnya bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di tanah Arab.
Setelah melalui perundingan yang rumit dan sulit, sebuah perjanjian disepakati
di kawasan Hudaibiyah, yang isinya antara lain menyatakan bahwa Rasulullah bisa
melakukan umrah pada tahun berikutnya.
Hal
itu merupakan kesempatan yang baik bagi Rasulullah untuk mengajar pada Muslim
bagaimana cara terbaik untuk melakukan ibadah haji seraya memperlihatkan
keunggulah Islam, tanpa menghalangi kaum kafir untuk melakukan hal yang sama
sebagai balasan atar perilaku buruk mereka. Padahal, bila mereka ingin balas
dendam, itu sama sekali tidak sulit, karena banyak kaum kafir yang harus
menempuh perjalanan ke Makkah melalui wilayah kekuasaan Muslim. Karena itulah
ayat-ayat pendahuluan dalam surat ini menyinggung perjalanan haji ke Makkah, dan
hal yang sama juga diulang dalam ayat 101-104. Topik-topik lain dalam surat ini
juga muncul pada masa yang sama.
Asbabu-nuzul
Surat
ini diwahyukan sebagai solusi kebutuhan-kebutuhan sehubungan dengan perubahan
kondisi-kondisi yang terjadi sehubungan dengan pewahyuan surat Ali ‘Imran dan
An-Nisa. Pukulan batin akibat kekalahan dalam Perang Uhud telah membuat
sekeliling Madinah menjadi berbahaya bagi pasa Muslim.
Kini
Islam telah menjadi kekuatan yang tak terkalahkan, dan Negara Islam telah
meluas ke Nejd di timur, ke Laut Merah di barat, ke Suriah di utara, dan ke
Makkah di Selatan. Kekalahan mereka dalam Perang Uhud tidak mengendorkan tekad
mereka. Sebaliknya, hal itu malah menjadi pendorong untuk terus berjuang.
Sebagai
hasil perjuangan mereka yang tak ada hentinya dan pengorbanan mereka yang tiada
tara, kekuasaan para suku di sekeliling Madinah, dalam radius 200 mil dan lebih
jauh lagi, telah hancur. Ancaman Yahudi yang selalu menghantui Madinah telah
disapu bersih, dan Yahudi yang tinggal di bagian lain Hijaz telah menjadi
pembayar pajak (upeti) ke Negara Madinah. Usaha Quraisy untuk menekan Islam
telah ditepis dalam Perang Parit. Setelah itu, sudah sangat jelas bagi bangsa
Arab di luar Madinah bahwa kini tak ada lagi kekuatan yang akan mampu menghambat
gerakan Islam. Islam bukan lagi hanya syahadat yang merasuk ke dalam pikiran
dan perasaan orang tapi telah menjadi sebuah Negara yang mendominasi setiap
segi kehidupan yang hidup di dalam wilayah kekuasannya. Ini menjadi jaminan
bagi kaum Muslim untuk hidup dengan cara mereka sendiri, sesuai iman mereka,
tanpa ada rintangan.
Perkembangan
lain juga terjadi pada masa ini. Peradaban Muslim berkembang seiring dengamn
asas-asas dan cara pandang Islam. Peradaban ini sangat berbeda dari semua
peradaban lain dalam semua detailnya, membedakan sangat nyata antara Muslim
dengan non-Muslim secara moral, sosial dan perlilaku budaya.
Masjid
telah dibangun di semua wilayah, shalat telah diwajibkan dan imam untuk setiap
tempat telah ditetapkan. Hukum sipil dan kriminalatelah dirumuskan secara rinci
dan telah ditegakkan di semua pengadilan Islam. Cara baru berdagang urusan
komersial telah menggantikan cara lama. Hukum perkawinan dan perceraian,
pemisahan jenis kelamin, hukum perzinaan dan fitah, dan sebagainya, telah mewarnai
secara khusus kehidupan sosial Muslim. Perilaku sosial mereka, cara bicara
mereka, pakaian mereka, dan gaya hidup merekqa, kebudayaan mereka, dan
lain-lain, telah terbentuk secara berbeda. Sebagai hasil dari semua perubahan
tersebut, kaum non-Muslim tidak bisa lagi berharap bahwa mereka akan kembali
kepada keadaan seperti dahulu.
Sebelum
Perjanjian Hudaibiyah, kaum Muslim begitu sibuk menghadapi perseteruan kaum
Quraisy, sehingga tak punya kesempatan untuk memperluas da’wah. Hambatan itu
tersingkir dengan perjanjian yang sekilas tampak merupakan kekalahan namun
sebenarnya kemenangan. Perjanjian tersebut bukan hanya memberikan kedamaian
bagi kaum Muslim di dalam wilayah mereka sendiri, tapi juga memberi kelonggaran
untum menyebarkan da’wah ke sekeliling daerah-daerah perbatasan. Karena itulah
Rasulullah menulis surat-surat da’wah kepada penguasa Persia, Mesir, Romawi,
dan para ketua suku Arab. Pada saat yang sama, para da’i Islam pun menyebar ke
tengah kelompok-kelompok dan suku-suku. Begitulah situasinya ketika surat
Al-Ma’idah turun.
Pokok bahasan
Surat ini membahas tiga masalah
pokok berikut:
1. Perintah dan anjuran untuk
urusan agama, budaya dan politik Muslim.
Dalam hal ini peraturan-peraturan yang bersifat ritus (upacara) seperti
perjalanan haji, telah dirumuskan; perhargaan terhadap simbol-simbol ajaran
Allah telah diperintahkan, dan hambatan atau campur-tangan atas urusan haji
telah dilarang. Aturan-aturan yang pasti telah ditetapkan untuk masalah
halal-haram dalam urusan makanan, dan pemaksaan diri untuk melakukan hal-hal
tertentu di masa jahiliyah telah dihapus. Makanan Ahli Kitab telah dihalalkan,
perkawinan dengan wanita mereka telah diijinkan. Petunjuk untuk berwudhu,
mandi, dan tayamum telah diajarkan. Hukuman bagi pemberontakan, gangguan
keamanan dan pencurian telah dipastikan. Minuman keras dan judi telah mutlak
diharamkan. Denda bagi pelanggar sumpah dan hukum pembuktian pun telah
ditambahkan.
2. Peringatan bagi para Muslim. Karena kaum Muslim telah menjadi pengendali
sebuah lembaga pemerintahan, tentu ada kekhawatiran kalau-kalau mereka
melakukan korupsi (penyimpangan). Pada masa ini percobaan besar terjadi
berulang-ulang, membuat mereka sadar untuk selalu menegakkan keadilan dan
menjaga diri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti para pendahulu
mereka, kaum Ahli Kitab. Mereka diperintah untuk berpegang teguh pada
Perjanjian untuk selalu mematuhi Allah, Rasulullah, dan untuk memperhatikan dengan
ketat pereintah serta larangan mereka, demi kepentingan diri mereka sendiri.
Mereka diingatkan agar tidak mengalami nasib yang sama seperti nasib Yahudi dan
Nasrani yang melanggar janji. Mereka disuruh untuk mematuhi ayat demi ayat
Al-Quran dalam segala urusan, dan dilarang bersikap munafik.
3. Peringatan bagi Yahudi dan
Nasrani. Karena kekuasaan Yahudi telah lemah secara
keseluruhan, dan hampir semua wilayah kekuasaan mereka di Tanah Arab telah
jatuh ke tangan Muslim, mereka diperingatkan tentang kesalahan-kesalahan
mereka, dan diajak untuk kembali ke Jalan Yang Benar. Pada saat yang sama,
undangan yang rinci juga telah diberikan kepada kaum Nasrani. Kesalahan iman
mereka telah begitu jelas dikoreksi, dan mereka diberi peringatan untuk
mengikuti Rasulullah (Nabi Muhammad). Tapi harap dicatat bahwa peringatan yang
sama tidak diberikan kepada kaum Majusi (pemuja api) dan para pemuja berhala.
Mungkin bagi mereka memang tidak diperlukan peringatan secara terpisah, karena
kondisi mereka dianggap sama dengan kaum musyrik Arab.
Isi pokok surat Al-Ma’idah:
Konsolidasi jama’ah
Sebagai
kelanjutan intstruksi tentang kosolidasi Umat, yang telah diberikan dalam surat
sebelumnya, di sini kaum Muslim diarahkan untuk memperhatikan dan memenuhi
kewajiban mereka. Pengaturan lebih jauh telah dirumuskan untuk menguji kaum
Muslim mencapai tujuan tersebut (konsolidasi). Mereka diwanti-wanti untuk
melindungi diri dari korupsi (penyimpangan) kekuasaan, dan diarahkan untuk
memperhatikan Perjanjian dalam Al-Quran. Mereka diperingatkan untuk belajar
dari kesalahan-kesalahan para pendahulu mereka, Yahudi dan Nasrani; agar mereka
tetap pada Jalan Yang Benar, dengan mematuhi bimbingan Rasulullah.
*Sumber: The Quran Project,
Saudi Arabia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar