Senin, 06 Januari 2014

Koreksi Yang Harus Dikoreksi (Tanggapan Untuk Zakir Naik)



 Tanggal 29 November 2013, atas permintaan seorang teman Facebook, saya menulis koreksian untuk maklumat DR. Zakir Naik, yang agaknya disebarkan saudara-saudara kita di Malaysia, tampak dari bahasanya yang berbunyi demikian:

Kita tidak seharusnya menulis
“Insya Allah”
karena ini bermaksud menciptakan Allah
(Naudzubillah)
tapi pastikan kita menulis
“In Shaa Allah”
karena ini bermaksud dengan izin Allah

Selebaran ini tak diragukan lagi merupakan terjemahan dari maklumat ZN yang ditulis dalam bahasa Inggris, demikian: 

We should not write it as
“InshaAllah” or “Inshallah”
Because it means “Create
Allah” (Naozobil lah). Wether
Arabic or English.. please sure
You write it properly as
“In shaa Allah” (in 3 separate
words). This means “If Allah
wills). So make sure you
forward this to everyone and
help them correct their
mistake.  JazakAllah Khair.


Tanggapan saya adalah seperti di bawah ini:
Ini contoh aslinya dari surat 37:102: (… إِنْ شَاءَ اللهُ). Perhatikan bahwa ini adalah kalimat syarat (conditional) yang terdiri dari tiga unsur. Yang pertama, in, adalah harfu syarthin (conditional particle), yang berarti: jika, seandainya dsb. Yang kedua, syã’a, adalah kata kerja lampau yang berarti hendak atau menghendaki. Yang ketiga, jelas itu “lafzhul-jalalah” (istilah untuk nama Allah).

Yang sulit di sini adalah penulisan dua kata yang terakhir (شَاءَ اللهُ) ke dalam huruf Latin. Masalahnya, pada kata Allah terdapat hamzah washl, yaitu huruf alif yang lebur ketika terletak di antara dua kata. Karena itu, saya memilih untuk menyambung kedua kata tsb., sehingga menghasilkan tulisan seperti ini:  “in syaAllah”; atau ketiga-tiganya saya sambung: insyaAllah, yang akan dibaca orang Indonesia secara relatif sama dengan tulisan dalam huruf aslinya dan atau ucapan asli dari pembicara aslinya.

Kadang saya juga menulis seperti ini: in syaAllah(u), untuk menegaskan bahwa yg menjadi subjek di situ adalah Allah (ditandai huruf u dalam kurung, sebagai tanda i’rab marfu, yang memastikan Allah sebagai subjek).

Perhatikanlah ini! Bila saya menulis “insyAllah(a)” atau in syaAllah(a), misalnya, maka Allah menjadi objek!

Sedangkan untuk contoh yang diajukan ZN di atas (lihat gambar), tulisan aslinya yang benar, dalam arti akan membuat pembaca awam membaca secara relatif benar, seharusnya: “inyã’ullah(i)”. Dalam ilmu nahwu, ini namanya tarkîb idhãfi (= kata majemuk). Artinya adalah “peciptaan Allah”, dan ini belum tentu menempatkan Allah sebagai objek! Dalam kalimat “ini adalah konsep penciptaan Allah”, misalnya, yang dibicarakan adalah “konsep penciptaan” menurut Allah, bukan penciptaan Allah.

Dalam hal ini, Zakir Naik melakukan kekeliruan secara bahasa (sharaf) ketika ia memberi contoh frasa insyaAllah atau inshallah sebagai berati menciptakan Allah (create Allah), karena bila bermakna demikian, maka jelas bahwa kata insya (اِنْشَاءٌ) bukanlah kata kerja, tapi mashdar, yang jelas masuk ke dalam kelompok kata benda. Dan bila memang yang dimaksud adalah mashdar, maka tulisan aslinya adalah insyã’an (ingat bahwa mashdar adalah isim manshub), dan ketika digabung dengan kata Allah, dalam susunan idhãfah, maka insyã’an ini berubah menjadi insyã’u (tanwinnya hilang karena menjadi mudhaf ilaih); sehingga hasil gabungannya adalah insyã’ullahi, dan arti harfiahnya adalah penciptaan Allah (Allah’s creation) bukan menciptakan (to create) Allah.

Sedangkan contoh yang diberikan ZN di bawahnya (lihat gambar), jelas itu adalah ejaan versi bahasa Inggris. Di sana gabungan huruf s dan h (sh) adalah ‘padanan’ untuk s dan y (sy) dalam ejaan kita (Indonesia).
Perlu diperhatikan pula cara ZN menulis “Naozobil lah” dan “JazakAllah”, yang jelas merupakan kekeliruan. Yang pertama, bila sengaja, kata yang ditulis ZN sebagai Naozobil lah seharusnya (bagi kita) adalah: na’udzu billah. Ini juga frasa yang terdiri dari 3 unsur, yaitu kata kerja (na’udzu), partikel (bi), dan lafzhul-jalalah (Allah). Begitu pula penulisan JazakAllah, yang benar adalah JazãkAllah(u) atau jazaakAllah(u).  Atau bisa juga ditulis Jazãkallah(u) atau jazaakallah(u), tanpa menggunakan huruf besar, mengingat dalam bahasa Arab tidak ada huruf kapital (tidak ada huruf besar/kecil).

ZN juga kurang atau tidak memperhatikan bunyi huruf akhir dari setiap ucapan, yang dalam bahasa Arab justru sangat menentukan makna. Hal ini bisa dimaklumi bila orientasinya adalah “pengucapan”, dan bukan “penulisan”. Tapi jelas, melalui maklumatnya itu, dia justru mengorekasi cara penulisan (ke dalam ejaan Inggris).  Lucunya, kita (orang Indonesia, dan juga Malaysia) menyebarkan maklumat itu kepada orang Indonesia (dan Malaysia), yang jelas mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan transliterasi (penyalinan huruf) bahasa Arab!

Zakir Naik adalah “da’i internasional” yang rupanya telah menjadi panutan banyak orang. Tapi, justru di situ pula letak masalahnya! Bila tokoh panutan melakukan kesalahan atau kekeliruan, maka banyak orang pun menjadi ‘korban’ karena terbawa salah/keliru, dan tetap menganggapnya benar karena sang tokoh dianggap sebagai pemilik otoritas.

Sekali lagi, mohon diperhatikan! Cara penulisan yang pasti benar adalah seperti dalam huruf aslinya, dan cara pengucapan  yang benar adalah seperti pengucapan penutur aslinya. Dengan demikian, tanggung jawab para da’i adalah mengajak umat untuk mengenal huruf dan bahasa asli Al-Qurãn…

Jadi, yang perlu diperhatikan secara khusus di sini adalah bahwa penyalinan huruf (transliterasi) dari bahasa apa pun ke dalam bhs Indonesia, tujuannya adalah menjaga sedemikian rupa agar kita mengucapkannya secara relatif sama dengan pembicara aslinya. Dan harap dicatat bahwa prinsip inilah yang menjadi penyebab lahirnya ilmu tajwid. Yaitu ilmu yang dibuat untuk memelihara pelafalan kata dan pengucapan kalimat yang ‘benar’, seperti yang dilakukan para penutur bahasa (native speeker) aslinya. (Ilmu tajwid dikembangkan pada saat Islam sudah masuk ke berbagai tempat dan dianut oleh bangsa-bangsa selain Arab). Karena itu, saya tak setuju dengan pihak yang cenderung menyalin kata-kata Arab dengan mengacu pada huruf-huruf aslinya, karena bisa menghasilkan kesalahan ketika dibaca (diucapkan) oleh orang awam (tak mengerti bahasa Arab, bahkan tak tahu huruf Arab). Contoh: tulisan “bayt(u) al-Laah(i)” tentulah membingungkan orang awam, dibandingkan “baitullah”.

Akhir kalam, saya menganjurkan dengan sangat agar para muslim/muslimah mengalokasikan waktu mereka untuk mempelajari bahasa kitab suci mereka, supaya tidak tetap dalam kebutaan, yang otomatis selalu rawan untuk digiring ke arah yang salah.